Sunday, April 12, 2020

SETELAH 28 HARI


SETELAH 28 HARI
sebuah cacatan harian

ini foto 6 tahun silam.

Tulisan ini dibuat masih hari Minggu, tanggal 12 bulan April 2020. Hari ini adalah hari ke-28 berada di rumah, bekerja dari rumah. Sempat beberapa kali maksa ke luar dari radius 100 meter, ke kampus, ke rumah sakit, ke pegadaian, ke tempat orang meninggal, ke mertua, ke atm.

Sebenarnya, rasa takut terhadap virus ada, ditambah kondisi badan yang sepertinya sudah mulai rentan terhadap penyakit. Tapi masih pura-pura tidak takut dan berusaha menenangkan diri. Rasa takut yang lebih menakutkan adalah bukan terhadap virus, tapi pada suasana yang tiba-tiba nampak sepi namun ramai. Seperti dalam adegan film ketika mengendap-ngendap melewati zombie, zombienya pura-pura tidak melihat. --wak!--

Tiga hari setelah ditetapkan pekerjaan diliburkan diganti dengan bekerja di rumah, aku ke rumah sakit mengantar istri. Dua hari sebelumnya, kami berdua sempat demam tinggi, bahkan, seingatku, aku demam sampai mengigau. Seandainya, malam itu, maksa ke rumah sakit, barangkali tulisan ini belum tentu ada. Suhu badan kami kelewat tinggi untuk ukuran  demam biasa. Bahkan ketika masuk rumah sakit saja, suhu kami masih medekati 38 derajat.

Malam sebelum aku ke rumah sakit, seandainya ada thermometer di rumah, mungkin sampai 40 derajat. Aku sering mengalami itu. Saking seringnya, jadinya tak kupaksakan ke dokter. Kalaupun maksa, yang ada kemungkinan bukan dirawat di dokter umum, tapi langsung masuk UGD karena kecelakaan, atau yang paling ekstrem diisolasi jadi PDP corona. Sungguh, pikiran semacam itu hadir begitu saja dalam kepalaku waktu itu. Sampai akhirnya, aku minum beberapa pil penurun panas dari warung, dan pingsan sampai pagi.

Selebihnya, aku ke keluar dengan perasaan yang rada-rada, antara takut, tenang dan kangen ketemu orang lain. Sekalinya ketemu, langsung membicarakan segala macam tanpa pikir siapa yang diajak bicara. Bicara soal konspirasi virus lah, dampak-dampak negative dari isolasi, lockdown, karantina, sampai juga sempat terpikir dampak positif bagi sebagian orang yang mampu. Ya, yang mampu kreatif dari rumah, mampu menenangkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, mampu bertahan satu sampai tiga bulan meski tidak bekerja. Tapi bagaimana dengan mereka yang hidupnya bergantung pada kerja harian?

Banyak sekali pikiran berseliweran dalam kepala. Entah sedang berpikir atau hanya berhayal, yang jelas, isi kepala penuh sampai susah memilahnya. Banyak yang memberi saran, sudah menulis saja, mumpung di rumah, banyak waktu, jadi bisa menulis. GUNDULMU! Menulis itu bukan persoalan gampang. Menullis itu berat. Bukan sekedar coretan curhat cacatan harian semacam ini.

Catatan cacatan harian semacam ini belum bisa disebut tulisan. Hanya draft mungkin, tapi itu juga belum sampai. Coba perhatikan, dan baca kembali dari atas, apakah setiap kalimat yang aku tulis ini kemudian membentuk suatu paragraf yang koheren, solid, sehingga bisa mengajukan suatu wacana yang kuat? Apakah tulisan ini memiliki invensi yang baik? Aku rasa tidak. Ya, jadinya, aku tidak mau menulis. Itu pekerjaan berat. Harus mengerti five canon rhetoric lah, harus mengerti cara berfikir induktif atau deduktiflah, dan masih banyak lagi. Berat. Kamu saja. Aku tidak.

Dari sekian banyak pikiran yang mampir di kepalaku sampai saat ini, yang paling menarik adalah soal konspirasi di balik pandemi COVID 19. Bayangkan, seandainya ternyata virus ini dibuat dan vaksinnya sudah ada, kemudian menunggu sampai semua negara melemah seluruh ekonominya karena hampir sebagian besar melakukan karantina, isolasi, bahkan lokdown, dikeluarkanlah itu vaksin. Dijual dengan harga mahal, bahkan dijual dengan paksa melalui WHO, PBB dan IMF. Sungguh, ini adalah taktik perang yang paling jitu, mematikan sekaligus curang.

Selain konspirasi yang mengerikan semacam itu, ada juga yang mengerikan lainnya. Ini lebih mengerikan, karena kemudian akan berujung chaos, dan bisa jadi kehacuran dunia. Ya, ini yang paling mengerikan. Ajakan chaos, dengan alasan lapar. Lapar adalah harimau, lapar adalah srigala, lapar adalah hyena, lapar adalah burung bangkai, lapar adalah gajah yang ditutup matanya sementara telinganya berisi kecoa. Urusan perut seringkali tidak bisa ditawar, sebab ia adalah insting dasar dan naluri mahluk hidup. Barangkali itu juga yang menyebabkan hampir setiap ajaran agama mengajarkan untuk menahan nafsu, salah satunya dengan berpuasa, dan waktu-waktu untuk wajib berdoa dan berhadapan dengan Tuhan.

Sungguh, pikiran yang kedua ini sangat mengerikan. Karena tidak hanya akan terjadi di satu wilayah. Wilayah yang lain, negara yang lain, akan terpicu juga. Kemudian saling baku hantam menentukan siapa yang terkuat dan berdiri sampai akhir pertempuran. Kekacauan semacam ini bisa mengganti pola kehidupan secara keseluruhan, pergantian gen, pergantian kebudayaan, bahkan bisa jadi kembali ke awal, memulai dari nol, tapi sudah dengan pengetahuan yang tinggi.

Hari ini, hari ke 28 di rumah. Segala macam pikiran, segala macam peristiwa, bercampur begitu saja, dan sudah sulit diurai. Kebahagiaan-kebahagian kecil, kesenangan-kesangan kecil, juga sudah tak tau yang mana. Corona telah merubah kebudayaan seketika. Corona telah melakukan revolusi mental. Dan kita tahu, revolusi selalu berbuah sakit hati.

Dari sekian banyak pikiran yang membuat ketegangan, yang melegakan adalah bahwa aku pernah menganggur tiga bulan, persis setelah menikah. Sehari-hari hanya ngopi, merokok, tidur, makan, main game, nonton film, dan tentu saja, tidak kemana-mana selain, urusan penting dan menghilangkan kecurigaan tetangga dan mertua. Di rumah, hanya kami berempat, mertua, ipar, istri, dan aku. Semua tidak bekerja.

Sekarang, di rumah berenam, aku, istri, dan empat kucing oranye. Ndut, Tacil, Nadim (nama aslinya Nggak bisa Diem), dan Karim (nama aslinya Karena aku ra iso mudun – alias kucing takut ketingian). Lima saudaranya yang lain, Ramon, Asop, Jin, Jun, Jan, sudah mati duluan sebelum Corona lahir kedunia. Berbahagialah kalian di bawah pohon Jambu. Semoga beras, minyak, gas, cukup sampai awal mei.

Ya, itu yang menyenangkan, aku terbiasa di rumah, 24 jam Bersama istri untuk waktu yang lama dan Panjang. Aku tak bisa membayangkan keluarga yang frekuensi pertemuannya hanya menjelang tidur saja. Barangkali, mereka sudah ada yang mulai cekcok, mulai tahu ternyata aslinya kalua 24 jam bareng itu begitu---mungkin juga sudah mulai ada yang sendiri-sendiri dengan alasan work-from-home--- puk! Wakakakaka--- Semoga saja tidak. Dan semoga, setelah Corona selesai, KUA dan Pengadilan Agama tidak dipenuhi oleh pasangan yang mengajukan gugatan cerai. Lebih baik rumah sakit ibu dan anak yang dipenuhi dengan para ibu yang memeriksakan kandungannya. Sebagaimana meme yang banyak beredar, “corona negative, istri postitif”. –hak—

Hari ini, hari ke 28 di rumah, tiga hari sebelum Depok PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Jakarta sudah lebih dulu. Kengerian yang sudah mulai terbiasa dinikmati muncul lagi. Sudah mulai banyak yang protes, menebar ancaman, bahkan di Tangerang sudah ada yang ditangkap oleh polisi dengan tuduhan melakukan vandalisme dan provokasi untuk chaos.

Sudah, jalan yang terbaik adalah, Bersama-sama, bekerja sama menyelesaikan corona. Jika pemerintah sebagai perencana, kita ikuti saja untuk kebaikan Bersama. Jika ternyata salah, ya kita terima dan tidak perlu saling menyalahkan. Karena kita sudah mencobanya. Keajaiban tidak akan datang begitu saja, apa lagi pada yang tidak pernah melakukan apa-apa.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, melihat Jakarta yang sudah PSBB duluan baik-baik saja, entah warganya. Yang jelas, mari dicoba dulu, supaya corona segera pergi, dan kita bisa ngopi bareng lagi.

Aku tulis ini, tiga hari menjelang PSSB Depok. Semua akan baik-baik saja.

Salam

Aku Cinta Padamu.


#covid19, #corona, #lawancorona, #dirumahaja, #PSBB, #isolasi #karantina

1 comment:

michelle said...

ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q