JAMURESI #3
Mencari Identitas
Hakikatnya, setiap tempat memiliki
kebudayaan tersendiri. Setiap masyarakat pasti memiliki tatanan hidup
bermasyarakat sesuai dengan kebiasaan dan kondisi masing-masing. Begitu
juga dengan Jamuresi dan sekitarnya yang memiliki tradisi tersendiri dan
menyesuaikan dengan zamannya. Menurut sebagian para pakar sosiologi dan
antropologi, kebudayaan sebuah masyarkat yang paling benar adalah yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Namun juga tidak kehilangan akar kebudayaan yang masih baik dan memiliki nilai kebaikan untuk kemanusiaan.
Jamuresi, yang dapat saya ingat, dua lima
tahun yang lalu – sekitar tahun 1991an- masih tercatat sebagai tempat
tertinggal atau desa tertinggal -Desa Sukajaya sampai sekarang masih sebagai
desa IDT-. Namun, masyarakatnya mampu menjawab tantangan zamannya dengan
kemampuannya masing-masing. Misalnya, untuk kebutuhan listrik, warga jamuresi
memiliki sumber listrik sendiri yang dihasilkan dari turbin atau pembangkit
listrik tenaga air dari sungai Cijolang. Tapi sangat disayangkan, pada tahun
1996, listrik mandiri milik warga Jamuresi diganti oleh listrik PLN milik
pemerintah dan tidak difungsikan lagi. Di satu sisi, penggantian ini membawa
kebaikan, namun di sisi yang lain, pemerintah merampas kreatifitas
masyarakatnya yang mandiri.
Peristiwa pergantian listrik mandiri ke
listrik pemerintah, akhirnya mendorong kebutuhan masyarakat Jamuresi dipaksa
sama dengan kebutuhan masyarakat di kota yang memiliki pendapatan ekonomi
berlipat-lipat dari masyarakat Jamuresi. Jamuresi dipaksa zaman untuk punya
televisi, mengkonsumsi makanan instant produk periklanan yang di dapat dari
televisi. Situasi ini akhirnya mendorong sisi kebutuhan yang dipaksa meningkat.
Sebelumnya, panen padi satu kali satu tahun masih bisa menutupi kebutuhan
sehari-hari warga Jamuresi. Sebab kebutuhan rempah-rempah masih bisa dilakukan
dengan cara barter antar tetangga. Namun, setelah kebutuhan meningkat akibat
harus bayar listrik negara, gaya hidup televisi, membuat masyarakat
meningkatkan pendapatan dengan cara mengeksploitasi sumberdaya alam Jamuresi
tetapi tidak dibekali dengan pengetahuan dan tehnik yang mumpuni. Sebagian
masyarakat akhirnya menerima dengan paksa program-program percepatan pertanian dan
lainnya demi memenuhi kebutuhan hidup namun tidak diberikan pandangan dampak
yang akan terjadi dua puluh tahun yang akan datang -sekarang.
Demi memenuhi kebutuhan tersebut,
masyarakat Jamuresi khususnya, umumnya Desa Sukajaya, meningkatkan percepatan
pertanian dengan menggunakan zat-zat kimia yang dapat merusak tanah. Misalnya,
dulu panen satu tahun sekali, bisa dipercepat menjadi tiga kali panen dalam
setahun. Pengunaan bibit dan pupuk mempercepat dan memaksa tanah untuk
memberikan kebaikan dengan instan namun lupa akan dampak kedepannya. Sekarang, sebagian sawah menjadi kering dan tak bisa ditanami padi bahkan dengan
cara huma. Begitu pula yang memilki area pertanian di dataran yang lebih
tinggi, banyak yang menjual pohon besar dan kemudia ditukar dengan tanaman
sejenis kopi. Alhasil, ketika musim hujan turun, air hujan hanya sebatas lewat
begitu saja dan tidak memberikan kebaikan yang banyak sebab tak ada lagi
tanaman yang bisa menahan resapan hujan serta tanah sudah tak mampu lagi
menampung air.
Saya masih ingat, selokan kecil di depan rumah, dua puluh lima
tahun yang lalu airnya banyak, dan selalu hidup. Saya bersama teman-teman
bahkan sering membuat semacam bendungan dan membuat miniatur PLTA seperti yang
di lakukan orang tua kami di sungai Cijolang. Tapi kini, semua tinggal kenangan
dalam ingatan. Selokan kecil hanya parit kering penuh rumput dan berair ketika
hujan saja.
Selain kreatifitas yang bernilai baik
banyak yang terampas, hubungan sosial antar warga pun banyak terampas oleh
kehadiran listrik PLN kala itu. Saat ini, kehidupan Jamuresi tak ubah seperti
tatanan sosial masyarakat di perkotaan atau di pinggiran kota yang berlistrik.
Semua orang, kita malam tiba, nyaris tak ada lagi yang berada di luar rumah,
bukan karena takut gelap -dahulu lebih gelap- tapi karena semua orang kini
sibuk dan terbius oleh acara televisi, terhanyut dalam acara televisi yang
tidak banyak memberikan manfaat bagi warga Jamuresi secara langsung. Tak lagi
seperti dulu, ketika menjelang magrib tiba, semua orang berbondong-bondong menuju
masjid, mengajak anak-anaknya pergi ke masjid. Setelah magrib, anak-anak
mengaji, para orang tua menunggu isya di beranda masjid sambil berbagi
peristiwa dari sawah dan ladang masing-masing. Berbagi kisah dan pengalaman
bagaimana menangani hama dan meningkatkan pendapatan. Terkadang, ketika purnama
tiba, hampir semua warga di luar rumah menikmati purnama sebagai salah satu rasa
syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan melalui alam raya. Lebih jauh dari itu
semua, saya bersyukur masih sempat menikmati upacara sukuran alam sebelum panen
dan setelah panen. Simbol syukur dan ucapan terimakasih kepada alam raya selain
kepada Allah SWT atas berkah alam yang didapat.
Sayangnya, perubahan kebudayaan ini tidak
disiapkan dengan matang oleh pemerintah kala itu. Masyarakat Jamuresi, dalam
padangan saya, kala itu belum siap untuk menerima dampak kemajuan setelah
listrik bekekuatan tinggi masuk Jamuresi. Sebab ketika listrik masuk Jamuresi
tahun 1996, sebagian besar pendidikan warga Jamuresi adalah lulusan SD dengan pengetahuan
sebatas bagaimana menanam dan bagaimana panen saja. Masyarakat tidak disiapkan
secara mental untuk menanggapi kemajuan dan segala kemuningkan atas kemajuan
yang bisa dicapai dengan adannya listrik yang lebih besar. Masyarakat tidak
dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan akan dampak positif dan negatifnya
dari adanya listrik yang lebih besar tenaganya. Ada pun kebudayaan masyarakat
men-tabukan menebang pohon besar dan
mengkeramatkan hutan larangan dihajar habis-habisan dengan pendekatan ‘agama’
tapi dengan cara yang salah. Masyarakat hanya diberitahu bahwa ‘menuhankan’
pohon besar, hutan adalah perbuatan ‘syirik’ dalam Islam, tetapi tidak diberikan
keterangan yang lainnya yang bermaanfaat agar tetap melestarikan hutan sebagai
habitat penjaga siklus kehidupan Jamuresi yang notabene berada di lereng
pegunungan.
Berubahnya tatanan sosial dan kebudayaan
Jamuresi telah menjadikan Jamuresi tidak jauh beda dengan tempat yang lain yang
ada di pinggiran kota dan kota. Padahal, banyak potensi yang bisa lebih besar
dari yang sekarang sedang berlangsung. Selain dari sisi pertanian dan
peternakan, Jamuresi punya nilai historis yang cukup mumpuni sebagai kekayaan
kebudayaan bagi Ciamis khususnya. Sayangnya, pemerintah Ciamis saat itu tidak
peka. Terbukti dengan terbengkalainya situs multizaman ‘batu tulis citapen’
-menurut hasil penelitian, situs Citapen berusia lebih dari 700.000 tahun
silam- yang berada di wilayah Desa Sukajaya tidak terurus dan tidak jadi
potensi kekayaan kebudayaan. Jangankan yang belum terangkat dan tidak begitu
dikenal, yang sudah di kenal saja, Situs Rancah, Situs Tambak Sari, Kabuyutan
Rajadesa, Nagara Pageuh, belum bisa dijadikan kekayaan kebudayaan yang bisa
menggebalikan kejayaan Ciamis seperti di masa lalu ketika masih mejadi pusat kerajaan
Galuh.
Kekayaan alam dan kebudayaan Jamuresi
hilang begitu saja, dilipat waktu demi menjawab tantangan zaman akibat dari
kelalaian pemerintah yang tidak peka. Akhirnya, ini pula yang menjawab
pertanyaan saya sendiri, kenapa Desa Sukajaya masuk dalam barisan IDT? Bukan
karena tertinggalnya saja, tetapi mungkin memang harus lebih diutamakan. Dalam
hal ini, bagi saya, Suharto punya pandangan yang lain menerima Sukajaya sebagai
Inpentaris Presiden. Karena memiliki kekayaan kebudayaan yang khusus dan bernilai
historis yang tinggi.
Sekarang, mampukah kita menjawab sang
waktu? Terus menggali potensi untuk kebaikan Jamuresi? Sementara sebagian
anak-anak, remaja yang ada di Jamuresi kini memilki cara hidup seperti remaja
di Kota-kota besar dan Kota-Kota urban?
2016