Monday, March 30, 2020

DRAMA MENJADI FILM


Salam!Aku Cinta Padamu


Foto hanya pemanis (koleksi pribadi)
Pada tulisan kali ini, saya ingin mengulas Drama sebagai bahan baku Film. Namun sebelum itu, karena hari ini adalah tanggal 30 Maret 2020, maka, saya ingin mengucapkan SELAMAT HARI FILM NASIONAL. Juga karena masih dalam situasi yang tidak menyenangkan akibat COVID-19, tetap jaga kesehatan, dan ikutilah anjuran pemerintah meski mungkin menyakitkan dan bikin stress.

Kembali ke masalah. Setelah pada tulisan sebelumya saya sedikit membahas mengenai bahan baku atau ide untuk membuat film bisa dari cerita rakyat, cerpen, novel, bahkan puisi, kali ini saya akan membahasa membuat film dari drama.


Film dari drama atau drama yang dibuat film memiliki dua pandangan berbeda secara Teknik. Pertama, ada yang berpendapat bahwa Drama yang di-filmkan adalah pertunjukan drama yang direkam dengan menggunakan Teknik pengambilan gambar seperti pada film namun tetap menggunkan panggung sebagai seting utama atau adegan dilakukan. Ini karena berdasarkan beberapa drama dari Broadway Amerika melakukannya seperti pada Cat’s, Oliver, Aladin, dll. Tercatat dengan metode ini atau still frame adalah King John (1899) karya William Shakespeare sutradara William Kennedy-Laurie Dickson.

Kedua, padangan ini bersandar pada Teknik adaptasi yang dilakukan seperti pada novel, yakni, naskah drama diadaptasi dulu menjadi skenario film. Kelompok ini berpandangan bahwa adegan-adengan pada Film tidak sama seperti pada drama. Ini karena, drama bergerak atau menjadi hidup karena dialog dan actor-aktornya. Sementara Film, hidup dan bergerak karena gambar. Oleh karena itu, perlu dilakukan adaptasi terlebih dahulu, agar drama bisa difilmkan. Beberapa film yang mengadopsi model ini adalah yang paling banyak diproduksi. Selain menjadi film layar lebar (bioskop), juga menjadi serial televisi.

Pengadaptasian dari drama menjadi film sudah ada sejak era film film bisu. Tercatat Film A Midsummer Night's Dream (1909) karya William Shakespeare sutradara Charles Kent dan J. Stuart Blackton sebagai film pertama yang diangkat atau diadaptasi dari drama menjadi film pada era film bisu. Drama yang paling banyak diangkat menjadi film adalah karya William Shakespeare menjadi sebanyak 410 Film cerita dan film televisi.

Perbedaan pendapat mengenai memfilmkan drama menjadi sesuatu yang sampai saat ini layak untuk diperbincangkan. Mengingat bahwa drama berbeda dengan Film. Nilai estetika drama ada pada permainan para aktor yang menghidupkan dialog, dan cerita dalam drama bergerak karena dialognya. Sebagian besar mise-en-scene pada drama bersifat ilusi. Drama bercerita melalui peristiwa yang dimainkan para aktornya. Seringkali, ruang dan waktu pada drama juga bersifat ilusi.

Sementara film, bercerita dengan gambar yang bergerak. Nilai estetika pada film tercipta atas narasi yang disusun melalui gambar yang bergerak. Para aktor dalam film kadang-kadang tidak tidak menjadi bagian penting -kecuali dalam film cerita yang menceritakan tokoh-tokohnya-, bisa saja film bercerita dengan gambar bergeraknya tanpa aktor. Mise-en-scene dalam film khususnya film cerita bersifat realis-narural, hadir, nyata dan ada. Ruang dan waktu dalam film bisa ceritakan dengan gambar yang bergerak. Kita bisa melihat pintu yang tertutup sendiri, angin yang menepa daun, buih ombak dipantai, buliran air dari air terjun, hujan, bahkan jeroan manusia, isi bumi, dan luar angkasa yang dalam drama panggung kecil kemungkinannya untuk bisa dihadirkan.

Maka, proses memfilmkan drama menjadi film cerita khususnya, harus melewati proses adaptasi terlebih dahulu. Secara sederhana, mungkin gambarannya begini NASKAH DRAMA – SKENARIO – FILM.


Sampai di sini dulu. Sampai jumpa pada tulisan berikutnya, mengenai Adaptasi atau Alih Wahana.

Aku Cinta Padamu
Salam!   

No comments: