JAMURESI #4
Gembyung dalam kenangan
Kesenian Gembyung adalah seni musik yang
dikembangkan dari seni musik Terbang yang sudah membumi di pesantren-pesantren
di sekitar Cirebon. Gembyung dimainkan dalam upaca-upacara keagamaan dan pesta
rakyat lainnya. Di Jamuresi, Gembyung biasanya dimainkan untuk mengiri
marhabaan keliling dan sukuran-sukuran lain di rumah-rumah warga.
Gembyung di Jamuresi berwaditrakan Terbang,
Kendang, Goong dan Kecrek. Pemainnya kurang lebih sembilan orang dengan satu
orang solis atau vokalis. Lagu-lagu yang dimainkan biasannya shalawatan dari
kitab al-Barjanji dengan nada khas Sunda, atau sesekali mereka menyayikan lagu
sunda yang isinya berupa amanat atau hikmah keislaman.
Sebagai seni musik bernuansa Islami,
Gembyung diduga masuk ke Jamuresi berbarengan dengan membuminya Islam di
Jamuresi. Islam masuk dan diajarkan di Jamuresi oleh salah seorang yang diduga
murid Sunan Kalijaga dari Cirebon. Sehingga sedikit wajar jika ia mebawa serta
tradisi yang sempat ia lakukan di Cirebon dibawa serta ke Jamuresi.
Namun sayang, perubahan arus kebudayaan di
Jamuresi terlampau deras dan mudah sekali berubah. Sejak listrik pemerintah
masuk ke Jamuresi, Gembyung hilang begitu saja. Kalau pun ada usaha
menghidupkan kembali Gembyung Jamuresi, sepertinya akan sulit. Selain para
pemainnya sudah banyak yang menjadi nisan, kesenian ini hilang begitu saja
seperti tertiup angin dan belum sempat diturunkan pada generasi berikutnya.
Begitu pula dengan marhabaan keliling, sudah mulai pudar pula.
Banyaknya kerarifan lokal yang hilang dari
Jamuresi menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah Ciamis kurang perhatian
terhadap kesenian dan kebudayaannya sendiri. Mungkin tidak hanya di Jamuresi
yang terletak jauh dari pusat pemerintahan, tapi juga terjadi di tempat lain di
wilayah Ciamis. Bukan hanya dulu, sekarang pun pemerintah Ciamis masih kurang
perhatian terhadap kebudayaan lokal dan segala macam peninggalannya. Bukti lain
adalah pembangunan gedung kesenian yang tidak sesuai kebutuhan dan
terbengkalainya beberapa situs cagar budaya seperti ‘batu tulis multizaman’ di
Citapen desa Sukajaya.
Tentu saja, besar harapan saya, dari yang
tidak saya ketahui, masih ada keinginan untuk melakukan perubahan untuk Ciamis
yang lebih baik setelah ditinggal oleh Pangandaran.
2016