Kenapa
manusia Indonesia, dunia pada umumnya, tanpa disadari diseret paksa namun halus
untuk bisa berbahasa Inggris? Padahal, tentu saja, setiap manusia Indonesia
bukan dan tidak semua keturunan Inggris atau Eropa atau Amerika. Tapi kenapa
harus bisa berbahasa Inggris? Bukan bahasa India, atau Cheko, atau Findlandia,
atau Arab misalnya? Apakah kesadaran manusia, saya atau anda sedang tinggi?
Sehingga merasa perlu dan harus bisa berbahasa Inggris guna bisa bertukar
pendapat dengan manusia di luar Indonesia? Ataukah memang kesadaran kita sudah
rusak sehingga tanpa kita sadari bahwa yang kita anggap berkembang dan maju
adalah salah satu bentuk kekalahan kebudayaan?
Secara
tidak langsung, seluruh umat manusia di dunia ini, diseret untuk menggunakan
bahasa Inggris dan mendorongnya menjadi bahasa persatuan dunia. Diketahui atau
tidak, sudah ada beberapa negara yang menjadikan bahasa inggris sebagai bahasa
nasional kedua di negaranya. Sebenarnya, untuk ukuran berkembang baik-baik
saja. Sebab sesuatu yang berkembang harus mampu masuk dan menerima segala
kondisi perubahan dan tuntutan zamannya masing-masing. Tapi sungguh disayangkan
jika Bahasa Indonesia yang jelas-jelas bahasa nasional yang lentur dan mampu
dengan cepat menyerap bahasa dari luar lema rumpun bahasa Nusantara, menjadi
bahasa kelas dua di tanahnya sendiri.
Sebagai
contoh, yang paling sederhana, di beberapa perusahaan atau lembaga nasional,
atau lembaga pemerintah menyaratkan kepada pegawai dan calon pegawainya untuk
bisa berbahasa Inggris, bahkan beberapa meminta bukti surat keterangan
kemahiran berbahasa Inggris sebagai pengguna asing setara dengan penutur asli.
Sementara untuk bahasa negara sendiri (Bahasa
Nasional: Bahasa Indonesia) tidak diminta syarat apapun atau minimal ada
permintaan nilai minimum bahasa Indonesia. Padahal tidak semua warga negara
Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar sesuai dengan dasaran atau acuan baku nasional. Di Jakarta misalnya,
manusia Jakarta hampir sebagian besar merasa sudah berbahasa Indonesia, padahal
tidak. Bahkan yang paling miris masih banyak warga negara Indonesia, wartawan,
penulis, juga aparat pemerintah yang tidak bisa menggunakan kata bila dan jika dengan tepat. Ini sungguh disayangkan.
Saya pikir,
anggapan negara terhadap warganya terlalu baik. Negara, khususnya lembaga
bahasa memiliki anggapan bahwa manusia Indonesia sudah berbahasa Indonesia
dengan benar. Seharusnya Negara, atau pemerintah, atau kementrian pendidikan,
atau lembaga bahasa membuat kebijakan atau peraturan, bahwa setiap warga negara
Indonesia harus sanggup dan bisa berbahasa Indonesia setara dengan nilai 8
dalam skala 10.
Memang,
sudah ada usaha dari pemerintah, yakni menyelenggarakan Uji Kemahiran Bahasa
Indonesia atau UKBI, namun usaha ini masih terbilang lemah. Selain pemberitahuan
yang tidak merata, juga tidak ada perintah yang serentak. Seharusnya, negera
memerintahkan, kepada setiap Instansi, lembaga atau perusahaan yang berada di
Indonesia mewajibkan calon pegawainya memiliki surat keterangan kelayakan atau
kemahiran berbahasa Indonesia. Bukan sebaliknya, setiap perusahaan bahkan lembaga
pemerintah sendiri malah meminta surat keterangan berbahasa Inggris setara
penutur asli!
Sebenarnya,
yang waras siapa, yang memakai alat paling canggih tetapi tidak berbaju, atau
yang berusaha berbaju dengan benar sambil mengikuti alat paling mutakhir?
*renungan
rusuh sambil menikmati kopi dan sakit gigi….selamat pagi…jangan lupa ngopi
supaya tetap waras… :-P