Sunday, May 21, 2017

Leo Kristi dan Aku

Dulu...9 tahun yang silam saya terpesona pada syair Leo Kristi yang dimainkan Gue Randomgono dan Chandra Paradisa

sekarang, Leo Kristi telah pergi.
Selamat Jalan,

kau abadi di sanubari

Bulan Separuh Bayang


posted from Bloggeroid

Selamat Jalan Leo Kristi

LEO KRISTI 1949 - 2017 | Leo Imam Soekarno (kelahiran Surabaya, 8 Agustus 1949), dedengkot Konser Rakyat Leo Kristi, meninggal dunia di Bandung, 21 Mei 2017 ini.



Leo Kristi, Konser Rakyat dan Pemberontakan

Konser Rakyat Leo Kristi adalah pemberontakan itu sendiri. Pemberontakan rakyat. Sebuah konser rakyat yang sembada. Berdaya. Tak kalah mempesona dari berbagai repertoar Gregorian sekalipun.

Leo Kristi dengan KRLK adalah "grup musik" yang syair-syairnya bukan hanya teks, tetapi juga nada, sebagaimana teks itu adalah juga bunyi. Suara-suara Nusantara yang kaya-raya. Penuh kemarahan, sinisme, tapi juga cinta dan kemanusiaan.

Leo Imam Soekarno mengajari tentang pluralitas, toleransi, persaudaraan, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Terimakasih atas segala karya. Terimakasih telah menginspirasi. Terimakasih tetap berpihak pada kemuliaan jiwa. Dari Emmanuelle, Bandung, kudengar lamat SASL;

Serasa tak lagi ada kotor dan perang
Karena saat telah dekat jalan Tuhan

Solus Aegroti Suprema Lexest

Di lorong pedestrian tunduk melangkah
Lorong pedestrian, basah air mata

Solus Aegroti Suprema Lexest

Selamat Jalan Bung Leo


posted from Bloggeroid

Monday, May 15, 2017

MACBETH -BANALISME YANG DANGKAL-

Poster Macbeth dari taetertangga.org

MACBETH
-BANALISME YANG DANGKAL-

*Catatan nonton teater ala gue....Jangan lupa ngopi dulu biar gak kaku.... :p

Selama kurang lebih 3 jam menonton –Macbeth- Teater Tangga, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tadi malam (23/12/15), akhirnya saya punya oleh-oleh yang bisa saya bawa pulang ke rumah sebagai renungan dan bahan obrolan di rumah untuk beberapa hari.

Sebagai penonton, ini adalah perjuangan yang cukup melelahkan dan berat untuk bisa bertahan sepanjang pertunjukan. Daya tawar yang disampaikan kawan-kawan teater tangga masih hambar, Kurang liar, monoton dan dangkal. Pertunjukan tadi malam tidak memiliki ruh dan tidak memberikan pencerahan, yang akhirnya saya lebih suka melihat respon penonton lain yang ada di sekirar saya.

Alhasil, beberapa penonton di sekitar saya melakukan aktifitas sendiri ketimbang menonton atau menyimak Macbeth. Penonton yang tepat di samping saya meninggalkan gedung setelah pertunjukan berlangsung kurang lebih 15 menit. Sungguh, ini suatu tragedi yang dahsyat ketimbang tragedi tawaran Macbeth di atas panggung.

Kematian para aktor

Beberapa tawaran adegan yang dibuat oleh sutradara, hanya dilakukan sebagai penyelesaian kewajiban ber-akting oleh para aktor. Para aktor nampak kurang usaha memanfaatkan set. Terlebih tokoh Macbeth sebagai penguasa set panggung bagian belakang, kurang memanfaatkan “fasilitas rumahnya” sebagai pembatu yang dapat mendongkrak karakternya yang “psikopat”.

Di adegan lain, tawaran pengadeganan nampak kurang bergairah. Adegan-adegan yang dibuat di panggung bagian depan tidak bisa dibaca geografisnya. Bloking-bloking masif yang dibuat oleh sutradara hanya dilaksanakan sebagai pelaksaan intruksi sutradara belaka. Para aktor nampak mencari aman dengan tidak berbuat liar atau mengeksplorasi berbagai kemungkinan.

Set panggung yang masif, telah membunuh para aktor. Set panggung yang ditawarkan, pada akhirnya hanya menjadi hiasan saja dan tidak memberikan fungsi yang tepat dalam lakon ini. Kemegahannya pun telah membunuh para aktor. Sehingga, aktor menjadi tidak liar karena merasa termanjakan dan ditolong oleh set. Set hanya menjadi benda-benda mati dan tidak menjadi tanda atau penanda apa pun. Sayang sekali tragedi set membunuh aktor di atas panggung terasa lebih dahsyat dari lakon Macbeth. 

Tantangan Penyutradaraan

Bagi siapapun memainkan Macbeth karya Shakespeare, ia sudah tertolong oleh keindahan dan kebesaran naskahnya. Tantangannya adalah, bagaimana Macbeth 1606 ini bisa menjadi hangat, segar dan masuk di dalam dunia masakini. Tentu, ini merupakan usaha yang berat dalam proses adaptasi sehingga menjadi layak tonton.

Usaha adaptasi yang dilakukan Teater Tangga dengan Sutradra M. Yudha Pratama –terlepas adaptasi langsung dari  karya Shakespeare atau terjemahan Rendra atau siapa pun - mencoba menjawabnya dengan mengubah Macbeth jendral perang menjadi Macbeth seorang kepala kelompok intelejen semacam BIN, FBI, CIA atau Interpol dengan maksud mengecilkan skala ruang lingkup Macbeth agar lebih dikuasai -barangkali.

Sangat disayangkan, usaha yang dilakukan sutradara masih kurang maksimal dan kurang liar. Semua adegan yang disajikan terasa sangat gelap, monoton dan menjemukan. Perpindahan antar adegan tidak apik. Teknik ‘blackout’ masih menguasi sebagian besar perpindahan adegan. Ini menjadikan semua adegan hanya terasa sebagai cuplikan-cuplikan saja, tidak utuh.

Pemilihan ‘bumbu’ pertunjukan, sutradara menawarkan ‘asmara’ yang dangkal dan tidak artistik. Adegan antara Lady Macbeth dengan Macbeth yang dibuat seolah-olah ‘syur’ tidak bisa mendongkrak permainan. Pilihan musik yang low, drone, dan gelap, hanya mejadi backsound yang tidak berguna dan mengganggu saja. Musik yang semestinya bisa menjadi bagian penggambaran citra baik tegang atau ceria, malah hanya memberi kesan cerewet dan tidak tepat. Usaha yang paling menonjol terlihat pada penataan busana yang mencoba memasuki ternd busana kini –eh itu yang pakai kerudung lucu juga- :p

Intinya, pertunjukan Macbeth yang disajikan Teater Tangga, bagi saya, secara keseluruhan, hanya kebanalan yang dangkal. Proses pencarian yang tidak maksimal dan menyeluruh. Pemindahan dunia keseharian atau kenyataan kewajaraan hidup menjadi kewajaran kenyataan estetis panggung, tidak berhasil. Proses adaptasi yang dilakukan juga tidak berhasil menangkap situasi kekinian kenyataan sosial, politik dan kebudayaan yang dihadapi atau dijalani Teater Tangga.

Satu yang saya suka, Teater Tangga, dengan segala macam pengobarbanan dan usaha, telah membuktikan bahwa Teater Tangga layak dihitung dan layak untuk hadir sebagai kelompok teater kampus yang memiliki gairah, dan dedikasi terhadap Teater Indonesia.

Bravo Teater Tangga...jangan lupa banyak-banyak nonton anime onepiece...kkkkk!!!

Aku Cinta Padamu   

*Cacatan, hehehe ini tulisan lama, sori saya sedang belajar google trends...hehehe


Saturday, April 22, 2017

Menulis Itu Tidak Gampang !!!


Menulis Itu Tidak Gampang !!!


PERCAYALAH!!!
Menulis Itu Tidak Gampang !!!

Sebagian orang berpendapat bahwa menulis merupakan perkerjaan yang mudah. Bahkan saking mudahnya, mereka sering sekali menyelenggarakan acara semacam workshop atau pelatihan kepenulisanan dengan tajuk "menulis itu gampang, mudahnya menulis, siapa bilang menulis itu susah" dan sejenisnya yang kenyataannya itu semua bohong. Mereka sedang membohongimu. 

Berhentilah berfikir bahwa menulis merupakan pekerjaan yang mudah. Menulis bukanlah pekerjaan membalik telapak tangan atau sekedar ngupil di atas motor dengan kecepatan 60km/jam. Sebab, jika kamu atau kita masih berfikir seperti itu, tulisan-tulisan yang dihasilkan tidak akan memiliki kualitas yang baik. Jangankan kualitas tulisan secara keseluruhan, kualitas setiap kalimat saja belum tentu baik. Berhentilah berfikir "menulis mudah" demi mengurangi pengrusakan di muka bumi ini.

Fenomena "menulis mudah", biasannya muncul dari orang-orang yang ingin meraup keuntungan melalui pelatihan-pelatihan menulis. setelah itu, apakah mereka bertanggung jawab pada kualitas isi tulisan peserta, perkembangan peserta, atau paling tidak nalar peserta. Kebanyakan tidak. setelah pelatihan selesai, mereka berpindah tempat dan membuka pelatihan lagi, cari uang lagi. kemudian, peserta pelatihan, tetap seperti sebelumnya. Tidak menulis, karena untuk menjadi penulis tidaklah mudah!

Saya pikir, anda, atau saya saat ini sedang membaca sebuah tulisan dari seorang penulis. Mungkin juga, anda berfikir bahwa saya adalah benar-benar seorang penulis. Tidak, anda salah. Saya juga salah. Kita sering salah kaprah dalam memaknai "penulis"  dan memudahkan "menulis". Tidak semua orang yang bisa membuat catatan atau curhatan seperti ini disebut penulis, dan tidak semua curhatan dan cacatan seperti ini mudah dilakukan. Sekali lagi, tidak! 

Banyak sekali hal yang harus kita lewati untuk menjadi penulis. Setidaknya, untuk menulis saja, kita harus melewati beberapa tahap dan harus sudah menyelesaikan beberapa tahap juga. Misal, tapahap berfikir logis terlebih dahalu harus kita kuasai. Jika nalar kita benar, tulisan kita akan memiliki kualitas yang baik dan tidak merusak akal sehat. Menguasai, memahami, dan mampu menggunakan kosakata bahasa Indonesia yang benar (kaidah penulisannya), mampu membuat kalimat dengan struktuktur dasar bahasa Indonesia, dan masih banyak lagi.

Sekali lagi, menulis tidaklah gampang. Jangan spelekan pekerjaan menulis karena bisa merusak akal sehat terlebih jika mengandung cacat nalar. Agar kita tidak cacat nalar, lakukanlah terapi meluruskan nalar. Terapi yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan membaca tulisan-tulisan yang benar dan baik, membaca karangan-karangan yang tidak mengandung cacat nalar. Maka, berhentilah membaca cacatan harian ini! bacalah bacaan yang lebih bergizi, luruskan nalar, sebab tulisan kita adalah gambaran masa depan.

Selamat mengobati cacat nalar!!!