Tuesday, March 31, 2020

BEDAH FILM HASIL ADAPTASI MENGGUNAKAN TEORI EKRANISASI PAMUSUK ENESTE

SALAM!
AKU CINTA PADAMU
 
Hanya pemanis
Para pembaca yang Budiman, semoga kita semua sehat selalu, sehat selalu, sehat selalu, dan yang sedang sakit semoga segera sehat juga agar kita semua bisa ngopi bareng lagi.


Pada tulisan kali ini, saya ingin membicarakan membedah film hasil adaptasi dari Novel khususnya, dengan menggunakan teori ekranisasi Pamusuk Eneste. Berikut teorinya yang sudah disarikan oleh Indra Kurniawan pada laman blognya saya kutipkan penuh di sini.


Transformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti ‘layar’.  Ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste (1991:60–61) menambahkan yang dimaksud dengan ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan dan perubahan dengan sejumlah variasi. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Pemindahan novel ke layar putih, berarti terjadinya perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan katakata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar.

Eneste (1991:60–61) menyatakan bahwa pada proses penggarapannya pun terjadi perubahan. Novel adalah kreasi individual dan merupakan hasil kerja perseorangan. Seseorang yang mempunyai pengalaman, pemikiran, ide, atau hal lain, dapat saja menuliskannya di atas kertas dan jadilah sebuah novel yang siap untuk dibaca atau tidak dibaca orang lain. Tidak demikian pembuatan film. Film merupakan hasil kerja gotong royong. Bagus tidaknya sebuah film, banyak bergantung pada keharmonisan kerja unit-unit di dalamnya: produser, penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain, dan lain-lain. Dengan kata lain, ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong-royong).

Eneste (1991:61—66) perubahan yang terjadi dalam ekranisasi adalah sebagai berikut.

Pengurangan
Salah satu langkah yang ditempuh dalam proses transformasi karya sastra ke film adalah pengurangan. Pengurangan adalah pengurangan atau pemotongan unsur cerita karya sastra dalam proses transformasi. Eneste (1991:61) menyatakan bahwa pengurangan dapat dilakukan terhadap unsur karya sastra seperti cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana. Dengan adanya proses pengurangan atau pemotongan maka tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai pula dalam film. Dengan demikian akan terjadi pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian di dalam karya sastra dalam proses transformasi ke film.

Eneste (1991:61—62) menjelaskan bahwa pengurangan atau pemotongan pada unsur cerita sastra dilakukan karena beberapa hal, yaitu: (1) anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya sastra tersebut tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam film. Selain itu, latar cerita dalam novel tidak mungkin dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film, karena film akan menjadi panjang sekali. Oleh karena itu, latar yang ditampilkan dalam film hanya latar yang memadai atau yang penting-penting saja. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari pertimbangan tujuan dan durasi waktu penayangan. (2) Alasan mengganggu, yaitu adanya anggapan atau alasan sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat mengganggu cerita di dalam film. (3) Adanya keterbatasan teknis film atau medium film, bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat dihadirkan di dalam film. (4) Alasan penonton atau audiens, hal ini juga berkaitan dengan persoalan durasi waktu.

Penambahan
Eneste (1991:64) menyatakan bahwa seorang sutradara mempunyai alasan tertentu melakukan penambahan dalam filmnya karena penambahan itu penting dari sudut filmis.

Perubahan Bervariasi
Perubahan bervariasi adalah hal ketiga yang memungkinkan terjadi dalam proses transformasi dari karya sastra ke film. Menurut Eneste (1991:65), ekranisasi memungkinkan terjadinya variasi-variasi tertentu antara novel dan film. Variasi di sini bisa terjadi dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, dan sebagainya. Terjadinya variasi dalam transformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang digunakan, persoalan penonton, durasi waktu pemutaran. Eneste (1991:67) menyatakan bahwa dalam mengekranisasi pembuat film merasa perlu membuat variasi-variasi dalam film, sehingga terkesan film yang didasarkan atas novel itu tidak seasli novelnya.

Nah, setelah membaca sari pati dari teori Ekaranisasi di atas, tentu sekarang kita sudah memiliki gambaran bagaimana cara membedah film hasil karya adaptasi dari Novel. Kita bisa melakukan perbandingan pada keduanya, tentu saja, setelah terlebih dahulu kita membaca novelnya, kemudian menonton filmnya, barulah mulai membedahnya.
Sampai di sini dulu, selamat mencoba.

AKU CINTA PADAMU
SALAM!

No comments: