RABU ABU
I
Karena aku tak berharap untuk
berpaling lagi
Karena aku tak berharap
Karena aku tak berharap untuk
berpaling
Sejak hasrati anugerah miliknya serta
kemampuan lainnya
Telah kusudahi perjuangan untuk
berpaling lagi
(Mengapa sang elang tua membentangkan
sayapnya?)
Mengapa harus aku berduka
Atas hilangnya kuasa takhta ini?
Karena aku tak berharap untuk tahu
lagi
Soal kemuliaan yang melemahkan
kebaikan waktu
Karena aku tak berpikir
Karena aku tahu aku tak perlu tahu
Soal nyatanya sebuah adikara sementara
Sebab tak dapat kupuaskan dahaga
Di tempat itu, tempat pohon bersemi,
mata air mengalir, yang kini tak ada lagi
Karena kutahu waktu selalu berwujud
waktu
Dan ruang hanya selalu berwujud ruang
Dan yang nyata berwujud nyata hanya
sekali saja
Dan di sebuah tempat sajalah
Aku bersorak karena segala hal
sebagaimana mestinya dan
Aku menolak mengakui sebuah wajah
terberkati
Menolak mengakui suaranya
Karena aku tak dapat berharap untuk
berpaling lagi
Maka aku bersuka cita, saat harus
membangun sesuatu
Yang membuatku dapat bersorak
Dan berdoa agar Tuhan mengampuni,
mengasihi kita
Dan berdoa agar aku dapat melupakan
Segala yang tengah berpusing dalam
diriku
Terlalu rumit untuk dijelaskan
Karena aku tak berharap untuk
berpaling lagi
Biarkan kata-kata ini menjawabnya
Agar apa yang telah terjadi, tak
terjadi lagi
Semoga pertimbangan atas perbuatan
kita tak begitu pedih
Karena sayap ini tak mampu lagi
mengepak dan terbang
Semata kipas untuk menebas udara
Udara yang kini makin kering, kering
dan sesak
Lebih kering dan sesak dibanding
harapku
Ajari kami untuk peduli dan tak peduli
Ajari kami untuk duduk dengan tenang.
Doakan kami para pendosa, kini dan
kelak kala mati[1]
Doakan kami kini dan kelak kala mati
II
Bunda, tiga macan tutul putih rehat di
bawah pohon juniper
Rehat kekenyangan pada hari yang
dingin
Karena kedua kakiku jantungku hatiku
dan segala yang tertampung
Dalam hampanya tempurung kepalaku. Dan
Tuhan berfirman
Layakkah belulang ini hidup? Layakkah
Belulang ini hidup? Dan segala yang
tertampung
Dalam tulang belulang (yang mengering
sudah)
Berkicau nyaring:
Karena ketulusan Perempuan ini
Dan kelembutan hatinya, dan karena
Ia junjung tinggi Sang Perawan yang
berdiam diri,
Kita dapat berkilau. Dan aku, berdiri
di sini
Mengajukan kebaikanku untuk dilupakan,
dan cinta kasihku
Kepada anak-cucu penghuni gurun
beserta buah kundur.
Inilah yang tumbuhkan kembali
Urat-uratku benang saraf mataku dan
segala yang tak dapat dicerna
Lalu dimuntahkan oleh para macan
tutul. Sang Bunda undur diri
Dalam putih suci gaunnya, untuk
merenung, dalam putih suci gaunnya
Biarkan putih dalam belulang bertaubat
atas lupanya diri.
Karena tak ada jiwa terkandung dalam
mereka. Sebagaimana aku telah dilupakan
Dan akan dilupakan, maka aku akan
melupakan
Sembari berserah diri, dan berpusat
pada satu tujuan semata. Dan Tuhan bernubuat
Pada angin, pada angin, dan semata
pada angin sebab
Hanya angin yang akan mampu
mendengarkan. Dan tulang-belulang yang berkicau lantang sambil
Memikul beban belalang, bersabda
Bunda beribu kesunyian
Khidmat dalam penderitaan
Tercabik dan tetap utuh
Mawar dari ingatan
Mawar dari kelupaan
Letih dan menghidupkan
Rehat dalam keresahan
Setangkai mawar
Kini menjelma Taman
Di mana seluruh cinta akan berakhir
Mengakhiri siksa
Akan cinta tak memuaskan
Dan siksa yang lebih hebat
Akan cinta terpuaskan
Akhir yang abadi dari
Perjalanan tiada akhir
Kesimpulan atas segala yang
Tak dapat disimpulkan
Percakapan tanpa kata dan
Kata yang tak membentuk percakapan
Berkat rahmat untuk Bunda
Untuk Taman
Di mana seluruh cinta tentu berakhir.
Di bawah pohon juniper belulang
menyanyi,
Berserakan dan berkilau
Kita semua bersyukur telah terserak,
kita melakukan sedikit kebaikan,
Di bawah pohon di hari yang dingin,
Dengan berkat rahmat pepasir di bawah
kaki,
Lupa diri dan sesama, untuk melebur
menyatu
Dalam hening tengah gurun. Maka inilah
tanah yang
Hendaknya engkau bagi-bagi.[2] Tak ada
golongan dan kesatuan
Yang lebih penting. Inilah tanah kita.
Warisan kita.
III
Pada kelokan pertama di tangga kedua
Aku berpaling dan menundukkan pandang
Wujud serupa yang menggeliati pegangan
Tepat di bawah naungan uap pengap
Sedang bergelut dengan iblis penunggu
tangga
Mengenakan wajah culas harapan serta
keputusasaan.
Pada kelokan kedua di tangga kedua
Kutinggalkan mereka bergelut dengan
padu, lalu menunduk;
Tak ada rupa resah, dan betapa gelap
tangga ini;
Lembab, pedih bergerigi, bak mulut
seorang tua penuh liur mustahil dibenahi,
Mungkin juga tenggorokan hiu purba
yang berserak gerigi gigi.
Pada kelokan pertama di tangga ketiga
Berdirilah sebuah jendela, lubangnya
membengkak bak buah tin
Dan lepas pemandangan kembang belukar
serta hamparan rumput
Sesosok punggung gagah, dalam biru dan
hijau,
Memesona hari di bulan Mei dengan
seruling kunonya.
Helai-helai rambut yang tertiup
lembut, helai rambut coklat berembus naungi bibir,
Bunga lilak, dan helai rambut coklat;
Sebuah hiburan bagi diri, alunan
seruling,
Sebuah renungan soal kelanjutan dan
akhir perjalanan di tangga ketiga
Mereka memudar, makin pudar; menjelma
kekuatan yang lampaui harap dan asa untuk
Mendaki tangga ketiga.
Tuan, sungguh aku tak layak[3]
Tuan, sungguh aku tak layak
Hanya mampu menyebut sepatah kata itu.
IV
Siapa yang berjalan di antara
lembayung dan lembayung
Yang berjalan di antara
Bermacam tingkat semburat hijau
Menyusupi putih dan biru, dalam rona
warna Maria,
Yang menceritakan hal-hal sepele
Secara gamblang meski mengetahui
adanya pilu berkepanjangan
Siapa yang melawan arah kerumunan kala
mereka berjalan,
Lalu membangun kokoh pancuran dan
menyegarkan kembali mata air
Mendinginkan kering bebatuan dan
lembutkan hampar pasir
Dalam biru bunga larkspur, dalam biru
rona Maria,
Berhati-hatilah
Inilah tahun perantara, membawa
Pergi biola dan seruling,
mengembalikan
Sang pemindah waktu di batasan
terlelap dan terjaga, mengenakan
Selembar cahaya putih terlipat,
menyelubunginya, terlipat.
Tamasya di awal tahun yang
mengembalikan
Awan cerah berembun air mata,
tahun-tahun yang terlampaui, mengembalikan
Rima purba dengan sebuah bait baru.
Menebus
waktu. Menebus
Bayangan tak terbaca akan mimpi yang
lebih suci
Sedang kuda bertanduk dirajah permata
mendekati keranda mewah berpoles
Sang perawan terdiam dalam tudung
bersemburat biru putih
Di antara cemara, di balik sang
penguasa taman,
Yang serulingnya tak berbunyi,
menundukkan kepalanya dengan isyarat tanpa kata
Namun air terus memancar dan seekor
burung menyanyi
Menebus waktu, menebus mimpi
Balasan atas kata tak terdengar, tak
terucap
Sampai angin menggetarkan beribu
bisikan cemara
Dan pengasingan kita setelah ini
V
Jika kata yang hilang hilang sudah,
jika kata yang terpakai terpakai sudah,
Jika yang terdengar, tak mampu
dikatakan
Maka kata-kata yang kini bisu; tak
terdengar
Lalu segala kata mematung, kata yang
bisu, Kata yang tuli,
Kata tanpa sepatah kata, Kata dalam
Dunia dan untuk dunia;
Setelahnya, seberkas cahaya menyinari
gulita dan
Melawan segala Kata, bumi bergegas
mengitari
Pusat dunia yang maha sunyi.
Wahai umatku, apa yang telah kuperbuat
kepadamu?[4]
Di mana dunia dapat ditemukan, di mana
kata
Mungkin disuarakan? Bukan di sini
jelasnya, tiada hening yang layak untuk itu
Bukan di laut maupun di puluhan pulau
ini, atau di daratan, bukan di gurun maupun di negeri penghujan,
Bagi para penjelajah dalam gelap
Berjalan baik di terik hari maupun
gulita malam
Waktu dan tempat yang ditakdirkan
bukanlah di sini
Tak ada ruang yang diberkati bagi yang
mengelak rupa
Tak ada suka cita bagi yang berjalan
melampaui bising dan menolak suara hati
Akankah sang perawan bertudung berdoa
untuk
Mereka yang berjalan dalam gelap, yang
Memilihmu dan melawanmu
Mereka yang bercabang hatinya
Antara musim demi musim, waktu demi
waktu, antara
Jam demi jam, kata demi kata, kuasa
demi kuasa, mereka yang menunggu
Dalam gulita? Akankah sang perawan
bertudung berdoa
Untuk anak-anak di gerbang
Yang tak mau hengkang dan tak dapat
berdoa:
Berdoa untuk para pengikut dan para
penolak
Wahai umatku, apa yang telah kuperbuat
kepadamu?
Akankah sang perawan bertudung di sela
pohon cemara
Kering kerontang berdoa untuk siapapun
yang telah mencelanya
Dan yang takut namun tak dapat
menyerah
Dan yang menyetujui di awal namun
menolak kala genting
Di gurun penghujung sebelum biru batu
terakhir
Gurun di taman taman di gurun
Dalam kekeringan, meludah biji apel
yang terkulai sudah.
Wahai umatku.
VI
Meski aku tak berharap untuk berpaling
lagi
Meski aku tak berharap
Meski aku tak berharap untuk berpaling
Berpusing di antara faedah dan
kerugian
Dalam persinggahan singkat tempat
mimpi bersua
Senja terburai angan di tengah
kelahiran dan kematian
(Berkati aku, bapa) meski aku tak
pernah memohon untuk harapkan hal semacam ini
Putih pantai granit disorot oleh
jendela lebar tampakkan
Layar-layar bersih mengembang menuju
laut, menuju laut mereka mengembang
Sayap yang tak akan pernah patah
Hati yang kehilangan mengeras dan
bersuka cita
Akan sirnanya wangi lilak dan sirnanya
nyanyian laut
Dan jiwa yang lemah rentan memberontak
Karena bengkoknya sebuah pancing emas,
wangi laut telah menguap
Mempercepat redanya
Tangis puyuh serta cerek yang
berpusing
Dan buta mata masih mampu ciptakan
Wujud-wujud hampa pada sela gading
gerbang
Dan wangi yang segarkan setitik asin
tanah berpasir
Inilah masa resah antara kematian dan
kelahiran
Relung kesendirian tempat tiga mimpi
saling bersimpangan
Antara bebatuan berona biru
Tapi saat nyanyi tulus sebatang cemara
bergema lalu sirna
Biarkan cemara lainnya bergetar
menjawab.
Perawan suci, bunda, roh mata air, roh
taman abadi,
Janganlah deritamu jerumuskan kami
dalam dusta
Ajari kami untuk peduli dan tak peduli
Ajari kami untuk duduk dengan tenang
Bahkan di antara bebatuan tajam ini,
Kedamaian kami dalam kehendakNya
Perawan suci, bunda
Roh segala sungai, roh lautan
Jangan biarkan aku tersesat dalam
deritamu[5]
Dan biarkan jerit tangisku sampai
kepadaMu.
[1] Terjemahan bebas dari Salam Maria
[2] Terjemahan bebas dari kutipan
Yehezkiel 48:29
[3] Terjemahan bebas dari kutipan
Matius 8:8
[4] Terjemahan bebas dari kutipan
Mikha 6:3
[5] Terjemahan bebas dari kutipan doa
Anima Christi
Tentang Penerjemah:
Noa Dhegaska
Mahasiswi Sastra Inggris yang sesekali
memainkan Demung. Sedang belajar menerjemahkan gambar dan kata, serta menulis
dengan telinga. Melukiskan isi hati dalam kanvas serindu sekali. Berdomisili di
Surabaya dan ingin memaknai hidup sehidup mati. Instagram: @semiromantic.
Facebook: https://www.facebook.com/egaska.
TANAH PEMBUANGAN
FOR EZRA POUND
IL MIGLIOR FABBRO (1)
I. Penguburan Mayat
April adalah bulan terkejam,
membenihkan
Bebunga lilak di lahan beku,
membaurkan
Hasrat dengan keping kenangan,
mencampurkan
Akar-akar layu dan hujan musim semi.
Musim dingin justru membikin hangat
kami, menyelimuti
Bumi dengan butiran salju amnesia,
menyuapi
Satu kehidupan mungil dengan umbian
kering.
Musim panas mengejutkan kami, di
Starnbergersee,
Dengan guyuran hujan; kami berhenti di
jajaran tiang,
Dan pergi di bawah sinar matahari, ke
Hofgarten,
Plus minum kopi, plus sejam lamanya
berbincang.
Bing gar keine Russin, stamm’ aus
Litauen, echt deutsch. (2)
Dan sewaktu kami kecil dulu, tinggal
di wilayah-bangsawan,
Sepupuku, sibuk mengajakku bermain
kereta salju,
Aku ketakutan. Ia berkata, Marie,
Marie, pegang erat-erat. Dan kami
meluncur turun
Ke pegunungan, di sana kau akan merasa
bebas.
Aku terus membaca, bemalam-malam
terjaga,
Dan pergi ke selatan tatkala musim
dingin tiba.
Akar apa yang mampu melekat erat,
Dahan apa yang mampu bertumbuh kuat
Di rongsokan yang telah membatu ini?
Anak manusia,
Kau tak mampu berkata, atau mengira,
kau cuma tahu
Tumpukan gambar yang cedera, dan debar
matahari,
Pohonan meranggas bukan naungan,
jangkrik bukan bantuan,
Batuan kersang tanpa ricik air. Hanya
Semacam bayangan di balik batu merah
ini
(Di balik bayangan batu merah ini)
Dan akan kutunjukkan sesuatu yang
berbeda dari
Bayangmu waktu pagi yang merayap di
belakangmu
Maupun bayangmu tatkala petang naik
menjengukmu;
Akan kutunjukkan ketakutanmu dalam
segenggam debu.
Frisch weht der Wind
Der Heimat zu,
Mein Irisch Kind,
Wo weilest du? (3)
“Kau memberiku sekuntum bakung pertama
tahun lalu;
“Kini mereka memanggilku gadis bunga
bakung.”
—Tapi saat kami pulang, terlambat,
dari kebun bunga bakung itu,
Gembung lenganmu, basah rambutmu,
sungguh aku tak mampu
Bicara, mataku tak lagi sanggup
menatapmu, dan aku
Tidak pula hidup atau mati, dan aku
tak tahu apa-apa.
Melongok ke dalam jantung
cahaya—keheningan belaka.
Oed’ und leer das Meer. (4)
Bunda Sosostris, cenayang selebritis,
Sekarang terserang flu juga, meski
demikian
Ia terkenal sebagai perempuan paling
bijak seantero Eropa.
Dengan satu pak kartu kejamnya.
Begini, ia bergumam,
Kartu Anda, Pelaut Phoenicia yang
tewas tenggelam
(Sepasang mutiara itu tak lain
sepasang matanya. Lihat!)
Berikutnya adalah Belladonna, sang
perempuan perkasa,
Perempuan yang amat bergantung dengan
suasana.
Lalu Lelaki Bertongkat Tiga, dan inilah Roda,
Inilah Saudagar Bermata Satu, dan
kartu ini,
Yang kosong, adalah kartu yang ia bawa
di punggungnya,
Dan saya dilarang melihatnya lebih
jauh. Saya tidak menemukan
Laki-Laki Yang Digantung. Begitu
khawatir bisa tewas di air.
Saya lihat kerumunan manusia, berjalan
dalam lingkaran.
Terima kasih. Kalau Anda bertemu
Nyonya Equitone,
Tolong katakan horoskopnya musti saya
sampaikan sendiri:
Pada jaman begini seseorang memang
mesti sangat berhati-hati.
Kota Maya,
Di bawah kabut coklat saat fajar musim
dingin tiba,
Kerumunan mengalir di Jembatan London,
alangkah banyaknya,
Aku tidak berpikir bahwa kematian
telah begitu banyak tertunda.
Desahan, pendek dan jarang,
dihembuskan,
Dan setiap orang selalu lebih dulu
beres matanya sebelum kakinya.
Mengalir ke atas bukit dan menuruni
King William Street,
Ketika Saint Mary Woolnoth tengah
menjaga waktu
Bersama bunyi kematian pada dentang
terakhir pukul sembilan.
Di sana aku bertemu dan menghadang
lelaki itu, tersedu: “Stetson!
“Kau saja yang menyertaiku dalam kapal
di Mylae!
“Mayat itu Anda, ditanam tahun lalu di
kebun Anda,
“Apakah mayat itu mulai tumbuh?
Akankah mekar tahun ini?
“Atau tiba-tiba embun beku akan
terganggu di ranjangnya?
“Oh jagalah agar Anjing tetap jauh,
anjing teman manusia itu,
“Atau dengan kukunya dia akan menggali
kubur itu lagi!
“Kamu! hypocrite lecteur!—mon
semblable—mon frère!” (5)
II. Satu Pertandingan Catur
Kursi yang diduduki perempuan itu,
seperti tahta berkilap,
Berkilau di atas marmer, dalam ruang
megah di mana kaca
Sesuai standar tempaan dihiasi
sulur-sulur anggur penuh buah
Yang menampilkan sesosok Cupidon
keemasan
(Cupidon lain menyembunyikan matanya
ke balik sayap)
Menggandakan nyala tujuh lilin di
wadah logam bercabang
Memantulkan cahaya pada permukaan meja
seakan
Gemerlap aksesori permatanya merayapi
ruangan,
Sejak kasus kain satin dicelup ke
dalam gelimang kekayaan;
Dalam botol kaca sewarna gading dan
Tak bertutup, mengintailah parfum aneh
sintetisnya,
Salep, bubuk, atau cairan—rawan,
membingungkan
Dan ditenggelamkan indera ke dalam bau
kemewahan;
Diaduk dengan udara segar dari
jendela, kemudian
Membesarkan nyala-lilin yang
memanjang,
Mengepulkan gumpalan asap ke panel
plafon ruang,
Membaurkan pola ke balik tutup peti
antik aristokrasi.
Kayu-laut besar dihiasi dengan tembaga
Dibakar kehijauan dan kuning tua,
dibingkai batuan berwarna,
Kesedihan menghidupkan ukiran
lumba-lumba berenang.
Sekarang, di atas perapian antik yang
serupa
Kusen jendela tampillah semacam adegan
buas
Tentang metamorfosa Philomel, akibat
seorang raja biadab
Telah begitu beringas memperkosanya;
sebelum seekor bulbul
Memenuhi gurun dengan kicauan tanpa
gangguan
Dan ia masih terus terisak, dan masih
merindukan dunia,
“Jug Jug” ke setiap telinga cabul.
Dan satu lagi tunggul yang dikeringkan
waktu
Bergumam kepada dinding; berpaling
keluar
Menatap aneka bentuk, bersandar,
kebisuan ruang terkunci.
Langkah-langkah kaki beringsut di anak
tangga.
Di bawah nyala api, di bawah sisir
besar, rambutnya
Terurai ke sudut yang membara
Berpijar dalam kata-kata, maka akan
terlihat lebih kejam.
“Sarafku terasa tegang malam ini. Ya, tegang. Tetaplah bersamaku.
“Bicaralah padaku. Mengapa kau tak
pernah bicara. Bicaralah.
“Apa yang kaupikirkan? Apakah berpikir itu sebenarnya? Apa?
“Aku tak pernah tahu apa yang
kaupikirkan. Pikirkan itu.”
Saya pikir kami tengah berada di gang tikus
Tempat orang-orang mampus kehilangan
belulang mereka.
“Suara apa itu?”
Angin di bawah
pintu.
“Suara apa sekarang? Apa yang
dilakukan angin itu?”
Tak ada apa-apa di
sana.
“Apakah
“Kau tak tahu apa-apa? Apa tak
kaulihat? Apa kau ingat
“Ketiadaan?”
Saya ingat
Mereka sepasang mutiara yang berkilau
dalam matanya.
“Apa kau hidup, atau mati? Apa
ketiadaan ada dalam kepalamu? “
Tapi
O O O O begitulah lagu Kain Perca
Shakespeherian—
Lagu yang begitu elegan
Begitu brilian
“Apa kini yang mesti kulakukan? Apa
yang mesti kulakukan?”
“Aku akan keluar seperti kebiasaanku,
dan menyusuri jalanan
“Dengan rambut teruraiku. Apa yang
akan kita lakukan esok hari?
“Apakah kita mesti melakukan apa yang
pernah kita lakukan?”
Air panas pada angka sepuluh.
Dan bila hujan, satu mobil kap
tertutup pada angka empat.
Dan kami akan bermain catur kembali,
Menahan mata agar pelupuk terbuka dan menunggu
pintu diketuk.
Saat suami Lil dimobilisasi, saya
berkata—
Tanpa basa-basi, saya berkata kepada
perempuan itu
seperti berkata kepada diri sendiri,
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Hari ini Albert pulang, tolong kau
cerdas sedikit.
Albert ingin tahu apa yang kaulakukan
dengan uang pemberiannya
Demi memiliki beberapa gigi. Saat ia
mengatakan ini, aku ada di sana.
Telah kau punya semua itu, Lil, punya
satu set yang bagus,
Albert berkata, aku bersumpah, aku tak
sanggup menatapmu.
Dan tak sekuat aku, kata saya,
berpikir tentang Albert yang malang.
Albert dinas di militer empat tahun,
dia ingin waktu yang pas,
Dan jika kau tak beri dia hal itu, ada
orang lain yang bisa, kata saya.
Oh tentu saja ada, katanya. Semacam o’
yang lain, kata saya.
Aku akan tahu siapa yang benar-benar
berterima kasih, kata Lil,
dan sanggup memberiku tatapan yang
tulus.
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Jika kau tak suka, kau tetap mesti
melakukannya, kata saya,
Orang lain bisa menawarkan hal itu,
jika kau tak bisa.
Tapi jika Albert pergi, hal itu bukan
masalah juga.
Kau seharusnya malu, kata saya, kau
nampak bagai hiasan antik.
(Dan perempuan itu baru tiga puluh
satu.)
Aku tak bisa menahannya, Lil berkata,
menarik wajah tirusnya,
Itu semua sebab pil yang kuambil, lalu
kumuntahkan, dia berkata
(Dia telah menelan lima, dan hampir
membunuh George muda.)
Ahli kimia itu bilang semua akan
baik-baik saja,
tapi saya tak berpikiran sama.
Kau orang bodoh yang bertindak benar,
kata saya.
Nah, jika Albert tak akan
meninggalkanmu, lanjut saya,
Buat apa menikah jika kau tak
menghendaki anak darinya?
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Nah, hari Minggu itu Albert telah di
rumah,
mereka punya daging paha asap yang
hangat,
Dan mereka minta saya makan malam
bersama,
untuk ikut merasakan keindahan hangat
itu—
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
LEKAS SEKARANGLAH SAATNYA
Goonight Bill. Goonight Lou. Goonight
Mei. Goonight.
Ta ta. Goonight. Goonight.
Selamat malam, perempuan, selamat
malam,
perempuan manis, selamat malam,
selamat malam.
III. Khotbah Berapi-Api
Tenda di sisi sungai telah rubuh: atap
daunan serupa jemari
Terakhir jatuh dan tenggelam ke tepian
basah. Angin berputar
Melintasi tanah coklat, tak terdengar.
Gadis perawan telah pergi.
Thames manis, melangkah pelan, hingga
kuakhiri senandung ini.
Sungai tak cuma menanggung botol-botol
kosong, bungkus roti,
Saputangan sutra, puntung rokok,
kardus bekas, tetapi juga
Setiap kesaksian malam musim panas.
Gadis perawan telah pergi.
Dan teman-teman mereka, pewaris
avontur di kota para direktur;
Telah pergi, tanpa sempat meninggalkan
alamat.
Sebab arus perlahan sungai Leman aku
pun duduk dan menangis…
Thames manis, melangkah pelan, hingga
kuakhiri senandung ini.
Thames manis, melangkah pelan,
sebentar cuma gumamku kini.
Tapi dalam ledakan dingin di belakang
punggung kudengar
Derak tulang, dan tawa menyebar dari
telinga ke telinga.
Seekor tikus nampak merayap melintasi
tumbuhan
Menyeret perut berlendirnya pada
tepian
Sementara aku memancing di kanal yang
membosankan
Pada putaran malam musim dingin di
belakang Pom Bensin
Terkenang kapal kerajaan adikku yang
karam,
Juga tewasnya ayahku sebelum adikku
tenggelam.
Jasad putih telentang telanjang di
dataran yang lembab
Dan belulang dilempar ke atas loteng
kering sedikit pengab,
Dibingungkan oleh langkah kaki tikus,
dari tahun ke tahun.
Tapi di belakangku dari waktu ke waktu
kudengar
Bunyi klakson dan deram motor, yang
akan membawa
Sweeney untuk Nyonya Porter sewaktu
tiba musim semi.
O bulan bersinar terang pada Nyonya
Porter malam ini
Juga pada putrinya
Mereka mencuci kaki dengan air soda
Et O ces voix d’enfants, chantant dans
la coupole! (6)
Twit twit twit
Jug jug jug jug jug jug
Begitu kasar memaksa.
Tereu
Kota Maya
Di bawah kabut coklat dari siang musim
dingin
Tuan Eugenides, pedagang Smyrna yang
lain
Bercukur, dengan kantong penuh kismis.
C.i.f. London: dokumen yang ada di
depan mata,
Tanyai aku segala hal tentang orang
Perancis
Demi makan siang gratis di Cannon
Street Hotel
Diikuti oleh akhir pekan di Metropole
yang manis.
Pada jam viola, sewaktu mata dan
punggung di meja
Berbalik menghadap ke atas, pas
menunggu tukang mesin tiba
Seperti sebuah taksi yang berdenyut
menanti panggilan,
Aku Tiresias, meskipun buta, berdenyut
antara dua kehidupan,
Seorang lelaki dengan keriput
payudara, tepat menatap
Pada jam viola, macam jam malam yang
terus mendesaknya
Pulang, dan menarik para pelaut dari
pelayaran ke rumahnya,
Tukang ketik panggilan pas minum teh,
membersihkan sarapannya,
Memadamkan tungku, dan menyajikan
makanan kaleng di meja.
Perempuan itu hampir terjatuh keluar
jendela saat meletakkan
Setumpuk jemuran yang disentuh sinar
terakhir matahari senja,
Di atas dipan yang disusun vertikal
(saat malam itulah ranjangnya)
Stoking, sandal, pakaian dalam, dan
korset model terbaru.
Aku Tiresias, lelaki tua dengan
keriput payudara
Melihat semacam adegan, dan selebihnya
hanya ramalan—
Aku juga tengah menunggu tamu yang
diharapkan.
Dia, berondong muda dengan jerawat
batu, telah tiba kini,
Seorang pegawai agen perumahan kecil,
punya tatapan berani,
Salah satu dari golongan terendah
untuk beroleh asuransi
Duduk seperti topi sutra milik seorang
jutawan tua, Bradford.
Sekarang tibalah saat yang tepat,
begitu ia mengira,
Setelah makan, dia lelah dan bosan,
Berupaya mengajak perempuan itu
bercumbu,
Tentu hal begitu bukanlah perbuatan
tercela, bila benar sama suka.
Membara dan memutuskan, ia mau
sekaligus menyerang;
Tangannya mulai merayap-rayap dan
tiada beroleh perlawanan;
Keangkuhan begitu memang tak
memerlukan tanggapan,
Dan membikin reaksi alami
ketakpedulian.
(Dan aku, Tiresias, telah menyimpan
setiap penderitaan,
Telah ditakdirkan terbaring di dipan
atau tilam yang sama;
Aku yang didudukkan oleh Thebes di
bawah dinding
Dan berjalan di antara yang paling
hina dari orang-orang mati.)
Melimpahkan satu ciuman terakhir yang
merendahkan,
Dan meraba-raba jalan, menemukan
tangga gelap…
Perempuan itu berbalik dan menatap
sesaat di kaca,
Hampir tidak menyadari kekasihnya
telah pergi;
Otaknya mengijinkan selintas pikiran
kembali:
“Telah selesai dilakukan: dan aku
senang telah berakhir.”
Ketika perempuan cantik itu membungkuk
dengan lugu
Dan melangkah kembali ke kamarnya,
sendirian,
Spontan ia merapikan rambutnya dengan
telapak tangan,
Kemudian memutar rekaman pada
gramofon.
“Aku mendengar musik ini menjalar di
atas ombak liar”
Dan sepanjang Strand, hingga Queen
Victoria Street.
O Kotanya kota, terkadang dapat
kudengar
Di samping bar umum di Lower Thames
Street,
Rengekan menyenangkan dari satu
mandolin
Juga denting dan obrolan dari dalam
Ruang manusia-ikan pada siang hari: di
sanalah dinding
Tempat Magnus Sang Martir tak henti
menahan
Keindahan emas dan putih Ionia tak
terjelaskan.
Keringat sungai
Menanggung
Minyak dan tar
Tongkang terapung
Sebab arus berputar
Layar merah
Terbentang
Tekanan angin, berayun pada
tiang.
Tongkang basah
Batang-batang kayu terapung
Tiba di Greenwich
Melewati Kepulauan Anjing.
Weialala Leia
Wallala leialala
Elizabeth dan Leicester
Bersama mengayuh campang
Bentuk buritan perahu
Sebuah cangkang emas
Merah dan keemasan
Gelombang yang lekas
Surut di kedua pantai
Angin barat daya bersulih
Kini mengalir ke hilir
Dentang lonceng bergema
Dari puncak menara putih.
Weialala Leia
Wallala leialala
“Trem dan pohon-pohon berdebu.
Highbury selalu membosankan aku.
Richmond dan Kew
Membuka kancingku. Bersama Richmond
kuangkat lututku
Terlentang di lantai kano sempit itu.”
“Kakiku ada di Moorgate, dan hatiku
Di bawah kakiku. Setelah afair singkat
Lelaki itu menangis. Dia menjanjikan
‘awal baru.’
Aku tak berkomentar. Apa lagi yang
mesti kubenci? “
“Di Margate Sands.
Dapat kuhubungkan
Kehampaan dengan ketiadaan.
Kuku-kuku patah dari tangan kotor.
Rakyatku sungguh rendah hati,
Rakyat yang tak mengharapkan apa-apa
lagi.”
La la
Demi Kartago maka aku datang
Bakar bakar bakar bakar
Ya Tuhan Yang Maha Pemberani keluarkan
aku
Ya Tuhan Yang Maha Pemberani
bakarlah aku
IV. Kematian oleh Air
Phlebas dari Fenisia, dua minggu mati,
Lupa jeritan burung camar, dan
gelombang samudera
Plus rugi-laba.
Arus bawah laut
Membawa belulang dalam bisikan. Saat
lelaki itu bangkit dan jatuh
Dia melewati tahapan usia dan pemuda
itu
Memasuki pusaran air.
Yahudi
atau bukan Yahudi
Hai orang yang memutar roda dan
menatap arah angin,
Pertimbangkan Phlebas, yang pernah
tampan dan tinggi seperti Anda.
V. Sabda Guruh
Setelah nyala obor menyinari wajah
berkeringat
Setelah senyap yang dingin di kebun
menghangat
Setelah penderitaan di wilayah berbatu
Teriakan dan sedu-sedan itu
Penjara dan istana dan dentam
Guntur musim semi di atas pegunungan
Lelaki yang tinggal sekarang telah
wafat
Kami yang tinggal sekarang hanya
sekarat
Menyimpan sedikit kesabaran
Di sini tak ada air, hanya batu
Batu dan tak ada air dan jalan
berpasir
Jalan berliku menanjak di antara
pegunungan
Semata pegunungan berbatu tanpa air
Jika ada air kita pun harus berhenti
dan minum
Di antara batu seseorang tak bisa
berhenti atau berpikir
Keringat kering dan kaki di pasir
Jika hanya ada air di antara batu
Mulut gunung mati penuh gigi busuk dan
tak bisa meludah
Di sini seseorang tak bisa berdiri
atau berbaring atau duduk
Bahkan tak ada keheningan di
pegunungan
Tapi guntur mandul ranggas tanpa hujan
Bahkan tak ada kesendirian di
pegunungan
Tapi tampang merah kusut mencibir dan
kerap membentak
Dari depan pintu rumah itu kini telah
lingsir
Jika
ada air
Dan tak ada batu
Jika ada batu
Dan juga air
Dan air
Musim semi
Sebuah kolam renang di antara batu
Jika ada ricik air
Tak ada derik jangkrik
Dan desir rumputan
Tapi suara air di daerah berbatu
Tempat murai-pertapa berkicau di
pohon-pohon pinus
Tik tak tik tak tik tak tik
Tapi tetap tak ada air
Siapa itu orang ketiga yang berjalan
selalu di sampingmu?
Ketika kuhitung, hanya ada kau dan aku
Namun ketika kulihat di depan jalan
lurus putih itu
Selalu ada satu lagi orang berjalan di
sampingmu
Bergegas terbungkus mantel coklat,
berkerudung
Aku tak tahu apakah lelaki atau
perempuan
—Yang pasti ia selalu berjalan di
sampingmu?
Apakah yang terdengar melengking di
udara itu
Tak lain gemuruh ratap keibuan
Siapakah kerumunan orang-orang
berkerudung hitam itu
Di dataran tak berujung, di tanah
lekang kerap membuat tersandung
Yang dikelilingi cakrawala datar
Apakah kota di puncak pegunungan
Yang retak dan dibangun kembali dan
meledak di udara viola
Reruntuhan menara
Yerusalem Athena Alexandria
London Wina
Tak nyata
Perempuan itu menarik rambut panjang
hitamnya kencang-kencang
Memasangnya sebagai dawai dan
memainkan musik sedih
Dan kelelawar berwajah bayi dalam
cahaya viola
Berdesing, dan mengepakkan
sayap-sayapnya
Dan turun merangkaki dinding hitam
dengan kepala ke bawah
Dan jungkir balik di udara, tepatnya
di dalam menara
Yang mendentangkan lonceng peringatan,
pada waktu tertentu
Dan gelombang cericit dari sumur
kosong dan lubuk kerontang.
Dalam lembah membusuk di antara
pegunungan ini
Di bawah samar sinar bulan,
rumput-rumput bernyanyi
Di sekitar makam tak terurus, di
sekitar kapel tua
Yang kini tinggal kapel kosong belaka,
tinggal rumah angin.
Kapel itu tak memiliki jendela, dan
ayunan pintu,
Tak bakal membahayakan tulang kering
seseorang.
Hanya ayam jantan yang ngaceng di atas
bubungan
Ku ku ku ku ku ku ruuyuk
Dalam kilatan petir. Kemudian semacam
hembusan basah
Membawa hujan.
Cekungan Gangga, dan daunan terkulai
Menunggu hujan tak kunjung tiba,
sedangkan awan hitam
Di sana bergumpal terlihat amat
jauhnya, di atas Himavant.
Hutan merunduk, berpunuk dalam
keheningan.
Kemudian sabda guruh
DAR
Datta: apa yang telah kita diberikan?
Temanku, darah gemetar dalam hatiku
Keberanian kasar dalam semacam momen
kepasrahan
Adalah abad kehati-hatian yang tak
dapat dibatalkan
Dengan ini, hanya dengan ini, kita
telah ada
Dan tak dapat dicari dalam kabar
hingar kematian kita
Atau dalam ingatan terbungkus benang
laba-laba pemurah
Atau di bawah segel rusak dari seorang
pengacara ramping
Dalam kamar kosong kita
DAR
Dayadhvam: Aku telah mendengar kunci
Diputar sekali di pintu lalu cukup
diputar sekali lagi
Kami berpikir tentang kunci, setiap
orang dalam penjara
Berpikir tentang kunci, masing-masing
mengakui penjara
Hanya pada malam hari, rumor tentang
berkat surga
Sejenak kembali menghidupkan rusa
Coriolanus
DAR
Damyata: Perahu telah merespon
Dengan riang, bagi tangan yang ahli
dengan layar dan campang
Laut sedang tenang, hatimu sekali lagi
akan merespon
Dengan riang, ketika diundang, merebut
ketaatan
Untuk mengendalikan tangan.
Aku duduk di tepi pantai, sendiri
Memancing, di belakangku hanya dataran
gersang
Mestikah aku mengatur kembali tanah
dalam rantai warisan ini?
Jembatan London kembali tumbang dan
tumbang dan tumbang
Poi s’ascose nel foco che gli Affina
(7)
Quando fiam uti chelidon—O seriti dari
segala seriti (8)
Le Prince d’Aquitaine à la tour abolie
(9)
Pada fragmen ini telah kupunya
penopang buat menghadapi
Keruntuhanku andai kelak Ile merasa
lebih cocok denganmu.
Kesintingan Hieronymo memang tiada
bandingnya.
Datta. Dayadhvam. Damyata.
Shanti shanti
shanti
CATATAN:
(1) Terjemahan dari bahasa Italia:
IL MIGLIOR FABBRO
(Sang Pandai Besi Terbaik)
(2) Terjemahan larik berbahasa Jerman:
Bin gar keine Russin, stamm’ aus
Litauen, echt deutsch.
(Bukan orang Rusia, hanya kelahiran
Lithuania, warga Jerman)
(3) Terjemahan larik berbahasa Jerman:
Frisch weht der Wind
Der Heimat zu,
Mein Irisch Kind,
Wo weilest du?
(Angin menghembus garang
Tanah air,
Irlandiaku tersayang,
Di manakah kau kini?)
(4) Terjemahan larik berbahasa Jerman:
Oed’ und leer das meer
(Sesepi dan sehampa lautan)
(5) Terjemahan larik berbahasa
Prancis:
“You! hypocrite lecteur!—mon
semblable,—mon frère!”
(“Kamu! pembaca munafik—seperti
aku,—saudaraku!”)
(6) Terjemahan larik berbahasa
Prancis:
Et O ces voix d’enfants, chantant dans
la coupole!
(Dan O beginilah suara anak-anak,
bernyanyi di dalam kubah!)
(7) Terjemahan larik berbahasa Italia:
Poi s’acose nel foco che gli Affina
(Ia menyembunyikan dirinya di dalam
api suci).
(8) Terjemahan larik berbahasa Italia:
Quando fiam uti chelidon
(Ketika saya akan menjadi seperti
seriti).
(9) Terjemahan larik berbahasa
Prancis:
Le Prince d’Aquitaine tur abolie la
(Pangeran Aquitaine dalam menara
hancur).
(10) DA, diterjemahkan ke bahasa
Indonesia menjadi DAR, adalah onomatope (tiruan bunyi) dari suara guntur.
(11) Datta artinya “memberi”;
Dayadhvam artinya “memiliki belas kasih”; dan Damyata artinya “memiliki
pengendalian diri”. Tiga konsep spiritual Hindu yang diambil dari bahasa
Sansekerta itu ada di dalam kitab Upanishad.
(12) Shanti artinya “damailah”, satu
ucapan terkahir dalam lazimnya doa spiritual Hindu.
——————————————————————————-
Diterjemahkan oleh Ahmad Yulden Erwin,
1 – 13 September 2015
SENANDUNG CINTA J ALFRED PRUFROCK
Mari pergi, berdua kita,
Kala malam merebak melintang angkasa
Seperti pesakit telentang atas meja
bedah: terbius ia;
Mari beranjak, menjejak sepi jalan
setapak,
Racauan kalah
Dari malam-malam gelisah di hotel
melati kelas rendah
Dan pada bar berserbuk gergaji tambah
cangkang-tiram
Jalanan yang menjejak seperti
dalih-berbelit
Dari maksud tersembunyi
Membawamu ke satu tanya penuh ragu
Oh, jangan kau tanyakan,”Apa
gerangan?”
Mari lekas pergi, selesaikan lawatan
ini.
Di dalam bilik, sang wanita
bolak-balik
Bertopik Michelangelo ia berbisik
Kabut kuning menyeka punggungnya di
jendela kaca,
Asap kuning mengusap moncongnya di
jendela kaca,
Menjilatkan lidahnya ke penjuru malam,
ia
Bersitahan pada kolam yang terus
terkuras,
Membiarkan hantam punggungnya: jelaga
jatuh dari cerobong,
Tergelincir di teras, tetiba meloncat
Dan menemu kini: lirih malam Oktober ,
Mengeliuk sekitar rumah, lantas
terlelap pulas.
Dan tentu akan tiba masa
Bagi asap kuning yang mengalun
sepanjang jalan,
Menyeka punggungnya pada jendela kaca;
Akan tiba masa, akan datang waktu
’Tuk persiapkan paras bertemu rupa
yang kau jumpa;
Akan tiba masanya merusak dan
mencipta,
Dan masa kerja juga musim menyemai
Yang angkat-hempaskan tanya di atas
piringmu;
Waktu bagimu, juga bagiku,
Dan bagi ratusan kebimbangan
Dan pandangan juga ramalan,
Di hadapan sajian sarapan.
Di dalam bilik, sang wanita
bolak-balik
Bertopik Micheangelo ia berbisik
Dan tentu akan tiba waktu
Untuk meragu, ”beranikah aku ?”
dan,“beranikah aku?”
Waktunya kembali dan turuni tangga,
Dengan sepetak botak di tengah kepala
—
[Mereka ‘kan berkata: “Betapa menipis
rambutnya”]
Mantel pagiku — kerahnya menyesak
hingga dagu
Dasiku mewah dan sederhana, namun
dikait peniti biasa —
[Mereka ‘kan berkata: “Namun betapa
kurus lengan dan kakinya!”]
Beranikah aku
Menentang semesta?
Demi putusan dan tinjauan yang sekejap
jumpalitan.
Aku telah mengenal mereka, kenal
mereka semua:
Telah kenal malam, pagi, petang,
Dengan sendok kopi, ini hidup telah
aku timbang;
Kenal aku pada suara sekarat seperti
sakaratul maut
Di balik musik dari bilik jauh.
Jadi bagaimana mesti kuduga?
Dan telah aku kenal sang mata, kenal
mereka semuanya —
Mata yang memakumu pada metafora,
Dan ketika aku terperangkap, ditancap
pasak,
Ketika aku terpaku dan menggeliat di
dinding,
Lalu bagaimana mesti kumulai
Untuk ludahkan segala sisa hari-hari
dan jalan-jalanku?
Dan bagaimana mesti kuduga?
Dan aku telah kenal lengan-lengan itu,
kenal mereka semuanya —
Lengan bergelang, putih dan polos
[Tapi di bawah cahaya lampu: dibingkai
rambut cokelat terang!]
Apa harum dari gaun
Yang membuatku melantur-tertegun?
Lengan yang terkapar atas meja, juga
tersaput selendang
Dan mestikah aku menduga?
Dan bagaimana mesti kumulai?
Mestikah kuungkap, telah pergi aku
pada petang hari melintasi jalan sempit
Dan menyaksikan asap merabung dari
pipa cerutu
Lelaki kesepian tak bermantel, bertelekan
pada jendela
Mestinya aku sepasang cakar usang
Lintang-pukang di dasar laut tenang.
Dan sang senja, sang malam, terlelap
tenteram!
Dibelai jemari panjang,
Lelap…lelah…atau sekedar berpura,
Telentang ia di lantai, di sisi kita
berdua.
Mestikah aku, selepas kudapan kue,
teh, dan es batu,
Sanggup memaksa masa menuju mercu?
Namun meski telah meratap aku,
berpantang, puasa, serta berdoa tersedu,
Meskipun sudah kusaksikan kepala ini
(rontok dan botak) diseret ke atas piring,
Aku bukan nabi dan itu bukan soal;
Telah kulihat masa jayaku
terang-redup,
Dan telah kusaksikan pelayan meraih
mantelku dan terbahak
Dan sekilas, aku cemas.
Dan akankah itu bernilai, pada
akhirnya,
Setelah cangkir, selai jeruk, teh,
Di antara porselen, di antara secuap
dua pembicaraan kita,
Akankah itu berharga,
Menyusutkan masalah bersama senyuman,
Memejalkan semesta menjelma bola
Demi geleserkan ia menuju tanya penuh
ragu,
Demi berkata: “Akulah Lazarus, bangkit
dari kematian,
Bangkit untuk wahyukan ke kalian,
mesti kukabari kalian semua” —
Bila seseorang, letakkan bantal di
belakang kepalanya
Katakanlah : “Bukanlah itu yang aku maksud.
Bukan, sama sekali bukan
Dan akankah itu bernilai, pada
akhirnya
Akankah itu bernilai,
Selepas surya tenggelam dan pekarangan
dan jalan setapak,
Selepas roman, setelah cangkir teh,
dan rok yang menghela sepanjang lantai —
Dan ini, dan banyak lagi? —
Tak mungkin ‘tuk ungkapkan yang
kumaksud!
Tapi seolah-olah lentera-ajaib
lemparkan ragam gelisah pada layar:
Akankah ini bernilai
Bila sesorang, meletakkan bantal atau
melempar selendang,
Dan berpaling pada tingkap, berkatalah
:
“Bukan itu,
Sama sekali bukan itu”
Tidak! Aku bukan Pangeran Hamlet, tak
juga bermaksud jadi dia;
Aku pelayan Tuhan, orang yang akan,
Melakon alur, memulai satu dua adegan,
Menasihati sang pangeran; tanpa
keraguan,
Penuh hormat, senang diperalat,
Bijak, teliti, juga cermat;
Sarat ucap melangit, namun acap juga
lalai;
Terkadang, konyol —
Terkadang tolol.
Aku menua… bertambah tua..
Mestinya kubalun bawah celana.
Mestikah kucampakkan rambutku ke
belakang ? Bernyalikah aku mengunyah persik?
Mestinya kukenakan celana flanel
putih, dan berjalan menyusur pantai.
Telah kudengar putri duyung
bersenandung, ke sesamanya
Rasaku, takkan bernyanyi mereka
untukku.
Telah kupandang-lekat mereka
melaut-mengombak
Menyisir rambut putih dari
punggung-ombak yang terempas
Ketika angin mendesir, air menghitam,
buih memutih
Kita tinggal-tetap di bilik lautan
Dikerumuni gadis laut bertatah
ganggang merah dan cokelat
Hingga suara-suara manusia
membangunkan kita, kita tenggelam.
-------------
Diretjemahkan oleh Asra Wijaya 2017
RAPSODI DINGIN MALAM
Pukul 12 tepat
Sepanjang
rengkuhan jalan
Bertahan pada
sentesa bulan
Bisik
mantra-mantra bulan
Mengabur lantai kenangan
Dan segala relasi
jelas kini
Segala memisah,
memperjelas diri
Setiap lelampu
jalan yang kulintas
Berdentum bagai
tambur kematian
Tengah malam
menyentak lepas kenangan
Bagai lelaki
marah mencabut kering geranium.
30 menit dari
pukul 1
lelampu jalan
yang memercik berkata:
Beri hormat itu
perempuan
Yang
menggamangkanmu ke sinar pintu itu
Pintu yang
membuka padanya seperti seringai.
Kau lihat ujung
gaunnya.
Koyak berlumur
pasir
dan kau lihat
sudut matanya
mengerling bagai
lencana yang dipakai miring.
Kenangan
melambung, tinggi dan kering
Kerumunan dari
yang terpintal terjalin
Jalinan cecabang
di senarai pantai.
Terasa hambar dan
berkilau
Seperti yang
dunia serahkan.
Rahasia tulang
kerangka
Putih dan keras
Selingkar pegas
di halaman pabrik
Karat yang
melekat, tak lagi kuat
Keras melengkung,
siap di dentang-dentang.
Aku melihat ada
kehampaan di lorong mata bocah itu
Aku sudah melihat
mata di jalan itu
Menatap tajam
menembus benderang jendela
Dan seekor ketam,
satu sore, di genang kolam.
Seekor ketam tua,
kepah di punggungnya
Mencengkram ujung
tongkat yang kugenggam.
Pukul 3.30 menit,
Lelampu memercik
Lelampu
memberengut dalam gelap.
Lelampu yang
bergumam:
Beri hormat bulan
itu,
Bulan mengerdip,
matanya redup,
Bulan tersenyum,
ke pensil sudut-sudut
Bulan mengelus
rambut-rambut rumput.
Bulan yang telah
kehilangan kenangan
Parut cacar
mengacau wajah bulan,
Tangan bulan
menata mawar kertas,
Yang menebar debu
dan cologne apak,
Bulan sendiri
dengan seluruh aroma malam,
Yang saling
bersilang di sisi seberang pikir bulan.
Kenanganpun
tiba-tiba datang
Dari geranium
yang kering di teduh matahari
Dan menabur di
celah karang,
Aroma chesnut
menebar di jalan-jalan
Dan aroma
perempuan di kedap ruang
Dan sengak rokok
di koridor
Dan uap koktail
di bar.
Lelampu berkata:
Pukul 4
Inilah nomor
pintu itu,
Kenangan!
Engkau punya
kuncinya
Lampu kecil
menebar lingkar sinar di tangga,
Menaik.
Ranjang membuka:
Sikat gigi menggantung di dinding,
Lepaskan sepatu
di depan pintu, tidurlah,
Bersiap untuk
hidup esok lagi."
Hunus terakhir
sang pisau.
----------------------------
diterjemahkan oleh Sulaiman Djaya 2016
No comments:
Post a Comment