JAMURESI #5
Batu Tulis Citapen; Situs Multizaman
Batu
Tulis Citapen
Kira-kira tahun 1994, saya mendengar dan
mulai mengetahui bahwa di desa saya, Sukajaya, ada batu tulis. Batu tulis ini
letaknya di dusun Citapen Pasir. Untuk seorang anak SD, jarak antara Jamuresi
dan Batu Tulis Citapen lumayan cukup jauh, ditambah tahun-tahun itu kendaraan
anak SD yang paling tren hanya sepeda. Akibat kurang nakal, kurang nekat, dan
kurang rasa ingin tahu, sampai saya lulus SD saya gagal ke Batu Tulis Citapen.
Juga karena terlalu percaya pada mitos-mitos yang ada di masyarakat Sukajaya.
Tapi saya tetap bersyukur, rasa ingin tahu
yang sedikit itu masih tertanam dan masih ada. Sekalipun sudah mengalami
distorsi pengetahuan dan pencampuran asumsi yang belum terverifikasi. Sejauh
yang saya ketahui, dan mungkin juga sebagian banyak orang ketehui pula,
pengetahuan akan batu tulis sangat terbatas. Sedikit beruntung bagi yang
sekolah dan sempat serius belajar antropologi dan sejarah kebudayaan indonesia,
kemungkinan besar mengenal batu tulis dari buku-buku di sekolah. Namun sayang,
sebagian besar hanya berupa prasati-prasasti saja. Juga dalam kepala saya,
bahwa ‘Batu Tulis Citapen’-begitulah ia dikenal dan diperkenalkan- tidak jauh
berbeda dengan batu tulis dan prasasti seperti yang saya dapat di buku
pelajaran ketika SD-SMP-dan-SMA. Rasa ingin tahu yang tersimpan itu pun belum
terjawab sampai saya lulus SMA.
Sampai akhirnya saya lulus kuliah 2011
-heheh kuliahnya 7 tahun sis-…rasa penasaran yang sedikit itu tak jua
tersampaikan. Ingin marah, marah pada
siapa? Ingin menangis, untuk apa? Tapi jengkel tauuuu…kenapa itu Batu Tulis
Citapen, yang ada di desa sendiri belum saya kunjungi. Arggggg!!! Padahal
asumsi-asumsi dalam kepala makin simpang siur tanpa verifikasi. Dalam kepala saya,
terbayang dinding batu (kata bapakku yang pernah ke sana) sebesar rumah ada
tulisannya. Tapi tak pernah menjelaskan tulisannya seperti apa. Karena harus
mendongak atau pakai tangga agar bisa melihatnya. Akhirnya yang terbayang
adalah batu bertulisan huruf jawa kuna atau sunda kuna. Ya, itu.
Sudah nyoba
mencari di internet, tapi hanya baru-baru ini tulisannya muncul. Waktu saya
sekolah dan kuliah tak ada tuh… pernah terpikir, jangan-jangan saya kurang
pergaulan dan pengetahuan atau memang pihak-pihak yang berkepentingan seperti
pemerintah, atau dinas purbakala atau dinas yang lainnya tak pernah
menyampaikan ini pada masyarakat? Mencurigakan…
Akhirnya, 2015, bulan Juli, bulan syawal,
setelah melewati 20 tahun…dengan segala penyesalan dan penuh haru, sampailah
pula saya menginjakan kaki di depan dinding Batu Tulis Citapen. Yes! Dengan
penuh kegirangan dan harapan yang tinggi bisa membaca apa yang tertulis di
batu, sebab saya berkunjung bersama istri saya (sekarang), seorang sarjana
Arkeologi UI konsentrasi epigrafi, yang sudah barang tentu bisa membaca tulisan
Palawa, Jawa Kuna dan Sunda Kuna seperti yang terbayang dalam kepala saya.
Alhasil, di luar yang saya duga, saya tidak
mendapatkan apa-apa. Kosong. Saya hanya mendapatkan dinding batu sejenis batuan
karst dan cadas setinggi kurang lebih 8 meter dari tanah yang saya pijak.
Menurut penjaga yang menemani saya, dinding yang bertulisan sudah terkubur.
Jadi selama 20 tahun saya menunggu, supaya bisa mendongak seperti yang
diceritakan bapak saya, kita berada di bawah kaki saya. Argggg!!!
Beruntunglah, harapan saya belum pupus. Ada
sisa tulisan atau gambar yang belum terkubur. Dan ternyata, yang terkuburpun
sudah dalam masa perhatian. Terlihat ada bekas penggalian, kemudian dinding
batu dilapisi plastik kemudian dikubur lagi. Menurut penjaga, pelaku penggalian
ini adalah sebagian mahasiswa UNPAD dan Balar Bandung. Syukurlah, semoga dalam
beberapa waktu kedepan bisa menceritakan apa yang ada pada Batu Tulis Citapen.
Situs
Multizaman
Setelah saya melihat apa yang tersisa,
berubahlah sudah pikiran saya sementara. Dari sisa gambar yang saya dapatkan
pada dinding batu- sekarang saya lebih
suka menyebutnya gambar karena memang bukan tulisan seperti yang kita
kenal, dan selanjutnya akan saya sebut gambar saja- saya punya praduga baru
sambil dengan tak sabar menunggu hasil penggalian mahasiswa UNPAD dan Balar
Bandung. Sembari juga berharap, semoga penggalian yang mereka lakukan bukan hanya
sebatas kepentingan tugas akhir dan mengabiskan dana penelitian tanpa ada
tindakan berkelanjutan apalagi menyebar luaskan hasil penelitian.
Saya jadi teringat mengenai gambar-gambar
cadas pada dinding goa di beberapa tempat di Indonesia. Mereka membuatnya
sekitar 4000 tahun -itu dugaan yang paling tua-. Sudah bisa dibayangkan betapa
tuanya gambar cadas tersebut. Tetapi di Batu Citapen, saya menaruh dugaan yang berbeda,
goresan gambar pada dinding batu itu jauh lebih tua. Dari cara mereka
mengekspresikan goresan, diduga mereka belum mengenal warna dan bentuk seperti
pada gambar cadas di Maros, Sulawesi, Papua dll. Juga karena disekitar Citapen
ada situs terdekat yakni Situs Rancah dan Situs Tambaksari yang keduanya
menyipan benda purbakala yang masuk pada ketegori Pilosen Tengah (2 juta tahun
yang lalu). Besar kemungkinan, ketigannya berkaitan satu sama lain.
Sebagai bukti dan untuk membuktikan dugaan
saya, akhirnya saya mendapatkan sumber inforasi - hasil penelitian Balar
Bandung-, sementara gambar Batu Citapen berasal dari Pilosen Bawah (700.000 –
1.000.000 tahun yang lalu)…Balar…oh…Balar…mana infomu…yang lainnya!!! Apa lagi
kalau cari di sini www.disparbud.jabarprov.go.id
tak ada…!!!
Apa hasil kajian dari Gambar Batu Citapen??
Adakah menceritakan moyangku sedang mancing? Seperti dalam ingatan sang
penjaga, pada gambar-gambar dinding yang terkubur tersebut, ada beberapa gambar
yang menyerupai orang sedang memangcing, sedang menjala ikan dan bertani dalam
bentuk goresan.
Perkembangan kebudayaan mendorong manusia
untuk mengeskpresikan diri dan menangggapi tata sosial di zamannya. Gambar Batu
Citapen, menjadi salah satu bukti sudah dilewati berbagai macam zaman, berbagai
kebudayaan yang menanggapinya sebagai alam dengan cara yang berbeda-beda dan
fungsi yang berbeda pula. Mulai dari dijadikan media berekspresi, media melawan
lupa, media penghubung pada alam semesta dan sang hyang, bahkan mungkin menjadi
semacam totem atau berhala. Batu Citapen juga dijadikan tempat untuk bersemedi
atau melakukan upacara mistis kelenis. Sebelum terkubur, upacara semacam itu
lebih sering dilakukan.
Pada zaman yang entah itu - 1-2 juta tahun
yang lalu saat peristiwa pembentukan pulau jawa-, Batu Citapen, barang kali
hanya untuk melawan lupa. Sekelompok orang mencatatkan cara-cara bercocok
tatam, cara mencari ikan, menceritakan leluhurnya atau sekedar tempat
berlindung dari perubahan cuaca. Di zaman berikutnya, mungkin gambar-gambar
tersebut diyakini sebagai peninggalan yang bertuah. Sebab pada zaman mistis,
yang menulis atau menggambar adalah dari golongan pemuka agama, brahmana, atau
resi yang dianggap mampu menghubungkan manusia dengan sang entah kemudian
menggali cerita dan menciptakan cerita-cerita baru.
Pada era berikutnya, Batu Citapen hanya
menjadi media berekspresi, terutama ekspresi anak muda, pacaran ngumpet-ngumpet, tempat berkumpul atau makan-makan di
gunung. Salah satu bukti bahwa batu Citapen sebagai media ekspresi remaja, pada
dinding Batu Citapen terdapat nama-nama warga dusun Citapen, warga desa
Sukajaya dan salah satu nama tokoh masyarakat desa Sukajaya,-rupaya waktu muda
dia nakal, melakukan semacam tidakan coret-coret di dinding, hehehe- yang
digoreskan menyerupai goresan yang sudah ada. Ah, jangan-jangan yang dulu juga
begitu, sekedar coret-coret saja…kita bicarkan di lain sesi…
Saya kira tidak mudah dan banyak kerumitan
dalam membaca gambar Batu Citapen untuk menjadi sebuah keterangan sejarah atau
sebagai index kebudayaan masa lalu. Selain fungsinya yang dinamis dalam
melayani manusia dan kebudayaannya, Batu Citapen juga telah menjadi media yang
multifungsi yang meningkatkan kerumitan membacanya.
2016
No comments:
Post a Comment