Monday, May 31, 2010

MAYA

-->
Sebagai lelaki. Aku kira wajar jika terobsesi dan tergila-gila sama yang namanya perempuan. Mendambakan mendapatkan bidadari yang akan melayani dan menjadi hiasan matanya suatu hari nanti. Aku kira perempuan juga sering melakukan hal yang sama. Membayangkan seorang pangeran datang menjemputnya sebagai pengantin, berkendaraan BMW, berpakaian serba mahal dan berpenghasilan cukup. Cukup buat jalan-jalan keliling dunia saat liburan tiba, cukup buat beli pulau saat tua ingin bertani, cukup untuk membeli perlengkapan dan perbendahaaraan rumah untuk lima belas turunan. Mungkin hanya sedikit lelaki dan perempuan yang tidak berpikiran kesana. Tidak pernah ada masa depan dalam mimpi. Ia mengalir seperti air. Mengikuti alirannya.
Sudah hampir tiga bulan, sejak kenal dengan dunia maya, pekerjaanku hanya mencari wanita. Motifasi awalnya hayalah ingin berkenalan kemudian mengkoleksi foto-foto cantiknya sebagai hiasan monitor, dan menjagaku tidur saat rasa ngantuk tiba. Tapi motifasi ini berkembang kemudian. Sejak mengenal Mirna, gadis pesbuk yang hampir punya kelakuan mirip denganku – online 20 jam dan makan mengandalkan jasa deliveri - dan membuat hidupku semakin berirama.
Awalnya aku ragu, bahwa ia adalah wanita betulan. Sebab di foto profilnya ia memakai foto salah satu ikon seks negri ini. Ow-ow-ow...biasa aja kali - Sampai kemudia akhirnya ia mau mengirimkan foto dirinya sendiri tapi tidak lewat pesbuk, melaikan melalui jaja operator seluler dengan MMSnya. –oh terimakasih teknologi, karena kau duniaku semakin berirama- itu pun dengan susah payah dan persuasi yang berdarah-darah di pesbuk agar dia mau ngasih foto dan beralih komunikasi dengan ku hanya lewat telepon saja. Biarlah pesbuk hanya mencatat apa yang aku pikirkan…-98% aku nulis status ga pernah asli…wkwkwkwkwk …-
Pesbuk, telpon, internet, membuat hidupku berirama… semakin berirama dan akhirnya sampailah pada irama tertinggi. Aku dan Mirna merencanakan pertemuan. Aku sebetulnya tak yakin, sebab bisa saja foto yang dia kirimkan waktu itu juga bukan foto dirinya. Stttt… Jangan tanya seperti siapa…sebab akan membuat kalian menginginkannya…hey tak usah begitu tatapannya…biasa aja dong…oke-oke…aku ceritakan seperti apa dia.
Mirna, gadi sunda keturunan. Ya kira-kira wajahnya mirip dengan salah satu foto model Mystique Magazine Katia Corriveau. Tau? Kalau engga liat aja sendiri. Memang tak begitu cantik, tapi bagi ku menarik. Dengan tingggi 5.4’’ dan measurement 34b, 21, 34 sering membuat mimpiku indah dan mau tidak mau harus mandi selalu ketika bangun. Ngompol enak gw...hehehehe…
Akhirnya, kami pun bertemu. Coba anda tebak, seperti siapa? Apa foto yang dia kirim itu betul-betul betul dirinnya atau bukan? Tebakan anda salah…itu bukan foto dirinya. Tapi foto sepupunya di Canada sana. Dia sengaja dan alasannya bagiku masuk akal. Mirna..... Lebih cantik dari foto yang ia kirim. Tuhan terimakasih kau perkenalkan aku pada dunia maya dan kemahiran teknologi. Tapi juga aku sangat menyesal, tidak menggunakannya dengan bijak dan membuatku terjebak.
Mirna datang ke kamar, saat tulisan ini di buat. Ini kedatangannya yang ke tiga kali. Seperti biasannya. Masuk kamar dan langsung berbaring di kasur tanpa banyak bicara. tapi yang ketiga ini lebihn dahsyat. Mirna tak berbaring lagi, tapi bersandar di bahuku lalu memelukku erat. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan dan apa yang akan dia lakukan jika aku masih tak meresponnya. Bebanku saat ini hanya satu, aku kuliah sudah tujuh tahun dan sudah mendapat surat pangilan dari rektor. Tapi aku tahu betul apa yang akan dikatakan Mirna. Tapi aku belum lulus. Persetan dengan kelulusan. Aku mencintai Mirna.
Dunia maya ini membuat hidupku berirama. Mirna memelukku semakin erat. Aku tahu, dari tadi air matanya sudah membasahi bahuku. dunia maya ini juga yang akhirnya menyadarkannku harus kembali pada dunia nyata.
“Baiklah. Kita menikah bulan depan. Nanti kalau permpuan namanya Maya, kalau lakilaki namanya Lana” Ucapku.

Friday, May 28, 2010

NGACAPRUK I JAMURESI #2

Lima belas tahun yang lalu. Ketika sore tiba, semua pintu dan jendela harus sudah terkunci. Kemudian mulailah menyalakan lampu-lampu tempel. Tiap ruangan mendapat satu lampu. Tiap lampu bertahan sampai menyala sampai sampai subuh tiba. Hiburan yang paling menyenangkan di kala malam hari satu-satunya adalah menyalakan radio kemudian mendengarkan dongeng Mang Jaya dari Stasiun Linggarjati. Sambil mengerjakan tugas sekolah atau menjelang tidur. Ini biasannya aku lakukan bersama keluarga.

Tahun 1996, masa-masa itu berakhir, dan nyaris semuanya berahir. Ketika belum masuk listrik, aku masih bisa ingat, di kampungku ada kesenian warga yang bernama ‘Gembyung’. Tetabuhan pengiring marhabaan atau orang membaca al-barjanji. Di Tasik ada yang mirip, mungkin ‘Terbang’. Alat-alatnya terbuat dari batang pohon aren. Jumlah alatnya kurang lebih ada enam buah. Sayang, hal itu tidak bisa dilestarikan. Menghilang ditelan waktu dan peralihan peradaban. Juga beberapa kegiatan yang lainnya sudah punah.

Kampungku saat ini sudah beruba. Bukan hanya tatanan sosialnya saja, tetapi juga pada pola dan cara pandang warga terhadap kemajuan. Aku melihatnya, beberapa warga cenderung berfikir bahwa kemajuan haruslah ditandai dengan benda-benda dan cara hidup yang hampir mirip dengan orang kota. Tiba-tiba terbius ‘tipi’, motor, hanphone, dan cara berpakaiaan ala orang kota yang menurutku kadang-kadang seperti kekurangan bahan. Hehehhe…

Sejauh ini aku bersyukur, bahwa aku pernah mengalami hidup di tempat yang belum menggunakan listrik dari pemerintah. Sebelunya di kampungku sempat punya generator sendiri, cukup untuk menerangi se-kampung, tapi tak bisa dipakai untuk menyalakan ‘tipi’, dan barang elektronik yang lainnya. Dinyalakannya pun hanya ketika menjelang malam tiba. Sekarang sudah terganti dengan listrik dari pemerintah yang bisa dipakai apa saja.

Juga aku merasa sedih. Sebab ketika listrik masuk, permainan anak-anak di masaku hilang. Sekarang aku jarang melihat anak-anak berlarian di jalan atau di halaman madrasah bermain Bentengan, Tekong, Bancakan, Ucing Sumput, Pecle (taplak payung), gatrik, kumpul bareng membuat motor-motoran dari sandal, membuat mobil-mobilan dari kayu atau kaleng…semua kreatifitas itu tergilas dan hilang. Sekarang mereka bermain bersama hanya untuk menonton Doraemon, Power Rangers, Ipin-upin, Naruto…yang semuanya produk luar.

Ke mana Bawang Merah dan Bawang Putih, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Malin Kundang, Sangkuriang, Timun Mas, Danau Toba? Ke mana mereka? Apa tinggal dalam buku saja di sekolah dasar?

Mungkin tidak hanya di kampungku saja hal ini muncul. Juga di tempat anda. Kenapa semuanya menjadi west oriented? Apa karena kita pernah dijajah? Apa karena kita disebut Negara berkembang…sampai-sampai harus berkembang terus lalu lupa tangkai dan pohonnya?... Memang, kepribadian tiadalah yang asli. Semuanya adalah bentukan. Bentukan dari ruang dan waktu. Tapi bangsa ini sudah punya kepribadian sebelum orang barat datang ke sini.

Berkembang sajalah terus. Sampai menemukan yang paling pas menurut pribadi kita. Tapi kalau terus-terusan mencari, kita tidak pernah punya kejelasan dan ketegasan. Pada orang lain, juga pada diri kita sendiri. Kita hanya akan tahu dan akan selalu menjawab masih mencari. Prilaku sederhananya terlihat dalam bercanda sehari-hari, coba perhatikan, dalam candaan kadang-kadang terlontar ungkapan “Siapa lho?” pertannya sederhana. Tetapi untuk menjawabnya sangat lama, malahan kadang-kadang terdiam. So misterius, apa memang tak sanggup menjawab karena tidak tahu siapa diri kita?

Satu contoh sederhana lagi. Saya pernah menguping teman saya menelepon ketika masih remaja. Dia mencoba menelepon wanita idamannya. Kebetulan yang menerima telepon itu adalah kakanya. Sudah selayanknya dari seberang bertanya “Mau bicara dengan siapa? Ini dari siapa?” pertanyaan pertama terjawab dengan mudah karena obyeknya jelas. Tapi pertanyaan kedua, jawabanya menjadi berbelit, “dari temannya.” Jawab temanku. Kemudian orang di seberang bertanya lagi, “Iya, tapi temannya punya nama bukan.” “Grekkk…” jawaban temanku itu adalah dengan menutup gagang telepon sambil menggerutu “galak banget sih.”

Padahal, gampangnya temanku tinggal menyebutkan nama saja. bukankah ia juga punya nama seperti wanita idamannya tadi yang ia jawab dengan mudah. Tapi kenapa ketika ia ditanya nama, ia tak menjawab dengan langsung. Aku kira, ini pertanda bahwa ada yang belum berhasil dari metode pendidikan di negeri ini. (berat kaliii)…. Sampai kepada hal kecil seperti itu menjadi sangat sulit. Menyebut nama sendiri saja sulit. Bagaimana meneyebut nama ayahnya, pak RT di tempat ia tinggal, keadaan sekitar rumahnya… ini seharusnya menjadi pekerjaan dasar para pendidik di Negara kita tercinta ini. Tidak hanya melulu mengejar world classinternational standard, tanpa mengkokohkan pondasi terlebih dahulu.

Bagaimana mau tau modern, klasiknya saja di lompat…apa lagi post-modern

2010,
Ciputat