Salam!
Aku Cinta Padamu
Selamat bertemu kembali dan selamat
membaca lagi. Semoga kita selalu sehat, dan sodara-sodara kita yang sedang
sakit segera sembuh kembali. Mari kita berdoa sejenak, semoga kita semua,
negara Indonesia dunia umumnya, segera bisa ngopi bareng lagi.
Melanjutkan Bekerja dari Rumah, #dirumahaja
dan challenge menulis untuk diri sendiri, saya ingin melanjutkan apa yang
sedang saya bahas sebelumnya. Pada tulisan kali ini, saya ingin membahas
mengenai Alih Wahana (sebagaimana dicetuskan oleh Prof. Sapardi) yang juga
hampir setara atau mirip dengan derivative work – adaptation.
Pada tulisan ini, saya tidak akan
membahas terlalu Panjang soal Alih Wahana, saya hanya ingin dan akan langsung pada
persoalan yang sedang kita bicarakan sebelumnya, yakni, menjadikan cerita rakyat
menjadi film, cerpe dan novel menjadi film, puisi menjadi film, drama menjadi
film, semuanya itu merupakan hasil dari proses alih wahana. Nama prosesnya
adalah alih wahana menurut Sapardi, transformasi menurut Nurgiantoro,
Ekranisasi menurut Eneste, dan Adaptasi menuru sebagian besar para ahli di
dunia.
Alih Wahana atau pengubahan bentuk menurut
Sapardi Joko Damono (2005), adalah perubahan suatu bentuk kesenian ke kesian
yang lainnya. Karya sastra tidak hanya diterjemahkan saja, tetapi bisa
dialihwanakan juga dari betuk tulisan menjadi karya yang lain, bisa musik, seni
rupa, tari, film dan lainya. Perubahan unsur-unsurnya akan mengikuti pada
unsur-unsur yang ada pada wahana yang barunya.
Damono juga menambahkan bahwa, karya
sastra bisa bergerak secara luas berubah dari satu bentuk ke bentuk yang
lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah dia lakukan juga pada puisinya
Hujan Bulan Juni yang berubah menjadi novel Hujan Bulan Juni, kemudia berubah
lagi menjadi Film Hujan Bulan Juni.
Kegiatan Alih Wahana ini, sudah lama
terjadi di dunia. Di luar sana di kenal dengan nama Derivative work. Pada
tata hukum Hak Cipta (copyright law), derivative work (pekerjaan
turunan) adalah penggunaan suatu karya dari seorang pengkarya pertama pemegang
hak cipta untuk dibuat menjadi karya baru yang independen oleh pengkarya kedua
dengan tidak menghilangkan substansi karya pertama. Pekerjaan yang paling umum
dilakukan adalah seperti, penerjemahan, arasemen musik, dan adaptasi sinema
-memfilmkan-.
Pada proses alih wahan, khususnya dari
karya sastra ke film, ada beberapa hal yang mungkin dan umum terjadi, seperti pengurangan
(elision), penambahan (interplote), dan penciptaan karakter baru (invent).
Pada teorinya Pamusuk Eneste (1991) dalam buku Novel dan Film, proses ini
disebut juga dengan Ekaranisasi. Ketiga hal yang terjadi pada proses alih
wahana, pada teori ekranisasinya, ia sebut sebagai pengurangan, penambahan, dan
perubahan bervariasi. Lenkapnya akan saya bahas kemudian.
Nah, jadi sebtulnya sangatlah wajar
jika karya sastra diubah menjadi film, akan ada beberapa hal yang berbeda. Maka,
mengapresiasi Film hasil alih wahana atau adaptasi dari karya sastra, ya di
apresiasi sebagai karya film saja. Dikaji atau dibahas sebagaimana film
dibahas. Kecuali, ketika mau melakukan melakukan kajian bandingan, maka barulah
kita bandingan, sebarapa jauh film itu mirip dengan karya awal, seberapa jauh
film itu membuat penambahan, atau seberapa jauh sang sutradara dan penulis scenario
melakukan perubahan.
Kajian bandingan terhadap film hasil
adaptasi, bisa kita gunakan teori ekranisasinya Eneste. Bisa juga dilakukan
untuk yang kebalikannya, dari film menjadi karya sastra, Eneste menyebutnya
dengan dekranisasi.
Sekian dulu. Sampai jumpa pada tulisan
berikutnya.
Aku Cinta Padamu.
Salam!
No comments:
Post a Comment