Wednesday, September 24, 2025

Puisi-Puisi T.S. ELIOT

RABU ABU

I

Karena aku tak berharap untuk berpaling lagi

Karena aku tak berharap

Karena aku tak berharap untuk berpaling

Sejak hasrati anugerah miliknya serta kemampuan lainnya

Telah kusudahi perjuangan untuk berpaling lagi

(Mengapa sang elang tua membentangkan sayapnya?)

Mengapa harus aku berduka

Atas hilangnya kuasa takhta ini?

 

Karena aku tak berharap untuk tahu lagi

Soal kemuliaan yang melemahkan kebaikan waktu

Karena aku tak berpikir

Karena aku tahu aku tak perlu tahu

Soal nyatanya sebuah adikara sementara

Sebab tak dapat kupuaskan dahaga

 

Di tempat itu, tempat pohon bersemi, mata air mengalir, yang kini tak ada lagi

 

Karena kutahu waktu selalu berwujud waktu

Dan ruang hanya selalu berwujud ruang

Dan yang nyata berwujud nyata hanya sekali saja

Dan di sebuah tempat sajalah

Aku bersorak karena segala hal sebagaimana mestinya dan

Aku menolak mengakui sebuah wajah terberkati

Menolak mengakui suaranya

Karena aku tak dapat berharap untuk berpaling lagi

Maka aku bersuka cita, saat harus membangun sesuatu

Yang membuatku dapat bersorak

 

Dan berdoa agar Tuhan mengampuni, mengasihi kita

Dan berdoa agar aku dapat melupakan

Segala yang tengah berpusing dalam diriku

Terlalu rumit untuk dijelaskan

Karena aku tak berharap untuk berpaling lagi

Biarkan kata-kata ini menjawabnya

Agar apa yang telah terjadi, tak terjadi lagi

Semoga pertimbangan atas perbuatan kita tak begitu pedih

 

Karena sayap ini tak mampu lagi mengepak dan terbang

Semata kipas untuk menebas udara

Udara yang kini makin kering, kering dan sesak

 

Lebih kering dan sesak dibanding harapku

Ajari kami untuk peduli dan tak peduli

Ajari kami untuk duduk dengan tenang.

 

Doakan kami para pendosa, kini dan kelak kala mati[1]

Doakan kami kini dan kelak kala mati

 

II

Bunda, tiga macan tutul putih rehat di bawah pohon juniper

Rehat kekenyangan pada hari yang dingin

Karena kedua kakiku jantungku hatiku dan segala yang tertampung

Dalam hampanya tempurung kepalaku. Dan Tuhan berfirman

Layakkah belulang ini hidup? Layakkah

Belulang ini hidup? Dan segala yang tertampung

Dalam tulang belulang (yang mengering sudah)

Berkicau nyaring:

 

Karena ketulusan Perempuan ini

Dan kelembutan hatinya, dan karena

Ia junjung tinggi Sang Perawan yang berdiam diri,

Kita dapat berkilau. Dan aku, berdiri di sini

Mengajukan kebaikanku untuk dilupakan, dan cinta kasihku

Kepada anak-cucu penghuni gurun beserta buah kundur.

Inilah yang tumbuhkan kembali

Urat-uratku benang saraf mataku dan segala yang tak dapat dicerna

Lalu dimuntahkan oleh para macan tutul. Sang Bunda undur diri

Dalam putih suci gaunnya, untuk merenung, dalam putih suci gaunnya

Biarkan putih dalam belulang bertaubat atas lupanya diri.

Karena tak ada jiwa terkandung dalam mereka. Sebagaimana aku telah dilupakan

Dan akan dilupakan, maka aku akan melupakan

Sembari berserah diri, dan berpusat pada satu tujuan semata. Dan Tuhan bernubuat

Pada angin, pada angin, dan semata pada angin sebab

Hanya angin yang akan mampu mendengarkan. Dan tulang-belulang yang berkicau lantang sambil

Memikul beban belalang, bersabda

 

Bunda beribu kesunyian

Khidmat dalam penderitaan

Tercabik dan tetap utuh

Mawar dari ingatan

Mawar dari kelupaan

Letih dan menghidupkan

Rehat dalam keresahan

Setangkai mawar

Kini menjelma Taman

Di mana seluruh cinta akan berakhir

Mengakhiri siksa

Akan cinta tak memuaskan

Dan siksa yang lebih hebat

Akan cinta terpuaskan

Akhir yang abadi dari

Perjalanan tiada akhir

Kesimpulan atas segala yang

Tak dapat disimpulkan

Percakapan tanpa kata dan

Kata yang tak membentuk percakapan

Berkat rahmat untuk Bunda

Untuk Taman

Di mana seluruh cinta tentu berakhir.

 

Di bawah pohon juniper belulang menyanyi,

Berserakan dan berkilau

Kita semua bersyukur telah terserak, kita melakukan sedikit kebaikan,

Di bawah pohon di hari yang dingin,

Dengan berkat rahmat pepasir di bawah kaki,

Lupa diri dan sesama, untuk melebur menyatu

Dalam hening tengah gurun. Maka inilah tanah yang

Hendaknya engkau bagi-bagi.[2] Tak ada golongan dan kesatuan

Yang lebih penting. Inilah tanah kita. Warisan kita.

 

III

Pada kelokan pertama di tangga kedua

Aku berpaling dan menundukkan pandang

Wujud serupa yang menggeliati pegangan

Tepat di bawah naungan uap pengap

Sedang bergelut dengan iblis penunggu tangga

Mengenakan wajah culas harapan serta keputusasaan.

 

Pada kelokan kedua di tangga kedua

Kutinggalkan mereka bergelut dengan padu, lalu menunduk;

Tak ada rupa resah, dan betapa gelap tangga ini;

Lembab, pedih bergerigi, bak mulut seorang tua penuh liur mustahil dibenahi,

Mungkin juga tenggorokan hiu purba yang berserak gerigi gigi.

 

Pada kelokan pertama di tangga ketiga

Berdirilah sebuah jendela, lubangnya membengkak bak buah tin

Dan lepas pemandangan kembang belukar serta hamparan rumput

Sesosok punggung gagah, dalam biru dan hijau,

Memesona hari di bulan Mei dengan seruling kunonya.

Helai-helai rambut yang tertiup lembut, helai rambut coklat berembus naungi bibir,

Bunga lilak, dan helai rambut coklat;

Sebuah hiburan bagi diri, alunan seruling,

 

Sebuah renungan soal kelanjutan dan akhir perjalanan di tangga ketiga

 

Mereka memudar, makin pudar; menjelma kekuatan yang lampaui harap dan asa untuk

Mendaki tangga ketiga.

 

Tuan, sungguh aku tak layak[3]

Tuan, sungguh aku tak layak

Hanya mampu menyebut sepatah kata itu.

 

IV

Siapa yang berjalan di antara lembayung dan lembayung

Yang berjalan di antara

Bermacam tingkat semburat hijau

Menyusupi putih dan biru, dalam rona warna Maria,

Yang menceritakan hal-hal sepele

Secara gamblang meski mengetahui adanya pilu berkepanjangan

Siapa yang melawan arah kerumunan kala mereka berjalan,

Lalu membangun kokoh pancuran dan menyegarkan kembali mata air

 

Mendinginkan kering bebatuan dan lembutkan hampar pasir

Dalam biru bunga larkspur, dalam biru rona Maria,

Berhati-hatilah

 

Inilah tahun perantara, membawa

Pergi biola dan seruling, mengembalikan

Sang pemindah waktu di batasan terlelap dan terjaga, mengenakan

 

Selembar cahaya putih terlipat, menyelubunginya, terlipat.

Tamasya di awal tahun yang mengembalikan

Awan cerah berembun air mata, tahun-tahun yang terlampaui, mengembalikan

Rima purba dengan sebuah bait baru. Menebus

waktu. Menebus

Bayangan tak terbaca akan mimpi yang lebih suci

Sedang kuda bertanduk dirajah permata mendekati keranda mewah berpoles

 

Sang perawan terdiam dalam tudung bersemburat biru putih

Di antara cemara, di balik sang penguasa taman,

Yang serulingnya tak berbunyi, menundukkan kepalanya dengan isyarat tanpa kata

 

Namun air terus memancar dan seekor burung menyanyi

Menebus waktu, menebus mimpi

Balasan atas kata tak terdengar, tak terucap

 

Sampai angin menggetarkan beribu bisikan cemara

 

Dan pengasingan kita setelah ini

 

V

Jika kata yang hilang hilang sudah, jika kata yang terpakai terpakai sudah,

Jika yang terdengar, tak mampu dikatakan

Maka kata-kata yang kini bisu; tak terdengar

Lalu segala kata mematung, kata yang bisu, Kata yang tuli,

Kata tanpa sepatah kata, Kata dalam

Dunia dan untuk dunia;

Setelahnya, seberkas cahaya menyinari gulita dan

Melawan segala Kata, bumi bergegas mengitari

Pusat dunia yang maha sunyi.

 

Wahai umatku, apa yang telah kuperbuat kepadamu?[4]

 

Di mana dunia dapat ditemukan, di mana kata

Mungkin disuarakan? Bukan di sini jelasnya, tiada hening yang layak untuk itu

Bukan di laut maupun di puluhan pulau ini, atau di daratan, bukan di gurun maupun di negeri penghujan,

Bagi para penjelajah dalam gelap

Berjalan baik di terik hari maupun gulita malam

Waktu dan tempat yang ditakdirkan bukanlah di sini

Tak ada ruang yang diberkati bagi yang mengelak rupa

Tak ada suka cita bagi yang berjalan melampaui bising dan menolak suara hati

 

Akankah sang perawan bertudung berdoa untuk

Mereka yang berjalan dalam gelap, yang

Memilihmu dan melawanmu

Mereka yang bercabang hatinya

Antara musim demi musim, waktu demi waktu, antara

Jam demi jam, kata demi kata, kuasa demi kuasa, mereka yang menunggu

Dalam gulita? Akankah sang perawan bertudung berdoa

Untuk anak-anak di gerbang

Yang tak mau hengkang dan tak dapat berdoa:

Berdoa untuk para pengikut dan para penolak

 

Wahai umatku, apa yang telah kuperbuat kepadamu?

 

Akankah sang perawan bertudung di sela pohon cemara

Kering kerontang berdoa untuk siapapun yang telah mencelanya

Dan yang takut namun tak dapat menyerah

Dan yang menyetujui di awal namun menolak kala genting

Di gurun penghujung sebelum biru batu terakhir

Gurun di taman taman di gurun

Dalam kekeringan, meludah biji apel yang terkulai sudah.

 

Wahai umatku.

 

VI

Meski aku tak berharap untuk berpaling lagi

Meski aku tak berharap

Meski aku tak berharap untuk berpaling

 

Berpusing di antara faedah dan kerugian

Dalam persinggahan singkat tempat mimpi bersua

Senja terburai angan di tengah kelahiran dan kematian

(Berkati aku, bapa) meski aku tak pernah memohon untuk harapkan hal semacam ini

Putih pantai granit disorot oleh jendela lebar tampakkan

Layar-layar bersih mengembang menuju laut, menuju laut mereka mengembang

Sayap yang tak akan pernah patah

 

Hati yang kehilangan mengeras dan bersuka cita

Akan sirnanya wangi lilak dan sirnanya nyanyian laut

Dan jiwa yang lemah rentan memberontak

Karena bengkoknya sebuah pancing emas, wangi laut telah menguap

Mempercepat redanya

Tangis puyuh serta cerek yang berpusing

Dan buta mata masih mampu ciptakan

Wujud-wujud hampa pada sela gading gerbang

Dan wangi yang segarkan setitik asin tanah berpasir

Inilah masa resah antara kematian dan kelahiran

Relung kesendirian tempat tiga mimpi saling bersimpangan

Antara bebatuan berona biru

Tapi saat nyanyi tulus sebatang cemara bergema lalu sirna

Biarkan cemara lainnya bergetar menjawab.

 

Perawan suci, bunda, roh mata air, roh taman abadi,

Janganlah deritamu jerumuskan kami dalam dusta

Ajari kami untuk peduli dan tak peduli

Ajari kami untuk duduk dengan tenang

Bahkan di antara bebatuan tajam ini,

Kedamaian kami dalam kehendakNya

Perawan suci, bunda

Roh segala sungai, roh lautan

Jangan biarkan aku tersesat dalam deritamu[5]

 

Dan biarkan jerit tangisku sampai kepadaMu.

 

[1] Terjemahan bebas dari Salam Maria

[2] Terjemahan bebas dari kutipan Yehezkiel 48:29

[3] Terjemahan bebas dari kutipan Matius 8:8

[4] Terjemahan bebas dari kutipan Mikha 6:3

[5] Terjemahan bebas dari kutipan doa Anima Christi

 

 

Tentang Penerjemah:

Noa Dhegaska

Mahasiswi Sastra Inggris yang sesekali memainkan Demung. Sedang belajar menerjemahkan gambar dan kata, serta menulis dengan telinga. Melukiskan isi hati dalam kanvas serindu sekali. Berdomisili di Surabaya dan ingin memaknai hidup sehidup mati. Instagram: @semiromantic. Facebook: https://www.facebook.com/egaska.

 


TANAH PEMBUANGAN

 

                 FOR EZRA POUND

                 IL MIGLIOR FABBRO (1)

 

I. Penguburan Mayat

 

April adalah bulan terkejam, membenihkan

Bebunga lilak di lahan beku, membaurkan

Hasrat dengan keping kenangan, mencampurkan

Akar-akar layu dan hujan musim semi.

Musim dingin justru membikin hangat kami, menyelimuti

Bumi dengan butiran salju amnesia, menyuapi

Satu kehidupan mungil dengan umbian kering.

Musim panas mengejutkan kami, di Starnbergersee,

Dengan guyuran hujan; kami berhenti di jajaran tiang,

Dan pergi di bawah sinar matahari, ke Hofgarten,

Plus minum kopi, plus sejam lamanya berbincang.

Bing gar keine Russin, stamm’ aus Litauen, echt deutsch. (2)

Dan sewaktu kami kecil dulu, tinggal di wilayah-bangsawan,

Sepupuku, sibuk mengajakku bermain kereta salju,

Aku ketakutan. Ia berkata, Marie,

Marie, pegang erat-erat. Dan kami meluncur turun

Ke pegunungan, di sana kau akan merasa bebas.

Aku terus membaca, bemalam-malam terjaga,

Dan pergi ke selatan tatkala musim dingin tiba.

 

Akar apa yang mampu melekat erat,

Dahan apa yang mampu bertumbuh kuat

Di rongsokan yang telah membatu ini? Anak manusia,

Kau tak mampu berkata, atau mengira, kau cuma tahu

Tumpukan gambar yang cedera, dan debar matahari,

Pohonan meranggas bukan naungan, jangkrik bukan bantuan,

Batuan kersang tanpa ricik air. Hanya

Semacam bayangan di balik batu merah ini

(Di balik bayangan batu merah ini)

Dan akan kutunjukkan sesuatu yang berbeda dari

Bayangmu waktu pagi yang merayap di belakangmu

Maupun bayangmu tatkala petang naik menjengukmu;

Akan kutunjukkan ketakutanmu dalam segenggam debu.

                   Frisch weht der Wind

                   Der Heimat zu,

                   Mein Irisch Kind,

                   Wo weilest du? (3)

“Kau memberiku sekuntum bakung pertama tahun lalu;

“Kini mereka memanggilku gadis bunga bakung.”

—Tapi saat kami pulang, terlambat, dari kebun bunga bakung itu,

Gembung lenganmu, basah rambutmu, sungguh aku tak mampu

Bicara, mataku tak lagi sanggup menatapmu, dan aku

Tidak pula hidup atau mati, dan aku tak tahu apa-apa.

Melongok ke dalam jantung cahaya—keheningan belaka.

           Oed’ und leer das Meer. (4)

 

Bunda Sosostris, cenayang selebritis,

Sekarang terserang flu juga, meski demikian

Ia terkenal sebagai perempuan paling bijak seantero Eropa.

Dengan satu pak kartu kejamnya. Begini, ia bergumam,

Kartu Anda, Pelaut Phoenicia yang tewas tenggelam

(Sepasang mutiara itu tak lain sepasang matanya. Lihat!)

Berikutnya adalah Belladonna, sang perempuan perkasa,

Perempuan yang amat bergantung dengan suasana.

Lalu Lelaki Bertongkat Tiga,  dan inilah Roda,

Inilah Saudagar Bermata Satu, dan kartu ini,

Yang kosong, adalah kartu yang ia bawa di punggungnya,

Dan saya dilarang melihatnya lebih jauh. Saya tidak menemukan

Laki-Laki Yang Digantung. Begitu khawatir bisa tewas di air.

Saya lihat kerumunan manusia, berjalan dalam lingkaran.

Terima kasih. Kalau Anda bertemu Nyonya Equitone,

Tolong katakan horoskopnya musti saya sampaikan sendiri:

Pada jaman begini seseorang memang mesti sangat berhati-hati.

 

Kota Maya,

Di bawah kabut coklat saat fajar musim dingin tiba,

Kerumunan mengalir di Jembatan London, alangkah banyaknya,

Aku tidak berpikir bahwa kematian telah begitu banyak tertunda.

Desahan, pendek dan jarang, dihembuskan,

Dan setiap orang selalu lebih dulu beres matanya sebelum kakinya.

Mengalir ke atas bukit dan menuruni King William Street,

Ketika Saint Mary Woolnoth tengah menjaga waktu

Bersama bunyi kematian pada dentang terakhir pukul sembilan.

Di sana aku bertemu dan menghadang lelaki itu, tersedu: “Stetson!

“Kau saja yang menyertaiku dalam kapal di Mylae!

“Mayat itu Anda, ditanam tahun lalu di kebun Anda,

“Apakah mayat itu mulai tumbuh? Akankah mekar tahun ini?

“Atau tiba-tiba embun beku akan terganggu di ranjangnya?

“Oh jagalah agar Anjing tetap jauh, anjing teman manusia itu,

“Atau dengan kukunya dia akan menggali kubur itu lagi!

“Kamu! hypocrite lecteur!—mon semblable—mon frère!” (5)

 

II. Satu Pertandingan  Catur

 

Kursi yang diduduki perempuan itu, seperti tahta berkilap,

Berkilau di atas marmer, dalam ruang megah di mana kaca

Sesuai standar tempaan dihiasi sulur-sulur anggur penuh buah

Yang menampilkan sesosok Cupidon keemasan

(Cupidon lain menyembunyikan matanya ke balik sayap)

Menggandakan nyala tujuh lilin di wadah logam bercabang

Memantulkan cahaya pada permukaan meja seakan

Gemerlap aksesori permatanya merayapi ruangan,

Sejak kasus kain satin dicelup ke dalam gelimang kekayaan;

Dalam botol kaca sewarna gading dan

Tak bertutup, mengintailah parfum aneh sintetisnya,

Salep, bubuk, atau cairan—rawan, membingungkan

Dan ditenggelamkan indera ke dalam bau kemewahan;

Diaduk dengan udara segar dari jendela, kemudian

Membesarkan nyala-lilin yang memanjang,

Mengepulkan gumpalan asap ke panel plafon ruang,

Membaurkan pola ke balik tutup peti antik aristokrasi.

Kayu-laut besar dihiasi dengan tembaga

Dibakar kehijauan dan kuning tua, dibingkai batuan berwarna,

Kesedihan menghidupkan ukiran lumba-lumba berenang.

Sekarang, di atas perapian antik yang serupa

Kusen jendela tampillah semacam adegan buas

Tentang metamorfosa Philomel, akibat seorang raja biadab

Telah begitu beringas memperkosanya; sebelum seekor bulbul

Memenuhi gurun dengan kicauan tanpa gangguan

Dan ia masih terus terisak, dan masih merindukan dunia,

“Jug Jug” ke setiap telinga cabul.

Dan satu lagi tunggul yang dikeringkan waktu

Bergumam kepada dinding; berpaling keluar

Menatap aneka bentuk, bersandar, kebisuan ruang terkunci.

Langkah-langkah kaki beringsut di anak tangga.

Di bawah nyala api, di bawah sisir besar, rambutnya

Terurai ke sudut yang membara

Berpijar dalam kata-kata, maka akan terlihat lebih kejam.

 

    “Sarafku terasa tegang malam ini. Ya, tegang. Tetaplah bersamaku.

“Bicaralah padaku. Mengapa kau tak pernah bicara. Bicaralah.

    “Apa yang kaupikirkan? Apakah berpikir itu sebenarnya? Apa?

“Aku tak pernah tahu apa yang kaupikirkan. Pikirkan itu.”

 

      Saya pikir kami tengah berada di gang tikus

Tempat orang-orang mampus kehilangan belulang mereka.

 

      “Suara apa itu?”

                           Angin di bawah pintu.

“Suara apa sekarang? Apa yang dilakukan angin itu?”

                           Tak ada apa-apa di sana.

                                                            “Apakah

“Kau tak tahu apa-apa? Apa tak kaulihat? Apa kau ingat

“Ketiadaan?”

 

        Saya ingat

Mereka sepasang mutiara yang berkilau dalam matanya.

“Apa kau hidup, atau mati? Apa ketiadaan ada dalam kepalamu? “

 

                                                                                 Tapi

O O O O begitulah lagu Kain Perca Shakespeherian—

Lagu yang begitu elegan

Begitu brilian

“Apa kini yang mesti kulakukan? Apa yang mesti kulakukan?”

“Aku akan keluar seperti kebiasaanku, dan menyusuri jalanan

“Dengan rambut teruraiku. Apa yang akan kita lakukan esok hari?

“Apakah kita mesti melakukan apa yang pernah kita lakukan?”

                  Air panas pada angka sepuluh.

Dan bila hujan, satu mobil kap tertutup pada angka empat.

Dan kami akan bermain catur kembali,

Menahan mata agar pelupuk terbuka dan menunggu pintu diketuk.

 

Saat suami Lil dimobilisasi, saya berkata—

Tanpa basa-basi, saya berkata kepada perempuan itu

seperti berkata kepada diri sendiri,

LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA

Hari ini Albert pulang, tolong kau cerdas sedikit.

Albert ingin tahu apa yang kaulakukan dengan uang pemberiannya

Demi memiliki beberapa gigi. Saat ia mengatakan ini, aku ada di sana.

Telah kau punya semua itu, Lil, punya satu set yang bagus,

Albert berkata, aku bersumpah, aku tak sanggup menatapmu.

Dan tak sekuat aku, kata saya, berpikir tentang Albert yang malang.

Albert dinas di militer empat tahun, dia ingin waktu yang pas,

Dan jika kau tak beri dia hal itu, ada orang lain yang bisa, kata saya.

Oh tentu saja ada, katanya. Semacam o’ yang lain, kata saya.

Aku akan tahu siapa yang benar-benar berterima kasih, kata Lil,

dan sanggup memberiku tatapan yang tulus.

LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA

Jika kau tak suka, kau tetap mesti melakukannya, kata saya,

Orang lain bisa menawarkan hal itu, jika kau tak bisa.

Tapi jika Albert pergi, hal itu bukan masalah juga.

Kau seharusnya malu, kata saya, kau nampak bagai hiasan antik.

(Dan perempuan itu baru tiga puluh satu.)

Aku tak bisa menahannya, Lil berkata, menarik wajah tirusnya,

Itu semua sebab pil yang kuambil, lalu kumuntahkan, dia berkata

(Dia telah menelan lima, dan hampir membunuh George muda.)

Ahli kimia itu bilang semua akan baik-baik saja,

tapi saya tak berpikiran sama.

Kau orang bodoh yang bertindak benar, kata saya.

Nah, jika Albert tak akan meninggalkanmu, lanjut saya,

Buat apa menikah jika kau tak menghendaki anak darinya?

LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA

Nah, hari Minggu itu Albert telah di rumah,

mereka punya daging paha asap yang hangat,

Dan mereka minta saya makan malam bersama,

untuk ikut merasakan keindahan hangat itu—

LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA

LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA

Goonight Bill. Goonight Lou. Goonight Mei. Goonight.

Ta ta. Goonight. Goonight.

Selamat malam, perempuan, selamat malam,

perempuan manis, selamat malam, selamat malam.

 

III. Khotbah Berapi-Api

 

Tenda di sisi sungai telah rubuh: atap daunan serupa jemari

Terakhir jatuh dan tenggelam ke tepian basah. Angin berputar

Melintasi tanah coklat, tak terdengar. Gadis perawan telah pergi.

Thames manis, melangkah pelan, hingga kuakhiri senandung ini.

Sungai tak cuma menanggung botol-botol kosong, bungkus roti,

Saputangan sutra, puntung rokok, kardus bekas, tetapi juga

Setiap kesaksian malam musim panas. Gadis perawan telah pergi.

Dan teman-teman mereka, pewaris avontur di kota para direktur;

Telah pergi, tanpa sempat meninggalkan alamat.

Sebab arus perlahan sungai Leman aku pun duduk dan menangis…

Thames manis, melangkah pelan, hingga kuakhiri senandung ini.

Thames manis, melangkah pelan, sebentar cuma gumamku kini.

Tapi dalam ledakan dingin di belakang punggung kudengar

Derak tulang, dan tawa menyebar dari telinga ke telinga.

 

Seekor tikus nampak merayap melintasi tumbuhan

Menyeret perut berlendirnya pada tepian

Sementara aku memancing di kanal yang membosankan

Pada putaran malam musim dingin di belakang Pom Bensin

Terkenang kapal kerajaan adikku yang karam,

Juga tewasnya ayahku sebelum adikku tenggelam.

Jasad putih telentang telanjang di dataran yang lembab

Dan belulang dilempar ke atas loteng kering sedikit pengab,

Dibingungkan oleh langkah kaki tikus, dari tahun ke tahun.

Tapi di belakangku dari waktu ke waktu kudengar

Bunyi klakson dan deram motor, yang akan membawa

Sweeney untuk Nyonya Porter sewaktu tiba musim semi.

O bulan bersinar terang pada Nyonya Porter malam ini

Juga pada putrinya

Mereka mencuci kaki dengan air soda

Et O ces voix d’enfants, chantant dans la coupole! (6)

 

Twit twit twit

Jug jug jug jug jug jug

Begitu kasar memaksa.

Tereu

 

Kota Maya

Di bawah kabut coklat dari siang musim dingin

Tuan Eugenides, pedagang Smyrna yang lain

Bercukur, dengan kantong penuh kismis.

C.i.f. London: dokumen yang ada di depan mata,

Tanyai aku segala hal tentang orang Perancis

Demi makan siang gratis di Cannon Street Hotel

Diikuti oleh akhir pekan di Metropole yang manis.

 

Pada jam viola, sewaktu mata dan punggung di meja

Berbalik menghadap ke atas, pas menunggu tukang mesin tiba

Seperti sebuah taksi yang berdenyut menanti panggilan,

Aku Tiresias, meskipun buta, berdenyut antara dua kehidupan,

Seorang lelaki dengan keriput payudara, tepat menatap

Pada jam viola, macam jam malam yang terus mendesaknya

Pulang, dan menarik para pelaut dari pelayaran ke rumahnya,

Tukang ketik panggilan pas minum teh, membersihkan sarapannya,

Memadamkan tungku, dan menyajikan makanan kaleng di meja.

Perempuan itu hampir terjatuh keluar jendela saat meletakkan

Setumpuk jemuran yang disentuh sinar terakhir matahari senja,

Di atas dipan yang disusun vertikal (saat malam itulah ranjangnya)

Stoking, sandal, pakaian dalam, dan korset model terbaru.

Aku Tiresias, lelaki tua dengan keriput payudara

Melihat semacam adegan, dan selebihnya hanya ramalan—

Aku juga tengah menunggu tamu yang diharapkan.

Dia, berondong muda dengan jerawat batu, telah tiba kini,

Seorang pegawai agen perumahan kecil, punya tatapan berani,

Salah satu dari golongan terendah untuk beroleh asuransi

Duduk seperti topi sutra milik seorang jutawan tua, Bradford.

Sekarang tibalah saat yang tepat, begitu ia mengira,

Setelah makan, dia lelah dan bosan,

Berupaya mengajak perempuan itu bercumbu,

Tentu hal begitu bukanlah perbuatan tercela, bila benar sama suka.

Membara dan memutuskan, ia mau sekaligus menyerang;

Tangannya mulai merayap-rayap dan tiada beroleh perlawanan;

Keangkuhan begitu memang tak memerlukan tanggapan,

Dan membikin reaksi alami ketakpedulian.

(Dan aku, Tiresias, telah menyimpan setiap penderitaan,

Telah ditakdirkan terbaring di dipan atau tilam yang sama;

Aku yang didudukkan oleh Thebes di bawah dinding

Dan berjalan di antara yang paling hina dari orang-orang mati.)

Melimpahkan satu ciuman terakhir yang merendahkan,

Dan meraba-raba jalan, menemukan tangga gelap…

 

Perempuan itu berbalik dan menatap sesaat di kaca,

Hampir tidak menyadari kekasihnya telah pergi;

Otaknya mengijinkan selintas pikiran kembali:

“Telah selesai dilakukan: dan aku senang telah berakhir.”

Ketika perempuan cantik itu membungkuk dengan lugu

Dan melangkah kembali ke kamarnya, sendirian,

Spontan ia merapikan rambutnya dengan telapak tangan,

Kemudian memutar rekaman pada gramofon.

 

“Aku mendengar musik ini menjalar di atas ombak liar”

Dan sepanjang Strand, hingga Queen Victoria Street.

O Kotanya kota, terkadang dapat kudengar

Di samping bar umum di Lower Thames Street,

Rengekan menyenangkan dari satu mandolin

Juga denting dan obrolan dari dalam

Ruang manusia-ikan pada siang hari: di sanalah dinding

Tempat Magnus Sang Martir tak henti menahan

Keindahan emas dan putih Ionia tak terjelaskan.

 

               Keringat sungai

               Menanggung

               Minyak dan tar

               Tongkang terapung

               Sebab arus berputar

               Layar merah

               Terbentang

               Tekanan angin, berayun pada tiang.

               Tongkang basah

               Batang-batang kayu terapung

               Tiba di Greenwich

               Melewati Kepulauan Anjing.

                                                       Weialala Leia

                                                       Wallala leialala

 

               Elizabeth dan Leicester

               Bersama mengayuh campang

               Bentuk buritan perahu

               Sebuah cangkang emas

               Merah dan keemasan

               Gelombang yang lekas

               Surut di kedua pantai

               Angin barat daya bersulih

               Kini mengalir ke hilir

               Dentang lonceng bergema

               Dari puncak menara putih.

                                                      Weialala Leia

                                                      Wallala leialala

 

“Trem dan pohon-pohon berdebu.

Highbury selalu membosankan aku. Richmond dan Kew

Membuka kancingku. Bersama Richmond kuangkat lututku

Terlentang di lantai kano sempit itu.”

 

“Kakiku ada di Moorgate, dan hatiku

Di bawah kakiku. Setelah afair singkat

Lelaki itu menangis. Dia menjanjikan ‘awal baru.’

Aku tak berkomentar. Apa lagi yang mesti kubenci? “

 

“Di Margate Sands.

Dapat kuhubungkan

Kehampaan dengan ketiadaan.

Kuku-kuku patah dari tangan kotor.

Rakyatku sungguh rendah hati,

Rakyat yang tak mengharapkan apa-apa lagi.”

                       La la

 

Demi Kartago maka aku datang

 

Bakar bakar bakar bakar

Ya Tuhan Yang Maha Pemberani keluarkan aku

Ya Tuhan Yang Maha Pemberani

 

bakarlah aku

 

IV. Kematian oleh Air

 

Phlebas dari Fenisia, dua minggu mati,

Lupa jeritan burung camar, dan gelombang samudera

Plus rugi-laba.

                        Arus bawah laut

Membawa belulang dalam bisikan. Saat lelaki itu bangkit dan jatuh

Dia melewati tahapan usia dan pemuda itu

Memasuki pusaran air.

                                     Yahudi atau bukan Yahudi

Hai orang yang memutar roda dan menatap arah angin,

Pertimbangkan Phlebas, yang pernah tampan dan tinggi seperti Anda.

 

V. Sabda Guruh 

 

Setelah nyala obor menyinari wajah berkeringat

Setelah senyap yang dingin di kebun menghangat

Setelah penderitaan di wilayah berbatu

Teriakan dan sedu-sedan itu

Penjara dan istana dan dentam

Guntur musim semi di atas pegunungan

Lelaki yang tinggal sekarang telah wafat

Kami yang tinggal sekarang hanya sekarat

Menyimpan sedikit kesabaran

 

Di sini tak ada air, hanya batu

Batu dan tak ada air dan jalan berpasir

Jalan berliku menanjak di antara pegunungan

Semata pegunungan berbatu tanpa air

Jika ada air kita pun harus berhenti dan minum

Di antara batu seseorang tak bisa berhenti atau berpikir

Keringat kering dan kaki di pasir

Jika hanya ada air di antara batu

Mulut gunung mati penuh gigi busuk dan tak bisa meludah

Di sini seseorang tak bisa berdiri atau berbaring atau duduk

Bahkan tak ada keheningan di pegunungan

Tapi guntur mandul ranggas tanpa hujan

Bahkan tak ada kesendirian di pegunungan

Tapi tampang merah kusut mencibir dan kerap membentak

Dari depan pintu rumah itu kini telah lingsir

                                        Jika ada air

            Dan tak ada batu

            Jika ada batu

            Dan juga air

            Dan air

            Musim semi

            Sebuah kolam renang di antara batu

            Jika ada ricik air

            Tak ada derik jangkrik

            Dan desir rumputan

            Tapi suara air di daerah berbatu

            Tempat murai-pertapa berkicau di pohon-pohon pinus

            Tik tak tik tak tik tak tik

            Tapi tetap tak ada air

 

Siapa itu orang ketiga yang berjalan selalu di sampingmu?

Ketika kuhitung, hanya ada kau dan aku

Namun ketika kulihat di depan jalan lurus putih itu

Selalu ada satu lagi orang berjalan di sampingmu

Bergegas terbungkus mantel coklat, berkerudung

Aku tak tahu apakah lelaki atau perempuan

—Yang pasti ia selalu berjalan di sampingmu?

 

Apakah yang terdengar melengking di udara itu

Tak lain gemuruh ratap keibuan

Siapakah kerumunan orang-orang berkerudung hitam itu

Di dataran tak berujung, di tanah lekang kerap membuat tersandung

Yang dikelilingi cakrawala datar

Apakah kota di puncak pegunungan

Yang retak dan dibangun kembali dan meledak di udara viola

Reruntuhan menara

Yerusalem Athena Alexandria

London Wina

Tak nyata

 

Perempuan itu menarik rambut panjang hitamnya kencang-kencang

Memasangnya sebagai dawai dan memainkan musik sedih

Dan kelelawar berwajah bayi dalam cahaya viola

Berdesing, dan mengepakkan sayap-sayapnya

Dan turun merangkaki dinding hitam dengan kepala ke bawah

Dan jungkir balik di udara, tepatnya di dalam menara

Yang mendentangkan lonceng peringatan, pada waktu tertentu

Dan gelombang cericit dari sumur kosong dan lubuk kerontang.

 

Dalam lembah membusuk di antara pegunungan ini

Di bawah samar sinar bulan, rumput-rumput bernyanyi

Di sekitar makam tak terurus, di sekitar kapel tua

Yang kini tinggal kapel kosong belaka, tinggal rumah angin.

Kapel itu tak memiliki jendela, dan ayunan pintu,

Tak bakal membahayakan tulang kering seseorang.

Hanya ayam jantan yang ngaceng di atas bubungan

Ku ku ku ku ku ku ruuyuk

Dalam kilatan petir. Kemudian semacam hembusan basah

Membawa hujan.

 

Cekungan Gangga, dan daunan terkulai

Menunggu hujan tak kunjung tiba, sedangkan awan hitam

Di sana bergumpal terlihat amat jauhnya, di atas Himavant.

Hutan merunduk, berpunuk dalam keheningan.

Kemudian sabda guruh

DAR

Datta: apa yang telah kita diberikan?

Temanku, darah gemetar dalam hatiku

Keberanian kasar dalam semacam momen kepasrahan

Adalah abad kehati-hatian yang tak dapat dibatalkan

Dengan ini, hanya dengan ini, kita telah ada

Dan tak dapat dicari dalam kabar hingar kematian kita

Atau dalam ingatan terbungkus benang laba-laba pemurah

Atau di bawah segel rusak dari seorang pengacara ramping

Dalam kamar kosong kita

DAR

Dayadhvam: Aku telah mendengar kunci

Diputar sekali di pintu lalu cukup diputar sekali lagi

Kami berpikir tentang kunci, setiap orang dalam penjara

Berpikir tentang kunci, masing-masing mengakui penjara

Hanya pada malam hari, rumor tentang berkat surga

Sejenak kembali menghidupkan rusa Coriolanus

DAR

Damyata: Perahu telah merespon

Dengan riang, bagi tangan yang ahli dengan layar dan campang

Laut sedang tenang, hatimu sekali lagi akan merespon

Dengan riang, ketika diundang, merebut ketaatan

Untuk mengendalikan tangan.

 

                                               Aku duduk di tepi pantai, sendiri

Memancing, di belakangku hanya dataran gersang

Mestikah aku mengatur kembali tanah dalam rantai warisan ini?

Jembatan London kembali tumbang dan tumbang dan tumbang

Poi s’ascose nel foco che gli Affina (7)

Quando fiam uti chelidon—O seriti dari segala seriti (8)

Le Prince d’Aquitaine à la tour abolie (9)

Pada fragmen ini telah kupunya penopang buat menghadapi

Keruntuhanku andai kelak Ile merasa lebih cocok denganmu.

Kesintingan Hieronymo memang tiada bandingnya.

Datta. Dayadhvam. Damyata.

                 Shanti     shanti     shanti

 

CATATAN:

 

(1) Terjemahan dari bahasa Italia:

IL MIGLIOR FABBRO

(Sang Pandai Besi Terbaik)

 

(2) Terjemahan larik berbahasa Jerman:

Bin gar keine Russin, stamm’ aus Litauen, echt deutsch.

(Bukan orang Rusia, hanya kelahiran Lithuania, warga Jerman)

 

(3) Terjemahan larik berbahasa Jerman:

Frisch weht der Wind

Der Heimat zu,

Mein Irisch Kind,

Wo weilest du?

 

(Angin menghembus garang

Tanah air,

Irlandiaku tersayang,

Di manakah kau kini?)

 

(4) Terjemahan larik berbahasa Jerman:

Oed’ und leer das meer

(Sesepi dan sehampa lautan)

 

(5) Terjemahan larik berbahasa Prancis:

“You! hypocrite lecteur!—mon semblable,—mon frère!”

(“Kamu! pembaca munafik—seperti aku,—saudaraku!”)

 

(6) Terjemahan larik berbahasa Prancis:

Et O ces voix d’enfants, chantant dans la coupole!

(Dan O beginilah suara anak-anak, bernyanyi di dalam kubah!)

 

(7) Terjemahan larik berbahasa Italia:

Poi s’acose nel foco che gli Affina

(Ia menyembunyikan dirinya di dalam api suci).

 

(8) Terjemahan larik berbahasa Italia:

Quando fiam uti chelidon

(Ketika saya akan menjadi seperti seriti).

 

(9) Terjemahan larik berbahasa Prancis:

Le Prince d’Aquitaine tur abolie la

(Pangeran Aquitaine dalam menara hancur).

 

(10) DA, diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi DAR, adalah onomatope (tiruan bunyi) dari suara guntur.

 

(11) Datta artinya “memberi”; Dayadhvam artinya “memiliki belas kasih”; dan Damyata artinya “memiliki pengendalian diri”. Tiga konsep spiritual Hindu yang diambil dari bahasa Sansekerta itu ada di dalam kitab Upanishad.

 

(12) Shanti artinya “damailah”, satu ucapan terkahir dalam lazimnya doa spiritual Hindu.

 

——————————————————————————-

Diterjemahkan oleh Ahmad Yulden Erwin, 1 – 13 September 2015


SENANDUNG CINTA J ALFRED PRUFROCK

 

Mari pergi, berdua kita,

Kala malam merebak melintang angkasa

Seperti pesakit telentang atas meja bedah: terbius ia;

Mari beranjak, menjejak sepi jalan setapak,

Racauan kalah

Dari malam-malam gelisah di hotel melati kelas rendah

Dan pada bar berserbuk gergaji tambah cangkang-tiram

Jalanan yang menjejak seperti dalih-berbelit

Dari maksud tersembunyi

Membawamu ke satu tanya penuh ragu

Oh, jangan kau tanyakan,”Apa gerangan?”

Mari lekas pergi, selesaikan lawatan ini.

 

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik

Bertopik Michelangelo ia berbisik

 

Kabut kuning menyeka punggungnya di jendela kaca,

Asap kuning mengusap moncongnya di jendela kaca,

Menjilatkan lidahnya ke penjuru malam, ia

Bersitahan pada kolam yang terus terkuras,

Membiarkan hantam punggungnya: jelaga jatuh dari cerobong,

Tergelincir di teras, tetiba meloncat

Dan menemu kini: lirih malam Oktober ,

Mengeliuk sekitar rumah, lantas terlelap pulas.

 

Dan tentu akan tiba masa

Bagi asap kuning yang mengalun sepanjang jalan,

Menyeka punggungnya pada jendela kaca;

Akan tiba masa, akan datang waktu

’Tuk persiapkan paras bertemu rupa yang kau jumpa;

Akan tiba masanya merusak dan mencipta,

Dan masa kerja juga musim menyemai

Yang angkat-hempaskan tanya di atas piringmu;

Waktu bagimu, juga bagiku,

Dan bagi ratusan kebimbangan

Dan pandangan juga ramalan,

Di hadapan sajian sarapan.

 

Di dalam bilik, sang wanita bolak-balik

Bertopik Micheangelo ia berbisik

 

Dan tentu akan tiba waktu

Untuk meragu, ”beranikah aku ?” dan,“beranikah aku?”

Waktunya kembali dan turuni tangga,

Dengan sepetak botak di tengah kepala —

[Mereka ‘kan berkata: “Betapa menipis rambutnya”]

Mantel pagiku — kerahnya menyesak hingga dagu

Dasiku mewah dan sederhana, namun dikait peniti biasa —

[Mereka ‘kan berkata: “Namun betapa kurus lengan dan kakinya!”]

Beranikah aku

Menentang semesta?

Demi putusan dan tinjauan yang sekejap jumpalitan.

 

Aku telah mengenal mereka, kenal mereka semua:

Telah kenal malam, pagi, petang,

Dengan sendok kopi, ini hidup telah aku timbang;

Kenal aku pada suara sekarat seperti sakaratul maut

Di balik musik dari bilik jauh.

Jadi bagaimana mesti kuduga?

 

Dan telah aku kenal sang mata, kenal mereka semuanya —

Mata yang memakumu pada metafora,

Dan ketika aku terperangkap, ditancap pasak,

Ketika aku terpaku dan menggeliat di dinding,

Lalu bagaimana mesti kumulai

Untuk ludahkan segala sisa hari-hari dan jalan-jalanku?

Dan bagaimana mesti kuduga?

 

Dan aku telah kenal lengan-lengan itu, kenal mereka semuanya —

Lengan bergelang, putih dan polos

[Tapi di bawah cahaya lampu: dibingkai rambut cokelat terang!]

Apa harum dari gaun

Yang membuatku melantur-tertegun?

Lengan yang terkapar atas meja, juga tersaput selendang

Dan mestikah aku menduga?

Dan bagaimana mesti kumulai?

 

Mestikah kuungkap, telah pergi aku pada petang hari melintasi jalan sempit

Dan menyaksikan asap merabung dari pipa cerutu

Lelaki kesepian tak bermantel, bertelekan pada jendela

 

Mestinya aku sepasang cakar usang

Lintang-pukang di dasar laut tenang.

 

Dan sang senja, sang malam, terlelap tenteram!

Dibelai jemari panjang,

Lelap…lelah…atau sekedar berpura,

Telentang ia di lantai, di sisi kita berdua.

Mestikah aku, selepas kudapan kue, teh, dan es batu,

Sanggup memaksa masa menuju mercu?

Namun meski telah meratap aku, berpantang, puasa, serta berdoa tersedu,

Meskipun sudah kusaksikan kepala ini (rontok dan botak) diseret ke atas piring,

Aku bukan nabi dan itu bukan soal;

Telah kulihat masa jayaku terang-redup,

Dan telah kusaksikan pelayan meraih mantelku dan terbahak

Dan sekilas, aku cemas.

 

Dan akankah itu bernilai, pada akhirnya,

Setelah cangkir, selai jeruk, teh,

Di antara porselen, di antara secuap dua pembicaraan kita,

Akankah itu berharga,

Menyusutkan masalah bersama senyuman,

Memejalkan semesta menjelma bola

Demi geleserkan ia menuju tanya penuh ragu,

Demi berkata: “Akulah Lazarus, bangkit dari kematian,

Bangkit untuk wahyukan ke kalian, mesti kukabari kalian semua” —

Bila seseorang, letakkan bantal di belakang kepalanya

Katakanlah : “Bukanlah itu yang aku maksud.

Bukan, sama sekali bukan

 

Dan akankah itu bernilai, pada akhirnya

Akankah itu bernilai,

Selepas surya tenggelam dan pekarangan dan jalan setapak,

Selepas roman, setelah cangkir teh, dan rok yang menghela sepanjang lantai —

Dan ini, dan banyak lagi? —

Tak mungkin ‘tuk ungkapkan yang kumaksud!

Tapi seolah-olah lentera-ajaib lemparkan ragam gelisah pada layar:

Akankah ini bernilai

Bila sesorang, meletakkan bantal atau melempar selendang,

Dan berpaling pada tingkap, berkatalah :

“Bukan itu,

Sama sekali bukan itu”

Tidak! Aku bukan Pangeran Hamlet, tak juga bermaksud jadi dia;

Aku pelayan Tuhan, orang yang akan,

Melakon alur, memulai satu dua adegan,

Menasihati sang pangeran; tanpa keraguan,

Penuh hormat, senang diperalat,

Bijak, teliti, juga cermat;

Sarat ucap melangit, namun acap juga lalai;

Terkadang, konyol —

Terkadang tolol.

 

Aku menua… bertambah tua..

Mestinya kubalun bawah celana.

 

Mestikah kucampakkan rambutku ke belakang ? Bernyalikah aku mengunyah persik?

Mestinya kukenakan celana flanel putih, dan berjalan menyusur pantai.

Telah kudengar putri duyung bersenandung, ke sesamanya

 

Rasaku, takkan bernyanyi mereka untukku.

 

Telah kupandang-lekat mereka melaut-mengombak

Menyisir rambut putih dari punggung-ombak yang terempas

Ketika angin mendesir, air menghitam, buih memutih

Kita tinggal-tetap di bilik lautan

Dikerumuni gadis laut bertatah ganggang merah dan cokelat

Hingga suara-suara manusia membangunkan kita, kita tenggelam.

 

-------------

Diretjemahkan oleh Asra Wijaya 2017


RAPSODI DINGIN MALAM

 

Pukul 12 tepat

 

Sepanjang rengkuhan jalan

Bertahan pada sentesa bulan

Bisik mantra-mantra bulan

Mengabur lantai kenangan

Dan segala relasi jelas kini

Segala memisah, memperjelas diri

Setiap lelampu jalan yang kulintas

Berdentum bagai tambur kematian

Tengah malam menyentak lepas kenangan

Bagai lelaki marah mencabut kering geranium.

 

30 menit dari pukul 1

 

lelampu jalan yang memercik berkata:

Beri hormat itu perempuan

Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu

Pintu yang membuka padanya seperti seringai.

 

Kau lihat ujung gaunnya.

 

Koyak berlumur pasir

dan kau lihat sudut matanya

mengerling bagai lencana yang dipakai miring.

 

Kenangan melambung, tinggi dan kering

 

Kerumunan dari yang terpintal terjalin

Jalinan cecabang di senarai pantai.

Terasa hambar dan berkilau

Seperti yang dunia serahkan.

Rahasia tulang kerangka

Putih dan keras

Selingkar pegas di halaman pabrik

Karat yang melekat, tak lagi kuat

Keras melengkung, siap di dentang-dentang.

 

 

Aku melihat ada kehampaan di lorong mata bocah itu

 

Aku sudah melihat mata di jalan itu

Menatap tajam menembus benderang jendela

Dan seekor ketam, satu sore, di genang kolam.

Seekor ketam tua, kepah di punggungnya

Mencengkram ujung tongkat yang kugenggam.

 

Pukul 3.30 menit,

 

Lelampu memercik

Lelampu memberengut dalam gelap.

 

Lelampu yang bergumam:

 

Beri hormat bulan itu,

 

Bulan mengerdip, matanya redup,

Bulan tersenyum, ke pensil sudut-sudut

Bulan mengelus rambut-rambut rumput.

Bulan yang telah kehilangan kenangan

Parut cacar mengacau wajah bulan,

Tangan bulan menata mawar kertas,

 

Yang menebar debu dan cologne apak,

 

Bulan sendiri dengan seluruh aroma malam,

Yang saling bersilang di sisi seberang pikir bulan.

Kenanganpun tiba-tiba datang

Dari geranium yang kering di teduh matahari

Dan menabur di celah karang,

Aroma chesnut menebar di jalan-jalan

Dan aroma perempuan di kedap ruang

Dan sengak rokok di koridor

Dan uap koktail di bar.

 

Lelampu berkata:

 

Pukul 4

Inilah nomor pintu itu,

Kenangan!

Engkau punya kuncinya

Lampu kecil menebar lingkar sinar di tangga,

Menaik.

Ranjang membuka: Sikat gigi menggantung di dinding,

Lepaskan sepatu di depan pintu, tidurlah,

Bersiap untuk hidup esok lagi."

 

 

Hunus terakhir sang pisau.

 

----------------------------
diterjemahkan oleh Sulaiman Djaya 2016

No comments: