TEATER GARASI; ABADI
Refleksi atas pertunjukan “Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi” di Auditorium FIB UI, Selasa, 26 Juli 2016.
Jangan terlalu serius
bacanya, sambil ngopi siang aja biar waras…hehehe
…………………….
YFAWKA - TEATER GARASI |
Beberapa hari yang lalu, saya melihat poster pertunjukan teater yang
juga merupakan semacam undangan melintas di beranda facebook saya. Tidak terlalu saya perhatikan sampai akhirnya muncul
berulang-ulang dan nempel dalam benak saya. Di hari pertunjukan, selasa, 26
Juli 2016, seperti biasa, rutinitas tiga bulan terakhir ini saya mengantar
istri ke kampus UI untuk mengurus kelulusannya dari jurusan Arkeologi, saya
bertemu kawan lama, Semi Ikra Anggara -nama
lu itu bukan sem? Cara nulisnya gak salah kan?- dan terjadi semacam
percakapan sederhana sampai akhirnya Semi mengingatkan bahwa hari ini ada
pertunjukan teater di Auditorium FIB UI. Padahal, sebelumnya saya tidak
berminat sama sekali meski sudah tahu bahwa yang akan pentas adalah Teater
Garasi.
Teater Garasi, pertamakali saya tonton ketika mereka membawakan
Repertoar Hujan di Bentara Budaya Jakarta, dan terakhir saya tonton ketika
mereka mempresentasikan Syakuntala di Salihara. Rentang waktu yang cukup
panjang inilah yang akhirnya mendorong dan memaksa saya mengiayakan tawaran
Semi untuk nonton pertunjukan. Padahal
sebelumnya saya dan istri tidak berminat sama sekali terlebih karena istri saya
anak FIB UI dan beberapa pertunjukan yang saya tonton di FIB UI mengecewakan.
Dari dua repertoar yang pernah mereka pentaskan dan saya tonton,
Teater Garasi, bagi saya, adalah sekelompok orang gila yang penuh hasrat,
konsisten, ulet, dan tak kenal lelah untuk mencari berbagai kemungkinan dan
pencapaian dalam mengolah ide dalam berteater. Ketekunan mereka dalam melawan keterbatasan
selalu menghasilkan terobosan yang memukau dalam seni pertunjukan, paling tidak
bagi saya pribadi. Gila!!! Kok bisa???
Kira-kira itu yang terjadi dalam kepala saya beberapa tahun silam ketika
menonton mereka.
Well, apa yang akan terjadi dalam kepala saya setelah lama tak menonton
pertunjukan teater khususnya lama tak menonton Teater Garasi??? Terlebih mereka
kali ini menawarkan kredit “yang fana
adalah waktu, kita abadi” dipinjam dari puisinya Sapardi Joko Damono.
Teknis yang mengerikan
Beruntunglah saya tak pernah menonton pertunjukan ini sebelumnya
-seperti yang mereka nyatakan bahwa pertunjukan ini work in progress sejak 2013.- atau bahkan mungkin orang lain yang
sudah menonton yang sebelumnya lebih beruntung dari saya, saya tidak tahu. Yang
jelas bahwa segala macam peristiwa yang terjadi di atas panggung sungguh
megerikan! Gila! Para aktor telah melewati segala macam keterbatasan dalam
dirinya. Keuletan mereka dalam mengolah diri dan mengolah ide telah berhasil
menciptakan terobosan yang baik untuk seni pertunjukan. Pembacaan dan
pengkajian peristiwa-peristiwa di luar panggung telah berhasil mereka sajikan
dengan apik dan baik.
Sebenarnya, tidak ada yang baru dalam pertunjukan itu. Seperti kata
Pram, hidup ini sederhana, yang hebat adalah
tafsirannya. Teknis dan konsep pertunjukan yang disajikan sudah pernah ada.
Sudah pernah dilakukan, khususnya dalam seni pertunjukan klasik/tradisional
Indonesia. Seperti konsep setengah menelanjangi pemanggungan dengan
menghadirkan seluruh pemain tetap berada di atas panggung meskipun hanya sedang
menunggu giliran masuk pada cerita dan pentas. Membiarkan dan dengan sengaja
sebagian pergantian kostum dan set terjadi di atas panggung dan terlihat dengan
jelas oleh mata penonton. Pemusik yang juga dihadirkan di atas panggung. Ini
yang perlu diingat, tidak ada yang baru, yang baru adalah keberanian
mengalihfungsikan dan memberikan tafsiran baru dari yang sebelumnya.
Inilah hasil pencarian Teater Garasi, keberanian dalam
mencapuradukan konsep dan segala macam disiplin kajian kedalam pertunjukannya
telah menghasilkan terobosan yang ciamik.
Ketabuan atau keharaman di atas pentas teater modern telah mereka tabrak semua
sehingga menghasilkan sebuah terobosan cara pandang, fungsi dan penafsiran yang
baru.
Misal yang paling sederhana, dalam kepala saya mungkin juga semua
orang, bahwa tidak baik, bahkan kadang haram, membelakangi penonton ketika
berada di atas panggung -dengan pengecualian. Namun dengan berani, pada salah
satu babak, Garasi melakukan itu tanpa takut meskipun sebenarnya ini pernah
dilakukan juga oleh grup lain sebelum Garasi. Mereka memutarkan bloking adegan
menjadi membelakangi penonton setelah sebelumnya diputar juga mengahadap kiri
penonton. Pada bagian ini pulalah yang menurut saya terletak kekurangnya secara
bersamaan dengan kelebihannya.
Kekurangan atau kecelekaan estetis bagi saya adalah ketika
pertunjukan diputar 180 derajat. Layar putih yang sejak awal dijadikan sebagai
penghadir dialog sekaligus terjemahannya dalam bahasa Inggris, kini menghadirkan
bentuk panggung dan para aktor yang sedang membelakangi penonton. -Meskin dalam prasangka baik saya, ini
kesengajaan antara pengolahan teknis serta perpaduan multimedia dan kemajuan
teknologi. Mereka ingin menunjukan bagaimana kamera yang disematkan di layar
putih bekerja. Juga bagai mana teknologi wireless dan bluetooth bekerja. Ini
karena gambar di layar tidak merefleksi aktor dengan sempurna. Ada semacam
delay, antara kejadian nyata di atas panggung dengan refleksi yang di layar.
Jadi saya tuduh saja kamera dan teknologi refleksinya berbasi bluetooth atau
wireless. Hehehe…- Padahal, jika
tanpa refleksi para aktor secara keseluruhan di layar putih, bagi saya akan
lebih keren. Sugoiiiii….penonton,
terutama saya akan lebih liar berimajinasi. Terlebih jika lagi…, sang
pencerita, -ketika pertunjukan diputar 180 derajat ada yang bercerita menghadap
penonton- juga tetap terlihat punggungnya saja. Hahaha…ini pasti lebih liar…
Namun, itu tadi, keberanian dan keuletan Teater Garasi dalam
mencampur segala macam disiplin seni pertunjukan tidak membuat pertunjukan
menjadi aneh. Bahkan saya kira, akan memancing dan menjadi inspirasi bagi
kelompok yang lain untuk melepaskan diri dari keterbatasan pakem yang sudah ada
dan mencari segala macam kemungkinan baru dari pakem-pakem yang seolah
membelenggu seperti dogma.
…yang fana dan yang abadi
Banyak sudah pengertian mengenai fana dalam kepala kita, pun dalam
kepala saya yang dengan pengetahuan terbatas ini. Saya sering mengartikan bahwa
fana adalah kerusakan, berantakan, tidak bertahan lama, terbatas, berjangka
waktu. Hingga dalam kepala saya tertanam kredo paling hits, “semua yang ada di muka
bumi ini fana,” termasuk waktu? saya kira ya!
Inilah yang fana, waktu! dibalik topengg kekonstanan waktu, ia fana.
Ia tidak bertahan lama, detik berganti, jam berubah, hari berlalu, tahun
bergerak saling hantam. Seperti yang dicitrakan dalam panggung, sebuah potret
keluarga saat lebaran tahun 2002. Ketika semua keadaan seolah baik-baik saja. Namun
pada babak berikutnya telah berganti menjadi lebaran 2012. Kenyataan-kenytaan
yang dialami oleh para tokoh telah berganti. Waktu telah menyeretnya menjadi
fana. Tokoh bapak tak lagi menembaki burung tapi menembaki yang lainnya, si
sulung sudah pergi ke Afganistan, kucing yang sering mencuri daging tak lagi
ada sebab sudah mati, si anak perempuan yang berkeinginan jadi artis pun sudah
mencapai keinginannya sekalipun hancur. Begitu pula si anak yang punya keinginan
bisa adzan di sepanjang waktu telah pergi bulan. Dan si ibu, tak lagi salah
menyebut Afganistan dengan Arab. Begitu pula bentuk pertunjukan, fana! Babak
berganti, bloking berganti, emosi berganti, semua berganti dan berulang seperti
waktu. Adakah yang kekal dan abadi?
Seperti yang dijejalkan pada kita sejak kecil sejak sekolah, Einstein
bilang, yang kekal adalah energi.
Bahwa, jumlah energi dari sebuah sistem yang tertutup tidak berubah, ia tetap
sama. Jika E = m.c2 sedang m (massa) tidak mengalami perubahan dalam
sistem, maka E kekal. Dalam tauhid Islam, kita harus meyakini bahwa yang abadi
hanyala Allah Yang Maha Esa sebab sebagaimana energi yang tak bisa diciptakan
dan dimusnakan Tuhan tak ada awal dan tak ada akhir. Namun tidak menutup
kemungkinan, bahwa manusia, kita -jika
manusia- sebagai makhluk yang nyaris komplit mewarisi sifat-sifat Tuhan
atau ke-Ilahian juga mewarisi sifat abadiNya. Juga bukankah di dalam diri
manusia terdapat energi yang disebut ruh? Juga sebagaimana dipelajari dalam
islam bahwa manusia akan melewati bermacam alam, alam ruh, alam rahim, alam dunia
(kita sekarang), alam kubur, alam penghakiman, dan alam keabadian (ada yang
selamanya di surga, dan ada yang selamanya di neraka)? dan kesemua alam itu
adalah waktu yang fana.
Pada pertunjukan itu, YFaWKA, ada simbol yang sama sekali tidak
berubah, yaitu monumen yang ditutupi. Ketika semua peristiwa berganti dan
berubah, monumen yang ditutupi terpal di bagian kanan panggung, tidak berubah.
Tetap ditutup. Tidak bergerak. Ia abadi. Ia menjadi simbol yang mengawasi dan
terus mengintimidasi. Begitu juga kita, penonton, abadi. Kita tidak berbuat
apa-apa menyaksikan pergulatan kenyataan para tokoh. Energi yang kita miliki
kita tutupi untuk bereaksi dan hanya mampu mengawasi dan mengintimidasi.
Simbol monumen yang tertutupi dan sengaja ditutupi itu, saya
pikir, adalah masalah utama yang ingin
disampaikan Teater Garasi, terutama sang Sutradara sebagai koki. Dengan
berlatar belakang peristiwa-peristiwa kemanusian pasca 1998, begitu pula yang
sebelumnya, 1965 dan 1977. Ada peristiwa yang abadi yang sengaja ditutupi oleh
sistem. Terutama sistem pemerintahan. Seolah ada unsur kesengajaan menutupi
kejanggalan-kejanggalan serta kekejian kemanusiaan. Ia sengaja dibuat abadi dan
mengintimidasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia meskipun
tatanan kemanusiaan Indonesia terus bergerak dan berubah. Namun tidak ada usaha
yang mencoba untuk membuka peristiwa tersebut secara gamblang dan detil. Ia
dibiarkan abadi sebagai sebuah aib dan alat pemerintah untuk mengintimidasi
rakyat. Kita hanya diberikan dua pilihan, abadi sebagai penonton yang tidak
melakukan apa-apa kemudia diseret waktu kedalam kefanaan, dan abadi sebagai
energi atau hasrat untuk mencapai kemerdekaan, kedamaian, dan kebesaan dari intimidasi
pemerintah? Terutama peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi di sekitar
kita.
Inilah yang perlu kita renungkan. Pertunjukan YFaWKA mengajak kita
untuk kembali menyadari bahwa kita, manusia bisa disebut manusia adalah yang
terus menerus bergerak di garis batas antara keterbatasan (imanensi) dan ketakterbatasan (transendensi)
sebagai bentuk keputusan penegasan-diri bahwa kita mampu memaknai hidup dan
memiliki orientasi untuk keabadian. Juga, pertujukan ini mengingatkan kita pada
hal yang paling mendasar atas politik yang merupakan bentuk penyimpangan atas
keberadaan manusi yang senantiasa bergerak di tapal batas tatanan (order) dan
kekacauan (disorder/chaos). Dalam kajian fenomenologi, politik adalah
pengalaman akan dunia, perjumpaan dengan diri sendiri dengan orang lain,
sekaligus konfrontasi di antara manusia yang sama-sama merdeka, bebas sejajar.
Inilah hal mendasar penghayatan akan cara berada manusia sebagai mahluk sosial.
Seberapa jauh manusia punyak atas hidup manusia yang
lainnya?
Apakah kita punya hak atas kehidupan orang lain?
Bagaimana dengan pembantaian 1965, 1977, 1998, Poso,
Sampit, dan masih banyak lagi?
Masyarakat sebagai teror atau pemerentihan melaui
Tentara, polisi, yang sebagai teror?
Kita yang menguasai tatanan atau sebaliknya?
Kita yang dikuasai sistem atau sebaliknya?
Kita yang berkuasa atas waktu atau sebaliknya?
HILLIBE GARASI!!! Kerja keaabadianmu takakan terkalahkan waktu.
Seperti kata Oda dalam One Piece, selama hasrat dan keinginan atas kebebasan
masih ada, maka perlawanan atas penindasan akan tetap ada. Abadi.
Yang fana adalah waktu,
kita abadi.
Kini dalam kepala saya terjadi chaos!!!
hahahaha
Salam
AKU CINTA PADAMU
12 comments:
hadirrr pak
Terimakasih
Artikel nya sangat membantu
Terimakasih pak
Terimakasih pak
keberanian dan keuletan Teater Garasi dalam mencampur segala macam disiplin seni pertunjukan tidak membuat pertunjukan menjadi aneh.
Izin bertanya pak
Cara mengatasi pertunjukan yang menjadi aneh?
"menyadari bahwa kita, manusia bisa disebut manusia adalah yang terus menerus bergerak di garis batas antara keterbatasan (imanensi) dan ketakterbatasan (transendensi) sebagai bentuk keputusan penegasan-diri bahwa kita mampu memaknai hidup dan memiliki orientasi untuk keabadian."
Ini yang saya juga pertanyakan pak. Kebebasan untuk memaknai kehidupan, bagaimana jika mereka-mereka pihak yang berkuasa, termasuk para pelaku langsung pembantaian memaknai diri sebagai algojo untuk memberangus kebebasan manusia lain yang dinilai tidak sejalan?
Jika kita ibaratkan lakon kehidupan ini bagai "tegalan kurukhsetra"
maka bukankah dalam panggung peperangan dunia fana ini, bukankah manusia telah memilih takdirnya sendiri ingin berada di pihak mana?
Konfrontasi di antara manusia yang sama-sama merdeka, bebas sejajar.
Bebas menentukan dirinya pula hendak ada di pihak yang mana? Atau tidak kita pilih keduanya? Begitukah manusia yang merdeka? Atau bila dihadapkan untuk memilih di antara kedua pihak yang berkonfrontasi, haruskah kita jalani saja dengan sungguh-sungguh ?
Terimakasih pak atas artikel yang bapak berikan. Saya sangat setuju dengan apa yang bapak tulis menegnai teater garasi yang dengan keberanian dan keuletannya dalam mencampur segala macam disiplin seni pertunjukkan tidak membuat pentujukkan menjadianeh. Dan bapak menambahkan dengan begitu maka bisa menjadi inspirasi bgi kelompok lain untuk melepaskan diri dari keterbatasan pakem yang sudah ada dan mencari segala macam kemungkinan baru dari pakem-pakem yang seolah membelenggu seperti dogma.
Dan seperti yng bapak tulis diartikel bapak tentang kutipan Oda dalam One Piece, selama hasrat dan keinginan atas kebebasan masih ada, maka perlawan atas penindasan aka tetap ada. Abadi.
Artikel sangat baik...
Terima kasih pak
terimkasih untuk yang sudah berkunjung --- agak sulit untuk membalas komentar langsung dibwah komentar yang dituju --- soal kebebasan memilih dengan cara yang merdeka tentu terserah kepada para pemilihnya --- dan umumnya, pilihan yang baik adalah pilihan yang menurut "moralitas umum" jika pilihannya adalah kestabilan. tapi jika pilihannya merdeka, terserah sekalipun yang dipilih adalah 'moral buruk menurut umum". karena manusia tidak selalu menjadi umum dan kolektif. ada nilai-nilai genuin yang diyakini oleh setiap manusia sebagai nilai baik untuk dirinya.
Mantap pak.. terima kasih atas materinya
Terimakasih pak atas materinya
Post a Comment