Semua yang kita lihat pasti akan
tersimpan dalam memori dan suatu saat akan muncul kembali. Begitu pula iklan
rokok. Pernyataan ini dituturkan Lisa Marie, praktisi dan psikolog yang menjadi
Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran (UU
Penyiaran), Selasa (21/4), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
WS Rendra saat memberikan kesaksian terkait pengujian Pasal 46 huruf c UU Penyiaran/Photo: Andhini SF/Humas MK
memeberikan ceramah Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
|
Lisa mengatakan, iklan rokok bisa
membekas dalam pikiran pemirsanya jika melibatkan unsur emosi dan irasional.
Menurutnya, makin irasional iklan rokok, makin kuat pula diingat orang. Ia
mencontohkan, iklan sebuah rokok di pantai, yang digambarkan bungkus rokoknya
lebih besar dari orangnya, akan lebih diingat orang karena tingkat
irasionalitas tersebut. Paparan Lisa juga menyebutkan bahwa sekitar 40 ribu
anak-anak Amerika menonton iklan rokok. “Lalu, untuk usia 10-18 tahun, 3000
anak telah merokok setiap harinya,” papar Lisa dalam sidang perkara No.
6/PUU-VII/2009 ini.
Kesaksian Rendra : Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
Menyambung keterangan Lisa, salah
satu Ahli dari Pemohon, Elie Mutiawati, mengungkapkan bahwa iklan rokok memang
dilarang menyampaikan informasi bahwa merokok bermanfaat bagi kesehatan. “Perlu
upaya perlindungan kesehatan masyarakat terhadap bahaya iklan merokok”,
tegasnya. Namun dia melihat sampai sekarang masih banyak iklan rokok yang
melanggar aturan dengan tetap mencantumkan sebagian atau seluruh bungkus rokok
bersangkutan.
Sementara itu, Mary Assunta, Ahli
Pemohon dari South East Asia Tobacco Control Alliance, ikut menguatkan dengan
menuturkan beberapa studi penting terkait iklan rokok. “Studi Alexander
menunjukkan, remaja yang menyaksikan iklan promosi rokok tertentu dan bisa
menyebutkan jenis iklan rokok tersebut, dua kali lipat berpotensi menjadi
perokok,” tuturnya melalui penerjemah.
Mary mengungkapkan pula sebuah
penelitian di Spanyol, bahwa anak usia 13-14 tahun yang bisa menyebutkan iklan
rokok, bisa menjadi perokok mingguan. Karena itulah Mary ingin menegaskan bahwa
tembakau tidaklah sama dengan produk lainnya. Ia sangat berharap iklan rokok
dilarang untuk mengurangi risiko kematian agar remaja tidak terpengaruh iklan
rokok dan regulasi iklan rokok bisa dilakukan.
Uji UU Penyiaran khususnya
tentang iklan rokok ini dimohonkan oleh Tim Litigasi untuk Pelarangan Iklan,
Promosi, dan Sponsorship Rokok sebagai kuasa hukum dan bertindak atas nama
Komisi Perlindungan Anak, juga Lembaga Perlindungan Anak dan perorangan warga
negara, yaitu Alfi Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah. Turut menambahkan,
Ahli dari Pemohon, Peneliti Lembaga Demografi Indonesia, Abdillah Hasan,
menyatakan dalam konsep ekonomi, ada yang namanya opportunity cost (biaya
kesempatan).
“Itu terjadi pada rokok. Uang
yang telah dibelanjakan untuk rokok, tidak bisa dialihkan untuk kebutuhan
lain,” katanya. Selain itu, belanja rokok juga ikut meningkatkan biaya
kesehatan karena rokok mengandung aneka penyakit sebagaimana temuan ribuan
artikel ilmiah selama ini.
Segenap Pemohon meminta MK
membatalkan keberlakuan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frase
“yang memperagakan wujud rokok,” karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28B
ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pasal a quo,
menurut Pemohon, sebenarnya juga bertentangan dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b
UU Penyiaran itu sendiri yang menyatakan zat adiktif dan minuman keras tidak
boleh diiklankan, sementara rokok termasuk zat adiktif. Oleh karenanya, Pemohon
menganggap dua pasal tersebut inkonsisten. (Yazid)
Sumber: BMK april 2009