Wednesday, September 16, 2020

POSTING ULANG ULASAN PERTUNJUKAN

 

ORANG KASAR TEATER EMBUN; JALAN PANJANG MENUJU KEWAJARAN KEDUA

Oleh-oleh menonton pementasan Teater Embun SMAN 5 Depok.

…………

Sebenarnya, saya selalu bersyukur ketika mendengar, atau mendapatkan undangan untuk menonton pertunjukan teater meski akhirnya apa yang saya saksikan ternyata mengecewakan. Entah karena penyajian atau karena teknik dasar yang belum dan masih sedang berkembang. Saya selalu mencoba bertahan dalam kejenuhan menonton dengan memberikan penyadaran dan harapan pada diri sendiri siapa tahu ada kejutan di menit berikutnya.

Sabtu sore, 30 Juli 2016, Saya bersama istri saya pergi menonton pementasan teater lagi. Kali ini yang kami tonton adalah pementasan naskah Orang Kasar karya Anton Chekov yang sudah disadur oleh Rendra. Tentu ini menarik. Sejauh yang saya ketahui, mungkin juga anda, bahwa darama-drama Chekov banyak muatan satir seperti Leo Tostoy pendahulunya. Begitu pula Rendra, yang kerap bergaya satir dan memiliki gaya sendiri sebagaimana ia mengadaptasi Les Chaises karya Eugene Unesco menjadi Kereta Kencana  dan isi naskahnya 180 derajat berbeda. Begitu pula ketika Rendra terinspirasi oleh naskah Diě Rubber-nya Friedrich Schiller menjadi Perampok yang berlatar kerajaan Mataram Kuna di Indonesia.


Itulah alasan-alasan yang saya karang sebagai penguat dan pendorong untuk pergi menonton selain alasan utama menonton adalah Teater Embun itu sekelompok Teater SMA yang pernah mendapat penghargaan pada Festival Drama di Jakarta yang diselenggarakan oleh Teater Hangtuah London School. Sekelompok anak SMA yang berani beda dari anak-anak di usianya sekarang.

Hal utama yang perlu diapresiasi adalah, Sir Ilham Jambak, bersama teman-teaman remajanya yakni Teater Embun SMAN 5 Depok, mampu keluar dari kecenderungan umum anak SMA terutama di era pokemon-go. Juga teman-teman para penggiat teater lain yang bergiat di sekolah-sekolah yang berjuang menjaga kewajaran hidup.

Saya percaya, bahwa dengan berkesenian, berteater khususnya, kita lebih mampu menjaga kewajaran dan membuta hidup kita lebih berarti. Bahwa, belajar kesenian adalah belajar secara keseluruhan. Bahwa, menyajikan sebuah pementasan adalah melibatkan segala macam keilmuan dan pelajaran yang diajarkan disekolah. 

 

Teknik yang belum berkembang

Meskipun jauh dari yang diharapkan, jejak-jejak latihan nampak jelas terlihat. Usaha yang dilakukan para pemain dalam melatih diri serta menunaikan tuntutan “sutradara” dan Naskah menjadikan pentas Orang Kasar berjalan lancar. Ya, lancar. Tidak adanya kesalahan akibat kurang konstrasi salah seorang pemain yang berdampak pada terhentinya pertunjukan misalnya, atau pertunjukan berjalan mulus tidak tersendat karena ada kehilangan dialog, salah set, salah kostum misalnya.

Lancar saja tidak cukup kakak. Masih banyak yang harus dikerjakan. Terutama PR untuk para pemain dalam menghidupkan peran yang ia mainkan. Selain itu, tugas berat berikutnya terletak disutradara dan pelatih grup. Perlu dicarikan diterapan metoda yang sesuai dengan para aktor agar teknik permainan aktor menjadi berkembang dan mencapai kedalam penghayatan yang baik. Terlebih, yang baru saja dimainkan adalah naskah drama realis.

Teknik dasar seperti olah suara, olah tubuh, dan olah batin, dan olah pikiran masih perlu diperbaiki dan terus dikembangkan. Dengan begitu, para aktor bisa dengan dinamis memainkan dialognya dan memproyeksikan suara serta tubuhnya dengan tepat. Sehingga tercapailah kedalam peran yang baik. Seperti yang diyakini Stanislavski bahwa alat utama seorang aktor adalah suara dan tubuhnya. Sebab tugas aktor adalah menyampaikan pesan naskah dengan suara dan tubuhnya.

Pengeloalaan misé en scéne pun masih kurang efektif dan efisien. Ada beberapa yang fungsinnya hanya meneror mata penonton, tetapi tidak berfungsi dengan baik untuk aktor. Saya punya dua dugaan atas ini, yang pertama adalah sengaja sebagai dekorasi saja dan patuh pada tuntutan naskah serta untuk menutupi kelemahan teknik permainan para aktor, yang kedua adalah kurangnya kreatifitas aktor dalam mengeksplorasi berbagai kemungkinan di atas panggung dan tidak mampu menguasai misé en scéne, baik set atau hand properties.

Tentu saja ini tugas berat kakak Sir Ilham Jambak sebagai sutradara dan pelatih, begitu pula para awak Teater Ebun untuk terusmenerus berlatih, olah suara, olah tubuh, olah batin, dan olah pikiran. Juga teruslah berimprovisasi.

Terus berlatih yaaaa…

 

Realitas yang bertabrakan

Pementasan teater atau drama, khususnya aliran realisme, seperti yang dijejalkan oleh buku-buku di sekolah adalah tiruan atas realitas kehidupan dengan batasan-batasan tertentu dan aturan main tertentu. Ada pula yang mengartikannya sebagai penciptaan citra sebagai bentuk refleksi atas realitas kehidupan yang dialami oleh para penciptanya.

Pemindahan realitas sehari-hari ke atas pentas tidaklah seperti membalikan telapak tangan. Ada batasan dan aturan main tertentu yang perlu dijalani. Bahwa memindahkan realitas sehari-hari ke atas pentas harus juga menimbang nilai estetis. Aktor, sebagai alat utama harus mampu menciptakan realitas keseharian yang  wajar menjadi realitas panggung atau kewajaran kedua berdasarkan tuntutan realitas naskah. Misalnya marah dalam keseharian dengan marah di atas panggung tidak mesti sama sekalipun tuntutan bobotnya sama. Tetapi ada takaran dan batasan yang harus ditimbang berasarkan pada nilai estetika. Wajar, sebagamana realitas keseharian yang wajar pula.

Jadi, antara realitas keseharian dan realitas panggung harus bisa dibedakan. Sebab, peristiwa panggung berkaitan dengan nilai estetis, sementara peristiwa keseharian mengalir begitu saja. Di sinilah perlu adanya kontrol atas penciptaan citra dan penghayatan cerita. Aktor perlu mengontrol emosi atau rasa atas segala peristiwa yang berlangsung di atas panggung. Ia tidak semata-mata menyampaikan marah sebagai marah, atau sedih sebagai sedih. Namun harus menyampaikan marah sebagai “marah,” atau sedih sebagai “sedih,” tidak lebay namun tetap wajar dan estetis.

Pada pentas Orang Kasar yang dipentaskan Teater Embun dari SMAN 5 Depok, masih banyak terjadi tabrakan antara realitas keseharian dan realitas panggung. Para aktor belum mampu membedakan antara kewajaran keseharian dan kewajaran kedua dengan baik. Rata-rata para aktor masih kurang kontrol, kurang tenang, dan belum memiliki daya selektif yang baik dalam menimbang dan menyampaikan realitas keseharian menjadi realitas panggung. Sehingga masih jauh untuk mencapai akting berparadigma.

Akting berparadigma -istilah Ken Zuraida- adalah presentasi aktor atas tokoh-tokoh yang ia perankan. Aktor mempresentasikan perasaan, pikiran, gerak tubuh, dan realitas tokoh di dalam naskah menjadi tokoh yang tercitra dalam diri aktor di atas panggung.  

 

 

Kegelisahan kita

Di tengah kegelisahan menyaksikan kecenderungan remaja masakini yang terjebak dalam realitas dunia ketiga, mereka masih mampu meluangkan waktu untuk berlatih, berkomunal, berorganisasi dan menhayati keindahan hidup melalui seni. Mereka adalah generasi yang masih percaya, bahwa dengan berteater, mereka masih bisa belajar memaknai dan menghayati hidup melalui naskah drama yang dimainkan ketimbang terbawa dan tergerus arus dunia ketiga yang makin mengancam jiwa-jiwa manusia.

Juga, ditengah kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini yang kurang berpihak kepada pelajaran atau pendidikan yang berdasarkan pada budi, SMAN 5 Depok masih meberikan ruang yang sedikit lebih lebar untuk mengasah budi dan pekerti selain melaui pelajaran agama yang melulu menyodorkan dogma. Bukankah seni dan agama adalah dua mata koin penjaga keseimbagan tata nilai hidup?

Saya tidak mesti kecewa atas pementasan yang kurang menarik. Terlepas dari segala macam kekurangan Orang Kasar Teater Embun, mereka adalah generasi yang sedang menempuh jalan panjang menuju kewajaran kedua, yakni kesadaran atas nilai-nilai estetis yang didapat dari penghayatan dan pengalaman atas realitas keseharian para awak Teater Embun dan diolah melalui kesenian.

BRAVO!!!   TEATER EMBUN!! Semoga menjadi generasi yang berbudi tinggi. Mampu menjadi generasi bijak yang mampu mempraktikan kewajaran kedua sebagai salah satu seni tertinggi dalam hidup.

Terimakasih untuk SMAN 5 Depok, juga Sekolah lain yang membolehkan dan mendukung acara-acara kesenian disekolahnya. Semoga dengan begitu, sekolah sebagai lembaga pendidikan mampu menciptakan generasi baru yang lebih hebat, serta bijak dalam bertindak!!!

 

Salam

Aku Cinta Padamu

 

Angin Kamajaya

5 comments:

michelle said...

Numpang promo ya Admin^^
ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
dengan minimal deposit hanya 20.000 rupiah :)
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- GOPAY
- Link AJA
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.IONPK.ME (k)
add Whatshapp : +85515373217 x-)

Annas said...

Hadir pakk

Muhammad Irfan Ayyubi said...

Ada pertanyaan yang ingin saya kemukakan:

Akting berparadigma -istilah Ken Zuraida- adalah presentasi aktor atas tokoh-tokoh yang ia perankan. Aktor mempresentasikan perasaan, pikiran, gerak tubuh, dan realitas tokoh di dalam naskah menjadi tokoh yang tercitra dalam diri aktor di atas panggung. Apakah akting ber paradigma ini hanya ada di atas panggung?

Kesuksesan pelakon atas lakon apakah berkaitan dengan akting berparadigma atau kemudian menjadi kesadaran atas nilai-nilai estetis yang didapat dari penghayatan dan pengalaman atas realitas keseharian.
Karena jika pelakon baik di dalam dan luar panggung berbeda itu seperti kita punya ilmu tapi tidak kelaku, padahal, kata pepatah Jawa, Ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Nyatanya jika kita mengenal beberapa pelakon/seniman yang justru dalam realitas kurang menghayati nilai yang mereka bawakan dalam karya seni, justru agaknya bukankah berbahaya? Sebab dalam tulisan ini disinggung; "Bukankah seni dan agama adalah dua mata koin penjaga keseimbangan tata nilai hidup?"

Ataukah estetika hanya mengajarkan keindahan tanpa mengetengahkan etika? Bagaimana menurut pendapat bapak?

Zaky Mubarok said...

terimakasih sudah berkunjung --- pertanyaan berat --- ya, mestinya akting berparadigma tidak hanya di atas panggung. Tapi ada juga beberapa pemeran, yang hanya mempelajari kehidupan untuk kepentingan aktingnya --- dan kemudian setelah keluar dari panggung, ia kembali ke realitasnya. sampai di sini, berarti ia mempelajari realitas hanya untuk kepentingan akting saja --- tidak untuk kepentingan hidupnya dan ia hayati dalam hidupnya.

tapi jika kita amati presiden ukraina, ia salah satu yang berhasil menerapkan nilai-nilai yang ia pelajari selama melakukan pemeranan dan ia lakukan untuk hidupnya sehari-hari juga --- kkkk

bagi saya, estetika selalu muncul setelah etika --- pencapaian tertinggi estetika adalah setelah melewati serangkaian tingkatan etika tertentu.

oh iya, kembali ke soal pengahayatan akting jika kemudian dihayati juga dalam keseharian, kemungkinan ada yang menjadi berbahaya, misalnya ia memerankan pemerkosa.
tentu hal semacam ini kemudian harus ditimbang ulang nilainya.

Rizky Khoirul Fahri said...

Terimakasih pak atas materinya