MACBETH
-BANALISME YANG DANGKAL-
*Catatan nonton teater
ala gue....Jangan lupa ngopi dulu biar gak kaku.... :p
Selama kurang lebih 3
jam menonton –Macbeth- Teater Tangga, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tadi
malam (23/12/15), akhirnya saya punya oleh-oleh yang bisa saya bawa pulang ke
rumah sebagai renungan dan bahan obrolan di rumah untuk beberapa hari.
Sebagai penonton, ini
adalah perjuangan yang cukup melelahkan dan berat untuk bisa bertahan sepanjang
pertunjukan. Daya tawar yang disampaikan kawan-kawan teater tangga masih
hambar, Kurang liar, monoton dan dangkal. Pertunjukan tadi malam tidak memiliki
ruh dan tidak memberikan pencerahan, yang akhirnya saya lebih suka melihat
respon penonton lain yang ada di sekirar saya.
Alhasil, beberapa
penonton di sekitar saya melakukan aktifitas sendiri ketimbang menonton atau
menyimak Macbeth. Penonton yang tepat di samping saya meninggalkan gedung
setelah pertunjukan berlangsung kurang lebih 15 menit. Sungguh, ini suatu
tragedi yang dahsyat ketimbang tragedi tawaran Macbeth di atas panggung.
Kematian para aktor
Beberapa tawaran
adegan yang dibuat oleh sutradara, hanya dilakukan sebagai penyelesaian
kewajiban ber-akting oleh para aktor. Para aktor nampak kurang usaha
memanfaatkan set. Terlebih tokoh Macbeth sebagai penguasa set panggung bagian
belakang, kurang memanfaatkan “fasilitas rumahnya” sebagai pembatu yang dapat
mendongkrak karakternya yang “psikopat”.
Di adegan lain,
tawaran pengadeganan nampak kurang bergairah. Adegan-adegan yang dibuat di
panggung bagian depan tidak bisa dibaca geografisnya. Bloking-bloking masif
yang dibuat oleh sutradara hanya dilaksanakan sebagai pelaksaan intruksi
sutradara belaka. Para aktor nampak mencari aman dengan tidak berbuat liar atau
mengeksplorasi berbagai kemungkinan.
Set panggung yang
masif, telah membunuh para aktor. Set panggung yang ditawarkan, pada akhirnya
hanya menjadi hiasan saja dan tidak memberikan fungsi yang tepat dalam lakon
ini. Kemegahannya pun telah membunuh para aktor. Sehingga, aktor menjadi tidak
liar karena merasa termanjakan dan ditolong oleh set. Set hanya menjadi
benda-benda mati dan tidak menjadi tanda atau penanda apa pun. Sayang sekali
tragedi set membunuh aktor di atas panggung terasa lebih dahsyat dari lakon
Macbeth.
Tantangan Penyutradaraan
Bagi siapapun
memainkan Macbeth karya Shakespeare, ia sudah tertolong oleh keindahan dan
kebesaran naskahnya. Tantangannya adalah, bagaimana Macbeth 1606 ini bisa
menjadi hangat, segar dan masuk di dalam dunia masakini. Tentu, ini merupakan
usaha yang berat dalam proses adaptasi sehingga menjadi layak tonton.
Usaha adaptasi yang
dilakukan Teater Tangga dengan Sutradra M. Yudha Pratama –terlepas adaptasi
langsung dari karya Shakespeare atau
terjemahan Rendra atau siapa pun - mencoba menjawabnya dengan mengubah Macbeth
jendral perang menjadi Macbeth seorang kepala kelompok intelejen semacam BIN,
FBI, CIA atau Interpol dengan maksud mengecilkan skala ruang lingkup Macbeth
agar lebih dikuasai -barangkali.
Sangat disayangkan,
usaha yang dilakukan sutradara masih kurang maksimal dan kurang liar. Semua
adegan yang disajikan terasa sangat gelap, monoton dan menjemukan. Perpindahan
antar adegan tidak apik. Teknik ‘blackout’ masih menguasi sebagian besar perpindahan
adegan. Ini menjadikan semua adegan hanya terasa sebagai cuplikan-cuplikan
saja, tidak utuh.
Pemilihan ‘bumbu’
pertunjukan, sutradara menawarkan ‘asmara’ yang dangkal dan tidak artistik.
Adegan antara Lady Macbeth dengan Macbeth yang dibuat seolah-olah ‘syur’ tidak
bisa mendongkrak permainan. Pilihan musik yang low, drone, dan gelap, hanya
mejadi backsound yang tidak berguna dan mengganggu saja. Musik yang semestinya
bisa menjadi bagian penggambaran citra baik tegang atau ceria, malah hanya
memberi kesan cerewet dan tidak tepat. Usaha yang paling menonjol terlihat pada
penataan busana yang mencoba memasuki ternd busana kini –eh itu yang pakai
kerudung lucu juga- :p
Intinya, pertunjukan
Macbeth yang disajikan Teater Tangga, bagi saya, secara keseluruhan, hanya
kebanalan yang dangkal. Proses pencarian yang tidak maksimal dan menyeluruh.
Pemindahan dunia keseharian atau kenyataan kewajaraan hidup menjadi kewajaran
kenyataan estetis panggung, tidak berhasil. Proses adaptasi yang dilakukan juga
tidak berhasil menangkap situasi kekinian kenyataan sosial, politik dan
kebudayaan yang dihadapi atau dijalani Teater Tangga.
Satu yang saya suka,
Teater Tangga, dengan segala macam pengobarbanan dan usaha, telah membuktikan
bahwa Teater Tangga layak dihitung dan layak untuk hadir sebagai kelompok
teater kampus yang memiliki gairah, dan dedikasi terhadap Teater Indonesia.
Bravo Teater
Tangga...jangan lupa banyak-banyak nonton anime onepiece...kkkkk!!!
Aku Cinta Padamu
*Cacatan, hehehe ini tulisan lama, sori saya sedang belajar google trends...hehehe