Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

Wednesday, September 24, 2025

Puisi-Puisi T.S. ELIOT

RABU ABU

I

Karena aku tak berharap untuk berpaling lagi

Karena aku tak berharap

Karena aku tak berharap untuk berpaling

Sejak hasrati anugerah miliknya serta kemampuan lainnya

Telah kusudahi perjuangan untuk berpaling lagi

(Mengapa sang elang tua membentangkan sayapnya?)

Mengapa harus aku berduka

Atas hilangnya kuasa takhta ini?

 

Karena aku tak berharap untuk tahu lagi

Soal kemuliaan yang melemahkan kebaikan waktu

Karena aku tak berpikir

Karena aku tahu aku tak perlu tahu

Soal nyatanya sebuah adikara sementara

Sebab tak dapat kupuaskan dahaga

 

Di tempat itu, tempat pohon bersemi, mata air mengalir, yang kini tak ada lagi

 

Karena kutahu waktu selalu berwujud waktu

Dan ruang hanya selalu berwujud ruang

Dan yang nyata berwujud nyata hanya sekali saja

Dan di sebuah tempat sajalah

Aku bersorak karena segala hal sebagaimana mestinya dan

Aku menolak mengakui sebuah wajah terberkati

Menolak mengakui suaranya

Karena aku tak dapat berharap untuk berpaling lagi

Maka aku bersuka cita, saat harus membangun sesuatu

Yang membuatku dapat bersorak

 

Dan berdoa agar Tuhan mengampuni, mengasihi kita

Dan berdoa agar aku dapat melupakan

Segala yang tengah berpusing dalam diriku

Terlalu rumit untuk dijelaskan

Karena aku tak berharap untuk berpaling lagi

Biarkan kata-kata ini menjawabnya

Agar apa yang telah terjadi, tak terjadi lagi

Semoga pertimbangan atas perbuatan kita tak begitu pedih

 

Karena sayap ini tak mampu lagi mengepak dan terbang

Semata kipas untuk menebas udara

Udara yang kini makin kering, kering dan sesak

 

Lebih kering dan sesak dibanding harapku

Ajari kami untuk peduli dan tak peduli

Ajari kami untuk duduk dengan tenang.

 

Doakan kami para pendosa, kini dan kelak kala mati[1]

Doakan kami kini dan kelak kala mati

 

Tuesday, April 28, 2020

Mengabadikan Tulisan Teman



Pada situasi yang tidak menentu ini, khususnya karena covid19, ada banyak hal yang terjadi. Segala lini mengalami perubahan. Selaga aspek mengalami perubahan. Seolah, kita sedang mengalami perubahan zaman, tidak hanya secara biologis, tetapi juga psikis. Di tengah-tengah itu semua, daya cipta tidak berubah, yang berubah hanya medianya saja. 

Beberapa hari ini, saya tidak menulis. Tetapi daya kreatifitas dan daya cipta harus dijaga. Saya mengisinya dengan membuat video, musik, mengeditnya, kemudian saya publikasikan di Youtube. sila cek kanal saya. begitu juga dengan teman-teman saya yang rajin menulis, mengabadikan peristiwa lewat tulisan. Maka, untuk mengabadikan teman saya, saya abadikan tulisannya di sini. Sebuah puisi dari Abner Raya Midara. Seorang pegiat sastra dan kepenulisanan di Roemah Poetica Kupang. 

Selamat Membaca --- jangan lupa ngopi dan jaga kesehatan.

Tuesday, April 30, 2019

Bukan Puisi



Pendidikan kita tidak menjanjikan manusia menjadi pribadi,
tetapi mempersiapkan manusia menjadi mesin industri 
dan skrup kapitalisme.


Sekolah tidak mengajarkan filsafat agar bisa berbifir, tidak juga diajarkan berpolitik 
agar bisa memahami demokrasi dan perbedaan,
Sekolah hanya mengajarkan hapalan 
bagaimana menjadi abdi industri, dan juga mengajarkan persaingan 
yang akhirnya melahirkan kesenjangan.

Banyak sudah yang tidak percaya pada sekolah dan lembaga pendidikan
Selain karena semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, 
juga karena sistem yang hanya mendorong manusia menjadi bagian dan budak industri.

Lalu munculah alternatif, sekolah-sekolah yang menawarkan cara baru dalam belajar, 
model baru dalam tata keuangan dan pembiayaan, 
ada yang menawarkan biaya murah dengan alasan memberikan kesempatan 
namun tidak membiarkan orang-orang yang tubuhnya ditato, memakai cadar, berambut gimbal, ikut belajar. 

Ada pula yang menawarkan cara belajar baru
tetapi bukan cara baru 
memandang persoalan hidup. 

Begitukah pendidikan? 
Bigitukan cita-cita pendidikan? 
Semua bergantung kita berdiri di pihak mana.

Langit muram, 
masa depan suram,
Aku memandang jalan lengang, 
sejuta kemungkinan bergelimang 
berjuta-juta ketakutan berloncatan

Kenyataan kewajaran hidup bertabrakan dengan cita-cita
Kesetian pada cita-cita terhimpit kenyataan, 
rasa lapar dan berahi adalah kenyataan yang tak bisa di bantah.

Cita-cita ditawar dengan kewajaran serta kekonyolan etika dan moralitas.
Bukankah menjadi tidak bermoral, 
cita-cita ditukar dengan sepiring nasi atas nama kewajaran?
Bukankah tidak bermoral, 
kesetiaan pada cita-cita ditukar dengan penyerahan diri atas nama etika dan kewajaran?

Jamur di kepala semakin banyak, 
kejernihan berfikir tak lagi dapat diukur, 
sebab perasaan dan rasa lapar semakin menggila.
Atas nama lapar, dan kewajaran, aku gadaikan cita-cita

Atas nama etika dan moral, aku gadaikan iman
Atas nama iman, aku siksa para ibu, aku bunuh para bapak,
dan anak-anaknya aku jerumuskan pada industri dan kapitalisme,
juga
atas nama kewajaran.




2018-2019

Tuesday, June 28, 2016

MARIA 1

Maria,
dimakan usia
matanya memancarkan pilu
keriputnya memendam rindu
;ia dikoyak sepi

Sejak lelakinya pergi lama kembali,
Maria menuntaskan sepi sendiri.
Dua anaknya belum bisa jadi sandaran
Pada siapa rindu dialamatkan

Waktu mengabadikannya dalam sunyi.
Lelakinya pergi takkan kembali.
Anaknya yang perempuan sudah bersuami,
Si anak lelaki sibuk mencari jati diri.

Maria,
meradang dalam sepi
menahan pilu di hati.
Maria asik sendiri
;mati sendiri dalam sepi


27 Mei 2016