SALAM!
AKU
CINTA PADAMU
Selamat
menjalankan aktifitas, semoga kita selalu sehat, selalu sehat, selalu sehat,
dan sodara-sodara kita yang sedang sakit, semoga lekas sembuh agar kita bisa
ngopi bareng lagi. Jangan lupa, sambil membaca tulisan ini, pertahankan posisi
duduk yang nyaman, siapkan cemilan, kopi, kretek. Selamat membaca.
Melanjutkan
beberapa tulisan sebelumnya mengenai film, meski hanya bagian-bagian kecilnya
saja, kali ini saya akan mengajak anda untuk meninjau dan melihat kritik serta
tekanan terhap perfilman, khsusnya perfilman tanah air.
Kritik
terhap film Indonesia sebagian besar berupa tuntutan agar meningkatkan kualitas,
lebih bebas, lebih berani lagi. Tuntutan semaca ini banyak datangnya dari
penonton yang ingin melihat perfilman Indonesia bisa setara dan bersaing dengan
Film-film bagus di luar negeri. Sebetulnya, tuntutan dan kritik secam ini,
karena kualitas buruk misalnya, bukan tidak didengarkan oleh para sineas,
tetapi kadang-kadang terbentur oleh regulasi perfilman yang di Indonesia.
Misalnya,
yang paling sederhana, adalah regulasi dari LSF (Lembaga Sensor Film) yang
membuat aturan sensorsif, tidak boleh ini, tidak boleh itu, sehingga ketika
sedikit ekspresif dan oleh LSF dimaknai atau ditangkap melanggar aturan sensor,
film dipotong, bahkan banyak yang berujung tidak bisa tayang. Bahkan yang
mengerikan, sensor datang bukan dari Lembaga resmi sensor, melaikan dari Lembaga-lembaga
bahkan ormas yang tidak punya kewenangan terhadapa penyensoran. Akibatnya,
dampak dari itu semua, banyak sineas yang memilih jalan aman saja. Asal bisa
tayang saja. Berarti yang harus dikerjakan adalah membongkar regulasi LSF yang
dianggap terlalu membatasi sineas dalam berkarya.
Lagi,
dukungan pemerintah untuk film Indonesia agar diputar di bioskop-bioskop luar
negeri juga belum maksimal bahkan bisa disebutkan minim. Hal ini menjadikan
film Indonesia sangat local sekali bahkan asing di mata perfilman dunia.
Akhirnya, sekalinya ada film bagus menurut standar nasional, tapi tidak diputar
di luar negeri, film itu tetap asing di mata dunia dan tidak bisa diapresiasi.
Dampaknya, kalaupun ada yang sampai ke festival dunia, sebagian besar film-film
ini berangkat ke luar negeri bemodal nekat dan biaya sendiri.
Lagi,
dukugan permodalan terhadap film baik dari negara atau swasta tidak merata. Hal
ini menjadikan beberapa sineas yang memiliki ide bagus dan kekurangan dana
tidak kebagian. Jadinya, perangkat atau alat yang dibutuhkan untuk membuat film
tidak didapat, sampai akhirnya, pakailah yang seadanya. Dengan situasi yang
semacam ini, ujung-ujungnya, yang dapat modal hanya itu-itu saja karena dekat
dengan pemerintah dan pemodal swasta. Pemerintah memang sering memberikan
bantuan dana perfilman, tapi ya itu, aturan yang ketat untuk urusan konten dan
konteks sangat dikontrol. Akibatnya, hanya sineas yang mau idenya dikompromi
saja yang mau mengerjakan film itu.
Dengan
kondisi seperti yang saya sebutkan di atas, masyarakat penonton terus-terusan
menekan dan mengkritik agar film Indonesia maju, kreatif, dan bisa bersaing.
Sementara, kritikan ini tidak pernah dilontarkan oleh masyarakat kepada
pemerintah untuk merubah regulasi yang ada, membongkar kebijakan LSF yang
dinilai oleh para sineas mengurung kebebasan berekspresi, tetapi kadang malah
mendukung mengurung kebijakan tersebut. Ini semacam penumpang ojek yang meminta
ojeknya mengendarai dengan baik, sementara yang dibonceng duduk goyang-goyang
tidak tenang.
Begitulah
kiranya kondisi kritik dan tekanan terhadap film nasional, di sisi lain
dituntut kreatifitas, di sisi lain kreatifitasnya dibatasi. Akibatnya, beberapa
sineas ambil jalan aman. Dan ini tentu berakbit pada kualitas serta persaingan
film Indonesia dengan film asing. Selama kondisi ini masih berlangsung,
sekalipun banyak sineas kita yang membuktikan bisa bersaing dan berkualitas di
mata dunia, film-film Indonesia akan tetap berada pada daftar film dari dunia
ketiga yang tidak dipandang dunia.
Semoga
tulisan ini bermanfaat, dan maju terus Film Indonesia.
AKU
CINTA PADAMU.
SALAM!
No comments:
Post a Comment