Galunggung After The Rain, bahasa Inggrisnya mungkin begitu. Tapi sepertinya lebih asyik pakai bahasa Indonesia, Galunggung Setelah Hujan.
Galungung Setelah Hujan
Foto ini saya ambil ketika saya bersama Istri saya dengan sangat sengaja pergi ke Gunung Galunggung pada 5 April 2016. Sungguh, kami tak tahu akan ada hujan saat kami di atas. Dan sungguh, kami memang sengaja naik setelah asar. Niatnya kami ingin menikmati sunset di atas Galunggung. Tapi, yang kami dapat lebih dari itu.
Mulai menaiki tangga menuju kawah sampai ke bagian atas kawah, lokasi wisata ini nyaris sudah tak ada aktifitas. Baik pedagang atau pelancong lainnya. Hanya beberapa pasangan yang pacaran termasuk saya. sambil menikmati sepinya sekitar kawah, tiba-tiba hujan turun tak terduga. Deras dan nyaris membuat kami turun lagi. Tapi karena hujan terlalu deras, kami bertahan saja di warung-warung yang sudah tutup sampai akhirnya hujan reda.
Inilah saat yang paling indah. setelah hujan reda, kami seperti berada di atas awan. Jarak pandang pendek. Warna di dominasi oleh awan dan kabut. Yang terlihat hanyalah pasir yang hitam, tanaman yang masih terjangkau jarak pandang, dan tentu saja Istri saya yang memakai gaun merah!
Sungguh sangat menakjubkan. Akhirnya dengan kamera ponsel seadanya (Hisense PureShot) saya mengabadikannya. Salah satunya adalah foto yang saya tampilkan di sini.
Sesekali cobalah lakukan seperti yang kami lakukan....terutama para pecinta fotografi dan para hunter fotografi. Galunggung Setelah Hujan di senjakala sungguh sangat menakjubkan. Selamat berfoto, selamat berpetualang.
Semua yang kita lihat pasti akan
tersimpan dalam memori dan suatu saat akan muncul kembali. Begitu pula iklan
rokok. Pernyataan ini dituturkan Lisa Marie, praktisi dan psikolog yang menjadi
Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran (UU
Penyiaran), Selasa (21/4), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
WS Rendra saat memberikan kesaksian terkait pengujian Pasal 46 huruf c UU Penyiaran/Photo: Andhini SF/Humas MK
memeberikan ceramah Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
Lisa mengatakan, iklan rokok bisa
membekas dalam pikiran pemirsanya jika melibatkan unsur emosi dan irasional.
Menurutnya, makin irasional iklan rokok, makin kuat pula diingat orang. Ia
mencontohkan, iklan sebuah rokok di pantai, yang digambarkan bungkus rokoknya
lebih besar dari orangnya, akan lebih diingat orang karena tingkat
irasionalitas tersebut. Paparan Lisa juga menyebutkan bahwa sekitar 40 ribu
anak-anak Amerika menonton iklan rokok. “Lalu, untuk usia 10-18 tahun, 3000
anak telah merokok setiap harinya,” papar Lisa dalam sidang perkara No.
6/PUU-VII/2009 ini.
Kesaksian Rendra : Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
Menyambung keterangan Lisa, salah
satu Ahli dari Pemohon, Elie Mutiawati, mengungkapkan bahwa iklan rokok memang
dilarang menyampaikan informasi bahwa merokok bermanfaat bagi kesehatan. “Perlu
upaya perlindungan kesehatan masyarakat terhadap bahaya iklan merokok”,
tegasnya. Namun dia melihat sampai sekarang masih banyak iklan rokok yang
melanggar aturan dengan tetap mencantumkan sebagian atau seluruh bungkus rokok
bersangkutan.
Sementara itu, Mary Assunta, Ahli
Pemohon dari South East Asia Tobacco Control Alliance, ikut menguatkan dengan
menuturkan beberapa studi penting terkait iklan rokok. “Studi Alexander
menunjukkan, remaja yang menyaksikan iklan promosi rokok tertentu dan bisa
menyebutkan jenis iklan rokok tersebut, dua kali lipat berpotensi menjadi
perokok,” tuturnya melalui penerjemah.
Mary mengungkapkan pula sebuah
penelitian di Spanyol, bahwa anak usia 13-14 tahun yang bisa menyebutkan iklan
rokok, bisa menjadi perokok mingguan. Karena itulah Mary ingin menegaskan bahwa
tembakau tidaklah sama dengan produk lainnya. Ia sangat berharap iklan rokok
dilarang untuk mengurangi risiko kematian agar remaja tidak terpengaruh iklan
rokok dan regulasi iklan rokok bisa dilakukan.
Uji UU Penyiaran khususnya
tentang iklan rokok ini dimohonkan oleh Tim Litigasi untuk Pelarangan Iklan,
Promosi, dan Sponsorship Rokok sebagai kuasa hukum dan bertindak atas nama
Komisi Perlindungan Anak, juga Lembaga Perlindungan Anak dan perorangan warga
negara, yaitu Alfi Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah. Turut menambahkan,
Ahli dari Pemohon, Peneliti Lembaga Demografi Indonesia, Abdillah Hasan,
menyatakan dalam konsep ekonomi, ada yang namanya opportunity cost (biaya
kesempatan).
“Itu terjadi pada rokok. Uang
yang telah dibelanjakan untuk rokok, tidak bisa dialihkan untuk kebutuhan
lain,” katanya. Selain itu, belanja rokok juga ikut meningkatkan biaya
kesehatan karena rokok mengandung aneka penyakit sebagaimana temuan ribuan
artikel ilmiah selama ini.
Segenap Pemohon meminta MK
membatalkan keberlakuan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frase
“yang memperagakan wujud rokok,” karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28B
ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pasal a quo,
menurut Pemohon, sebenarnya juga bertentangan dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b
UU Penyiaran itu sendiri yang menyatakan zat adiktif dan minuman keras tidak
boleh diiklankan, sementara rokok termasuk zat adiktif. Oleh karenanya, Pemohon
menganggap dua pasal tersebut inkonsisten. (Yazid)
Kira-kira tahun 1994, saya mendengar dan mulai mengetahui bahwa di desa saya, Sukajaya, ada batu tulis. Batu tulis ini letaknya di dusun Citapen Pasir. Untuk seorang anak SD, jarak antara Jamuresi dan Batu Tulis Citapen lumayan cukup jauh, ditambah tahun-tahun itu kendaraan anak SD yang paling tren hanya sepeda. Akibat kurang nakal, kurang nekat, dan kurang rasa ingin tahu, sampai saya lulus SD saya gagal ke Batu Tulis Citapen. Juga karena terlalu percaya pada mitos-mitos yang ada di masyarakat Sukajaya.
Tapi saya tetap bersyukur, rasa ingin tahu yang sedikit itu masih tertanam dan masih ada. Sekalipun sudah mengalami distorsi pengetahuan dan pencampuran asumsi yang belum terverifikasi. Sejauh yang saya ketahui, dan mungkin juga sebagian banyak orang ketehui pula, pengetahuan akan batu tulis sangat terbatas. Sedikit beruntung bagi yang sekolah dan sempat serius belajar antropologi dan sejarah kebudayaan indonesia, kemungkinan besar mengenal batu tulis dari buku-buku di sekolah. Namun sayang, sebagian besar hanya berupa prasati-prasasti saja. Juga dalam kepala saya, bahwa ‘Batu Tulis Citapen’-begitulah ia dikenal dan diperkenalkan- tidak jauh berbeda dengan batu tulis dan prasasti seperti yang saya temui di buku pelajaran ketika SD-SMP-dan-SMA. Rasa ingin tahu yang tersimpan itu pun belum terjawab sampai saya lulus SMA.