ORANG KASAR TEATER EMBUN; JALAN PANJANG MENUJU KEWAJARAN KEDUA
Oleh-oleh menonton pementasan Teater Embun SMAN 5 Depok.
…………
Sebenarnya, saya selalu bersyukur ketika mendengar, atau mendapatkan undangan untuk menonton pertunjukan teater meski akhirnya apa yang saya saksikan ternyata mengecewakan. Entah karena penyajian atau karena teknik dasar yang belum dan masih sedang berkembang. Saya selalu mencoba bertahan dalam kejenuhan menonton dengan memberikan penyadaran dan harapan pada diri sendiri siapa tahu ada kejutan di menit berikutnya.
Sabtu sore, 30 Juli 2016, Saya bersama istri saya pergi menonton
pementasan teater lagi. Kali ini yang kami tonton adalah pementasan naskah
Orang Kasar karya Anton Chekov yang sudah disadur oleh Rendra. Tentu ini
menarik. Sejauh yang saya ketahui, mungkin juga anda, bahwa darama-drama Chekov
banyak muatan satir seperti Leo Tostoy pendahulunya. Begitu pula Rendra, yang
kerap bergaya satir dan memiliki gaya sendiri sebagaimana ia mengadaptasi Les Chaises karya Eugene Unesco menjadi Kereta Kencana dan isi naskahnya
180 derajat berbeda. Begitu pula ketika Rendra terinspirasi oleh naskah Diě Rubber-nya Friedrich Schiller
menjadi Perampok yang berlatar
kerajaan Mataram Kuna di Indonesia.
Itulah alasan-alasan yang saya karang sebagai penguat dan pendorong
untuk pergi menonton selain alasan utama menonton adalah Teater Embun itu
sekelompok Teater SMA yang pernah mendapat penghargaan pada Festival Drama di
Jakarta yang diselenggarakan oleh Teater Hangtuah London School. Sekelompok
anak SMA yang berani beda dari anak-anak di usianya sekarang.
Hal utama yang perlu diapresiasi adalah, Sir Ilham Jambak, bersama
teman-teaman remajanya yakni Teater Embun SMAN 5 Depok, mampu keluar dari
kecenderungan umum anak SMA terutama di era pokemon-go. Juga teman-teman para
penggiat teater lain yang bergiat di sekolah-sekolah yang berjuang menjaga
kewajaran hidup.
Saya percaya, bahwa dengan berkesenian, berteater khususnya, kita
lebih mampu menjaga kewajaran dan membuta hidup kita lebih berarti. Bahwa,
belajar kesenian adalah belajar secara keseluruhan. Bahwa, menyajikan sebuah
pementasan adalah melibatkan segala macam keilmuan dan pelajaran yang diajarkan
disekolah.
Teknik yang belum berkembang
Meskipun jauh dari yang diharapkan, jejak-jejak latihan nampak jelas
terlihat. Usaha yang dilakukan para pemain dalam melatih diri serta menunaikan
tuntutan “sutradara” dan Naskah menjadikan pentas Orang Kasar berjalan lancar.
Ya, lancar. Tidak adanya kesalahan akibat kurang konstrasi salah seorang pemain
yang berdampak pada terhentinya pertunjukan misalnya, atau pertunjukan berjalan
mulus tidak tersendat karena ada kehilangan dialog, salah set, salah kostum
misalnya.
Lancar saja tidak cukup kakak. Masih banyak yang harus dikerjakan.
Terutama PR untuk para pemain dalam menghidupkan peran yang ia mainkan. Selain
itu, tugas berat berikutnya terletak disutradara dan pelatih grup. Perlu
dicarikan diterapan metoda yang sesuai dengan para aktor agar teknik permainan
aktor menjadi berkembang dan mencapai kedalam penghayatan yang baik. Terlebih,
yang baru saja dimainkan adalah naskah drama realis.
Teknik dasar seperti olah suara, olah tubuh, dan olah batin, dan
olah pikiran masih perlu diperbaiki dan terus dikembangkan. Dengan begitu, para
aktor bisa dengan dinamis memainkan dialognya dan memproyeksikan suara serta
tubuhnya dengan tepat. Sehingga tercapailah kedalam peran yang baik. Seperti
yang diyakini Stanislavski bahwa alat utama seorang aktor adalah suara dan
tubuhnya. Sebab tugas aktor adalah menyampaikan pesan naskah dengan suara dan
tubuhnya.
Pengeloalaan misé en scéne pun
masih kurang efektif dan efisien. Ada beberapa yang fungsinnya hanya meneror
mata penonton, tetapi tidak berfungsi dengan baik untuk aktor. Saya punya dua
dugaan atas ini, yang pertama adalah sengaja sebagai dekorasi saja dan patuh
pada tuntutan naskah serta untuk menutupi kelemahan teknik permainan para
aktor, yang kedua adalah kurangnya kreatifitas aktor dalam mengeksplorasi
berbagai kemungkinan di atas panggung dan tidak mampu menguasai misé en scéne, baik set atau hand properties.
Tentu saja ini tugas berat kakak Sir Ilham Jambak sebagai sutradara
dan pelatih, begitu pula para awak Teater Ebun untuk terusmenerus berlatih,
olah suara, olah tubuh, olah batin, dan olah pikiran. Juga teruslah
berimprovisasi.
Terus berlatih yaaaa…
Realitas yang bertabrakan
Pementasan teater atau drama, khususnya aliran realisme, seperti yang
dijejalkan oleh buku-buku di sekolah adalah tiruan atas realitas kehidupan dengan
batasan-batasan tertentu dan aturan main tertentu. Ada pula yang mengartikannya
sebagai penciptaan citra sebagai bentuk refleksi atas realitas kehidupan yang
dialami oleh para penciptanya.
Pemindahan realitas sehari-hari ke atas pentas tidaklah seperti
membalikan telapak tangan. Ada batasan dan aturan main tertentu yang perlu
dijalani. Bahwa memindahkan realitas sehari-hari ke atas pentas harus juga menimbang
nilai estetis. Aktor, sebagai alat utama harus mampu menciptakan realitas keseharian
yang wajar menjadi realitas panggung
atau kewajaran kedua berdasarkan tuntutan realitas naskah. Misalnya marah dalam
keseharian dengan marah di atas panggung tidak mesti sama sekalipun tuntutan
bobotnya sama. Tetapi ada takaran dan batasan yang harus ditimbang berasarkan
pada nilai estetika. Wajar, sebagamana realitas keseharian yang wajar pula.
Jadi, antara realitas keseharian dan realitas panggung harus bisa
dibedakan. Sebab, peristiwa panggung berkaitan dengan nilai estetis, sementara
peristiwa keseharian mengalir begitu saja. Di sinilah perlu adanya kontrol atas
penciptaan citra dan penghayatan cerita. Aktor perlu mengontrol emosi atau rasa
atas segala peristiwa yang berlangsung di atas panggung. Ia tidak semata-mata
menyampaikan marah sebagai marah, atau sedih sebagai sedih. Namun harus
menyampaikan marah sebagai “marah,” atau sedih sebagai “sedih,”
tidak lebay namun tetap wajar dan
estetis.
Pada pentas Orang Kasar yang dipentaskan Teater Embun dari SMAN 5
Depok, masih banyak terjadi tabrakan antara realitas keseharian dan realitas
panggung. Para aktor belum mampu membedakan antara kewajaran keseharian dan
kewajaran kedua dengan baik. Rata-rata para aktor masih kurang kontrol, kurang
tenang, dan belum memiliki daya selektif yang baik dalam menimbang dan menyampaikan
realitas keseharian menjadi realitas panggung. Sehingga masih jauh untuk
mencapai akting berparadigma.
Akting berparadigma -istilah Ken Zuraida- adalah presentasi aktor
atas tokoh-tokoh yang ia perankan. Aktor mempresentasikan perasaan, pikiran, gerak
tubuh, dan realitas tokoh di dalam naskah menjadi tokoh yang tercitra dalam
diri aktor di atas panggung.
Kegelisahan kita
Di tengah kegelisahan menyaksikan kecenderungan remaja masakini yang
terjebak dalam realitas dunia ketiga, mereka masih mampu meluangkan waktu untuk
berlatih, berkomunal, berorganisasi dan menhayati keindahan hidup melalui seni.
Mereka adalah generasi yang masih percaya, bahwa dengan berteater, mereka masih
bisa belajar memaknai dan menghayati hidup melalui naskah drama yang dimainkan ketimbang terbawa dan tergerus arus
dunia ketiga yang makin mengancam jiwa-jiwa manusia.
Juga, ditengah kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini yang
kurang berpihak kepada pelajaran atau pendidikan yang berdasarkan pada budi, SMAN 5 Depok masih meberikan ruang
yang sedikit lebih lebar untuk mengasah budi dan pekerti selain melaui
pelajaran agama yang melulu menyodorkan dogma. Bukankah seni dan agama adalah
dua mata koin penjaga keseimbagan tata nilai hidup?
Saya tidak mesti kecewa atas pementasan yang kurang menarik.
Terlepas dari segala macam kekurangan Orang Kasar Teater Embun, mereka adalah
generasi yang sedang menempuh jalan panjang menuju kewajaran kedua, yakni
kesadaran atas nilai-nilai estetis yang didapat dari penghayatan dan pengalaman
atas realitas keseharian para awak Teater Embun dan diolah melalui kesenian.
BRAVO!!! TEATER EMBUN!!
Semoga menjadi generasi yang berbudi tinggi. Mampu menjadi generasi bijak yang
mampu mempraktikan kewajaran kedua sebagai salah satu seni tertinggi dalam hidup.
Terimakasih untuk SMAN 5 Depok, juga Sekolah lain yang membolehkan dan mendukung acara-acara
kesenian disekolahnya. Semoga dengan begitu, sekolah sebagai lembaga pendidikan
mampu menciptakan generasi baru yang lebih hebat, serta bijak dalam bertindak!!!
Salam
Aku Cinta Padamu
Angin Kamajaya
5 comments:
Numpang promo ya Admin^^
ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- GOPAY
- Link AJA
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
add Whatshapp : +85515373217 x-)
Hadir pakk
Ada pertanyaan yang ingin saya kemukakan:
Akting berparadigma -istilah Ken Zuraida- adalah presentasi aktor atas tokoh-tokoh yang ia perankan. Aktor mempresentasikan perasaan, pikiran, gerak tubuh, dan realitas tokoh di dalam naskah menjadi tokoh yang tercitra dalam diri aktor di atas panggung. Apakah akting ber paradigma ini hanya ada di atas panggung?
Kesuksesan pelakon atas lakon apakah berkaitan dengan akting berparadigma atau kemudian menjadi kesadaran atas nilai-nilai estetis yang didapat dari penghayatan dan pengalaman atas realitas keseharian.
Karena jika pelakon baik di dalam dan luar panggung berbeda itu seperti kita punya ilmu tapi tidak kelaku, padahal, kata pepatah Jawa, Ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Nyatanya jika kita mengenal beberapa pelakon/seniman yang justru dalam realitas kurang menghayati nilai yang mereka bawakan dalam karya seni, justru agaknya bukankah berbahaya? Sebab dalam tulisan ini disinggung; "Bukankah seni dan agama adalah dua mata koin penjaga keseimbangan tata nilai hidup?"
Ataukah estetika hanya mengajarkan keindahan tanpa mengetengahkan etika? Bagaimana menurut pendapat bapak?
terimakasih sudah berkunjung --- pertanyaan berat --- ya, mestinya akting berparadigma tidak hanya di atas panggung. Tapi ada juga beberapa pemeran, yang hanya mempelajari kehidupan untuk kepentingan aktingnya --- dan kemudian setelah keluar dari panggung, ia kembali ke realitasnya. sampai di sini, berarti ia mempelajari realitas hanya untuk kepentingan akting saja --- tidak untuk kepentingan hidupnya dan ia hayati dalam hidupnya.
tapi jika kita amati presiden ukraina, ia salah satu yang berhasil menerapkan nilai-nilai yang ia pelajari selama melakukan pemeranan dan ia lakukan untuk hidupnya sehari-hari juga --- kkkk
bagi saya, estetika selalu muncul setelah etika --- pencapaian tertinggi estetika adalah setelah melewati serangkaian tingkatan etika tertentu.
oh iya, kembali ke soal pengahayatan akting jika kemudian dihayati juga dalam keseharian, kemungkinan ada yang menjadi berbahaya, misalnya ia memerankan pemerkosa.
tentu hal semacam ini kemudian harus ditimbang ulang nilainya.
Terimakasih pak atas materinya
Post a Comment