Friday, May 28, 2010

NGACAPRUK I JAMURESI #2

Lima belas tahun yang lalu. Ketika sore tiba, semua pintu dan jendela harus sudah terkunci. Kemudian mulailah menyalakan lampu-lampu tempel. Tiap ruangan mendapat satu lampu. Tiap lampu bertahan sampai menyala sampai sampai subuh tiba. Hiburan yang paling menyenangkan di kala malam hari satu-satunya adalah menyalakan radio kemudian mendengarkan dongeng Mang Jaya dari Stasiun Linggarjati. Sambil mengerjakan tugas sekolah atau menjelang tidur. Ini biasannya aku lakukan bersama keluarga.

Tahun 1996, masa-masa itu berakhir, dan nyaris semuanya berahir. Ketika belum masuk listrik, aku masih bisa ingat, di kampungku ada kesenian warga yang bernama ‘Gembyung’. Tetabuhan pengiring marhabaan atau orang membaca al-barjanji. Di Tasik ada yang mirip, mungkin ‘Terbang’. Alat-alatnya terbuat dari batang pohon aren. Jumlah alatnya kurang lebih ada enam buah. Sayang, hal itu tidak bisa dilestarikan. Menghilang ditelan waktu dan peralihan peradaban. Juga beberapa kegiatan yang lainnya sudah punah.

Kampungku saat ini sudah beruba. Bukan hanya tatanan sosialnya saja, tetapi juga pada pola dan cara pandang warga terhadap kemajuan. Aku melihatnya, beberapa warga cenderung berfikir bahwa kemajuan haruslah ditandai dengan benda-benda dan cara hidup yang hampir mirip dengan orang kota. Tiba-tiba terbius ‘tipi’, motor, hanphone, dan cara berpakaiaan ala orang kota yang menurutku kadang-kadang seperti kekurangan bahan. Hehehhe…

Sejauh ini aku bersyukur, bahwa aku pernah mengalami hidup di tempat yang belum menggunakan listrik dari pemerintah. Sebelunya di kampungku sempat punya generator sendiri, cukup untuk menerangi se-kampung, tapi tak bisa dipakai untuk menyalakan ‘tipi’, dan barang elektronik yang lainnya. Dinyalakannya pun hanya ketika menjelang malam tiba. Sekarang sudah terganti dengan listrik dari pemerintah yang bisa dipakai apa saja.

Juga aku merasa sedih. Sebab ketika listrik masuk, permainan anak-anak di masaku hilang. Sekarang aku jarang melihat anak-anak berlarian di jalan atau di halaman madrasah bermain Bentengan, Tekong, Bancakan, Ucing Sumput, Pecle (taplak payung), gatrik, kumpul bareng membuat motor-motoran dari sandal, membuat mobil-mobilan dari kayu atau kaleng…semua kreatifitas itu tergilas dan hilang. Sekarang mereka bermain bersama hanya untuk menonton Doraemon, Power Rangers, Ipin-upin, Naruto…yang semuanya produk luar.

Ke mana Bawang Merah dan Bawang Putih, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Malin Kundang, Sangkuriang, Timun Mas, Danau Toba? Ke mana mereka? Apa tinggal dalam buku saja di sekolah dasar?

Mungkin tidak hanya di kampungku saja hal ini muncul. Juga di tempat anda. Kenapa semuanya menjadi west oriented? Apa karena kita pernah dijajah? Apa karena kita disebut Negara berkembang…sampai-sampai harus berkembang terus lalu lupa tangkai dan pohonnya?... Memang, kepribadian tiadalah yang asli. Semuanya adalah bentukan. Bentukan dari ruang dan waktu. Tapi bangsa ini sudah punya kepribadian sebelum orang barat datang ke sini.

Berkembang sajalah terus. Sampai menemukan yang paling pas menurut pribadi kita. Tapi kalau terus-terusan mencari, kita tidak pernah punya kejelasan dan ketegasan. Pada orang lain, juga pada diri kita sendiri. Kita hanya akan tahu dan akan selalu menjawab masih mencari. Prilaku sederhananya terlihat dalam bercanda sehari-hari, coba perhatikan, dalam candaan kadang-kadang terlontar ungkapan “Siapa lho?” pertannya sederhana. Tetapi untuk menjawabnya sangat lama, malahan kadang-kadang terdiam. So misterius, apa memang tak sanggup menjawab karena tidak tahu siapa diri kita?

Satu contoh sederhana lagi. Saya pernah menguping teman saya menelepon ketika masih remaja. Dia mencoba menelepon wanita idamannya. Kebetulan yang menerima telepon itu adalah kakanya. Sudah selayanknya dari seberang bertanya “Mau bicara dengan siapa? Ini dari siapa?” pertanyaan pertama terjawab dengan mudah karena obyeknya jelas. Tapi pertanyaan kedua, jawabanya menjadi berbelit, “dari temannya.” Jawab temanku. Kemudian orang di seberang bertanya lagi, “Iya, tapi temannya punya nama bukan.” “Grekkk…” jawaban temanku itu adalah dengan menutup gagang telepon sambil menggerutu “galak banget sih.”

Padahal, gampangnya temanku tinggal menyebutkan nama saja. bukankah ia juga punya nama seperti wanita idamannya tadi yang ia jawab dengan mudah. Tapi kenapa ketika ia ditanya nama, ia tak menjawab dengan langsung. Aku kira, ini pertanda bahwa ada yang belum berhasil dari metode pendidikan di negeri ini. (berat kaliii)…. Sampai kepada hal kecil seperti itu menjadi sangat sulit. Menyebut nama sendiri saja sulit. Bagaimana meneyebut nama ayahnya, pak RT di tempat ia tinggal, keadaan sekitar rumahnya… ini seharusnya menjadi pekerjaan dasar para pendidik di Negara kita tercinta ini. Tidak hanya melulu mengejar world classinternational standard, tanpa mengkokohkan pondasi terlebih dahulu.

Bagaimana mau tau modern, klasiknya saja di lompat…apa lagi post-modern

2010,
Ciputat


Thursday, May 20, 2010

BINTANG DUA DUNIA

BINTANG DUA DUNIA

Sejak beradu pandang dengan seorang Wanita bercadar, Ridwan seperti terbius olehnya. Hamper setiap malam tatapan Wanita itu seperti menghantui. Datang dalam setiap mimpi. Tatapan penuh harapan dan menggoda. Sesekali Ridwan mencoba menepis tatapan itu. Tapi semakin lama semakin kuat dalam ingatan. Seolah merayu, seolah meminta Ridwan untuk menemuinya.
Aku tak mau tergoda. Lagi pula wajahnya tak kelihatan. Tapi aku yakin betul, sorot matanya jelas berbicara padaku. Coba saja, aku akan cari tahu. Siapa tahu anugrah dari tuhan. Kata orang, wanita seperti itu kalau langsung dilamar suka langsung nyantol. Tapi aku belum tahu wajahnya gimana ya? Piker Ridwan dalam setiap lamunannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mencari Wanita itu setelah merasa lelah dan terganggu dengan sorot mata Wanita bercadar yang sebulan lalu beradu tatap di tangga kampus.
Pada hari yang sama seperti ketika ia bertemu dengan Wanita itu. Ridwan menunggu Wanita itu keluar dari gedung. Menjelang sore, yang ia tunggu akhirnya muncul. Berjalan menuju jalan raya kemudia menaiki salah satu angkutan di depan kampus. Ridwan menguntitnya dengan sepeda motor. Sampai akhirnya Ridwan mengetahui tempat tinggal si Wanita. Tapi ia tak mau terburu-buru. Salah salah Wanita itu hanya menemui seseorang di sana karena ada keperluan.
Sudah hamper jam sepuluh malam. Ridwan masih menunggu di warung yang bisa melihat pintu keluar susun. Tapi dari rumah susun yang Ridwan pantau tak satupun Wanita bercadar keluar dari sana. Sementara ia merasa lega. Sebab satu persoalan sudah selesai. Ia mengetahui tempat tinggal Wanita yang tatapan matanya selalu mengganggu tidurnya.
Ridwan meninggalkan rumah susun dengan perasaan lega. Hatinya sudah mulai berbunga-bunga. Dalam pikiranya muncul hal yang aneh-aneh. Hiburan dulu ah…sebelum tobat, dan mendampingi Wanita itu. Mari nikmati malam minggu dan penghabisan masa lajang. Gumamnya sambil membelokan motornya menuju sebuah diskotik di tengah Jakarta. Biasanya hamper tiap malam minggu Ridwan ke diskotik dengan teman-teman kampusnya, tepi sejak beradu tatap dengan Wanita bercadar sebulan yang lalu, malam minggu hanya ia habiskan untuk melamun di kamar.
“Ke mana aja tuan yang satu ini?” sapa seseorang pada Ridwan.
“He..he..he…ada kerjaan yang menyita weekend bro.” jawab Ridwan.
“Pekerjaan…apa…? dapet cantolan baru…ya bro?” sela seorang lagi.
“Ah…lu ada-ada aja men. Lu kan tau sendiri, gue baru bisa nyantol kalo ada yang bisa bikin gue ga bisa tidur sebulan…hehehehe.” Potong Ridwan sambil menyembunyikan apa yang sedang ia alami saat ini.
Lampu diskotik terus berkelip. Dj dan para pecandu dance makin menyatu dengan lantai dan alunan musik. Ridwan sejak dan kawan-kawannya masih duduk di pojok dengan minuman masing. Sesekali Ridwan menggeleng-gelengkan kepalanya, manggut-manggut mengikuti hentakan musik dan mengikuti pengaruh alcohol. Matanya berkeliling dari pojok ke pojok. Juga kelantai dansa tak terlewatkan. Sampai akhirnya matanya berhenti di satu titik. Ia melihat seorang Wanita sedang menari sendirian. Nampak sudah sangat mabuk. Dalam kepala Ridwan muncul kondom dan kasur. Ia tersenyum sendiri dan lupa pada tatapan mata Wanita bercadar.
“boy, yang itu siapa? Lo kenal? Gue baru lihat, kayaknya orang baru.” Tanya Ridwan kepada Aboy. Sambil menunjuk Wanita yang sedang asik dibawah pengaruh musik dan minuman keras.
“o…itu. Orang baru. Dia sering ke sini pas lo mulai ga ke sini. Hamper tiap malam.” Jawab aboy.
“begitu toh.” Sahut Ridwan sambil beranjak menuju Wanita yang sedang menari.
“kemana lo?” Tanya Aboy.
“Memangsa.” Jawab Ridwan seenaknya.
Lampu terus berkelip. Musik terus meng hentak. Sesekali Ridwan memeluk Wanita itu. Semakin erat. Semakin dekat.
________________________________***_________________________________
Sudah hamper dua bulan sejak malam itu Ridwan banyak mengurung diri di kamarnya. Jarang ke kampus. Sekalinya ke kampus, ia hanya mencari wanita bercadar. Juga jarang ia temui. Pernah ia susul ke tempat tinggalnya. Namun sudah tak ada. Sesekali ia ingat wanita dari diskotik malam itu. Wanita tercantik yang pernah ia temui. Seumur hidup Ridwan, malam itu begitu indah. Bisa bermalam dengan bidadari. Juga pernah ia cari ke tempat mereka menginap. Hasilnya sama. Sudah tidak ada. Rumah susun yang dikontrak si Wanita diskotik sudah kosong.
Gila. Aku bisa gila. Dua orang berbeda ada di satu tempat yang sama. Hanya kebetulan saja barangkali. Tapi, matanya kok sama ya? Akh…mungkin malam itu karena mabuk dan aku terbayang mata wanita bercadar, jadi mata si Wanita diskotik jadi mirip. Salahnya aku nggak minta nomor tu cewe. Emang biasanya begitu, ngapain langganan. Hehehe…Sudahlah. Itu namanya rejeki. Ngapain dipikirin bikin gila aja. Mending cari kegiatan lain di kampus. Tapi tetap saja Ridwan hampir tiap malam memikirkan hal yang sama.
_________________________________***_________________________________
Pada hari yang sama seperti ketika ia bertemu dengan Wanita bercadar. Ridwan tak sengaja bertemu lagi. Wanita itu keluar dari gedung. Berjalan menuju Ridwan yang sedang asik nongkrong sambil menggoda mahasiswi-mahasiswi yang pulang kuliah.
“Temui aku malam ini.” Kata si Wanita bercadar, sambil memberikan sehelai kertas. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Ridwan.
Sepeninggalan Wanita bercadar itu, Ridwan seperti kena hipnotis. Dia mematung. Terbius oleh suara wanita bercadar yang selama ini matanya menggangu tidur Ridwan. Setelah wanita itu hilang dari pandangan, barulah ia membaca kertas yang diberikan si Wanita. Alamat tempat tinggal rupanya. Rumah susun lagi. Dan kenapa mesti malam ya? Ah peduli amat…temui saja, barangkali dengan begini aku bisa tenang dan matanya tak lagi mengganggu tidur. Gumam Ridwan sambil tersenyum sendiri.
Ridwan menyusuri jalan dengan motornya. Sepanjang jalan ia tak berhenti berpikir dan berbicara dengan dirinya sendiri. Sesekali ia merasa ketakutan, jangan-jangan sampai di sana minta di kawin. Jangan-jangan sampai di sana aku disumpah dan di suruh masuk golongongan mereka. Akh…kalau memang sudah waktunya, tak apa. Kawin saja.
Sesampainya di tempat tujuan. Wanita itu sudah menunggu di tengah rumah. Di rumah susun itu ia hanya tinggal sendiri. Cukup bersih dan indah, dihiasi perabotan dan aksesoris ruangan mempercantik rungan tempat mereka bertemu. Ridwan masih asik mengelilingkan matanya keseluruh ruangan. Tiba-tiba mata Ridwan berhenti di satu titik. ada lukisan yang membuat Ridwan bingun, dan mengerutkan dahi, ia merasa seperti pernah melihatnya. Tapi ia lupa, di mana.
“Kenapa? Ada yang aneh?” Tanya si Wanita memulai.
“e…tidak, tapi aku sepertinya pernah meliha yang satu itu, sepertinya belum begitu lama tapi aku lupa di mana.” Jawab Ridwan. Matanya masih menatap lukisan, dan pikirannya mencoba mengingat di mana ia pernah melihatnya.
“ Kalau yang ini pernah lihat juga?”
“Jangan menggodaku, aku sedang mengingatnya di mana. Sebentar saja.” kata Ridwan.
“Lihat dulu ke sini.” Kata si perempuan sambil membuka cadar dan kerudungnya.
Ketika melihatnya. Ridwan tak bicara. Bahkan nyaris mematung. Bagaimana tidak ada perempuan berkerudung dan bercadar rela memperlihatkan wajahnya tanpa diminta. Bagi ridwan, wajahnya mengalahkan Maria Ozawa dan Leah Dizon yang sering ia tonton, apa lagi Pamela Anderson…lewat. Ridwan lebih terkejut lagi, ketika menyadari bahwa yang ia lihat adalah Richa perempuan malam yang ia temui dua bulan yang lalu. Perempuan yang juga mengganggu tidurnya.
“Ya, ini aku. Richa. Itu adalah nama malamku. Namaku Marisa Juliana. Aku jatuh cinta padamu sejak kita beradu tatap tempo lalu di tangga. Senyummu tak bisa lepas dari ingatannku. Tidurku terganggu bayangan wajahmu. Tapi aku tak bisa mencarimu. Kamu jarang kuliah dan aku tak tau siapa kamu. Perkenalan dan pertemuan kita di diskotik adalah kebetulan. Tapi mungkin itu jalannya cinta. Makannya ketika kamu mendekatiku, aku langsung menyambutmu. Aku adalah orang yang tak perduli dengan cinta karena tak mau ribet karenanya. Sebab untuk hidup saja aku memiliki jalan yang tak umum. Aku kupu-kupu malam. Tapi pertemuan denganmu memberikan aku harapan, dan menyadarkan aku bahwa cinta itu ada dan indah. Dan malam itu adalah malam terakhirku sebagai kupu-kupu malam. Aku sudah meninggalkannya, sekalipun di sana apa saja bisa aku dapatkan. Jangan pernah bertanya kenapa menjalani dua dunia yang berbeda. Cuma alasan sederhana yang bisa aku katakan. Aku tidak ingin orang tahu siapa aku. Sebab sejak kecil, aku tidak punya siapa-siapa. Aku begitu karena aku kuliah di tempatmu. Di sana semua perempuan berkerudung. Aku hanya mengitkutinya saja tapi belum bisa meninggalkan dunia malamku. Dan malam itu, aku ingin mengakhirinya, dengan tekad aku akan mencarimu. Lalu dengan mudah kau merapat dan mendekat. Tapi tetap saja, meski malam kita lewati sampai pagi, aku belum tau kamu. Aku terlalu mabuk, ketika bangun kamu sudah tak ada. Setelah malam itu aku pindah, karena sudah tak ingin menerima tamu dan dicari laki-laki hidung belang, aku ingin mencarimu. Ternyata, tuhan memberikan kemudahan lagi bagi yang ingin berubah. Ridwan, malam ini aku ulang tahun. Aku memintamu datang ke sini karena aku ingin kamu menemaniku dan aku ingin kamu tahu, bahwa aku jatuh cinta padamu. Itu saja, sekarang hatiku sudah lega apapun akhirnya.”
Ridwan tak berkata apapun. Dia hanya diam. Sebagai lelaki, di hadapkan pada wanita seperti itu ia merasa menjadi melankolis. Pikiran dalam kepalanya tiba-tiba menjadi rumit. Ketakukan sejak di jalan terjadi juga. Hampir satu jam. Mereka tak berkata-kata. Keduanya bingung dengan pikiran-pikirannya sendiri. Sesekali bertatap-tatapan, sesekali hanya memandang ke arah jendela dan pintu kamar. Ruang tengah terasa hening. Hanya suara-suara taak jelas dari luar dan bawah rumah susun yang terdengar.
“Ridwan, ngomong dong…kamu mikirin apa sih?” Tanya Richa memecah kesunyian.
Ridwan hanya menatap Richa. Tak banyak bicara. Lalu Ridwan menggendong Richa ke kamar. Sambil berbisik, “Minggu depan aku akan melamarmu.”

2010,
Ciputat

Friday, May 14, 2010

Kesempatan Kedua

KESEMPATAN KEDUA
__________________________(Zaky Mubarok)


Pagi sudah hampir tiba lagi. Lagi-lagi terulang. Terulang, dan terulang lagi. Membiarkan mata terbuka, sampai matahari tiba di jendela. Akh…aku benci suasana ini. Gumam Lisna dalam hatinya. Tapi tetap saja, dia tak juga memejamkan matanya, meski tubuhnya dari tadi sudah terbaring di kasur. Pikiran dan perasaannya masih berkeliling entah di mana. Sesekali dia tersenyum, sesekali berang pada dirinya sendiri. Sudah hampir dua minggu. Ia memikirkan hal yang aneh-aneh dan sudah lama tak ia rasakan. Mungkin perasaan-perasaan seperti remaja. Pernah sekali ia rasakan, sudah lama sekali dan berakhir dengan tragis. Lisna hampir saja mengakhiri hidupnya. Dari situlah dia tak mau lagi kedatangan cinta dengan minyibukkan dirinya pada pekerjaan.

Jangan-jangan aku jatuh cinta. Tidak, aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Dia terlalu muda untukku dan aku belum begitu mengenalnya. Dia juga belum tahu, kalau aku lebih tua darinya Sembilan tahun. Akh…apa benar, aku sudah tua? Gumamnya gusar. Kemudian Lisna mengambil cermin kecil dari meja riasnya. Ia perhatikan wajahnya. Sesekali ia kerutkan keningnya. Lalu tersenyum sendiri. Kemudian ia mengambil Hp-nya. Ia buka foto-foto, lalu ia perhatikan foto Angga. Ditatapnya lama sekali. Menggeleng-gelengkan kepala. Sekali ia mengangguk-ngangguk juga, lalu tersenyum sendiri lagi. Sesekali ia baca lagi sms dari Angga.

Selain hujan dan angin, hanya suaramu saja yang bisa membuat kepalaku dingin dan perasaan di dada berhenti bergejolak. Terkadang aku ingin mendengar suara ombak terus-terusan mederu di telingaku. Lalu sesekali aku hempaskan tubuhku pada ombak dan membiarkannya terkulai di pantai. Ombak oh ombak, deburnya mewakili hujan, gemuruhnya menggantikan angin. Selain hujan dan angin, hanya suaramu yang sanggup meredam seluruh gejolak di jiwa ini. Inikah persaan cinta ?

Terus saja begitu sampai ia tertidur dan tak ingat apa-apa lagi.

Sepanjang ia tidur, Hp Lisna berdering berkali-kali. Tetapi ia tetap tertidur. Pulas. Barangkali karena ia sadar ini adalah adalah hari libur. Jadi, ia ingin tidur sepuas mungking, atau memang benar-benar kelelahan setelah kurang tidur selama berhari karena pikirannya sendiri.

Tengah hari. Lisna baru bangun. Lalu ia duduk di depan meja rias. Ia rapihkan rambutnya. Ia perhatikan lagi wajahnya. Seluruh tubuhnya. Lalu tersenyum sendiri. Masih cantik, tak terlalu tua. Aku sudah siap. Gumamnya penuh percaya diri.
Di kepalanya kini penuh dengan wajah Angga. Lisna mengambil Hpnya. Ia berniat mengajak angga bertemu hari ini. Niatnya seperti gayung bersambut. Di layar Hpnya ada enam panggilan tak terjawab dan sms dari Angga. Ia tersenyum-senyum sendiri. Mau teriak tapi takut mengganggu tetangtangga. Akhirnya ia hanya melompat-lompat di atas tempat tidur. Dengan perasan yang campur aduk Lisna membuka pesan dari Angga.

Lis, tadinya aku ingin ketemu kamu, tapi ku telpon tak diangkat terus. Ya sudah, aku ngerti. Mungkin kamu kelelahan oleh pekerjaanmu. Aku cuma mau ngasih tahu, hari ini aku berangkat ke Eropa. Aku ada kontrak kerja selama lima tahun. Tapi ada hal yang lebih penting dari itu, aku jatuh cinta padamu. Maukah kau menunggu untukku?

Lisna terdiam membatu. Ia berusaha teriak sekuatnya. Tapi ia tak mendengar suara apa-apa. Ia hanya merasakan pipinya basah, sambil berulang-ulang mencoba menghubungi Angga, tapi belum juga bisa tersambung. Pikirannya semerawut seperti kendaraan yang ada di jalan di depan rumahnya. Macet. Berantakan. Kusut. Ia hempaskan lagi tubuhnya di atas tempat tidur. Tuhan, apakah aku akan kuat menunggunya sampai umurku emapatpuluh tahun? Gumanya bimbang.

2010,
ciputat