Showing posts with label pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Monday, October 2, 2017

Menonton PESTARAMA UIN Jakarta 2017

PESTARAMA UIN Jakarta
PESTARAMA UIN Jakarta



Postingan Telat



Sabtu, 20 Mei 2017, UIN Jakarta.

Tulus atau tidak urusan belakangan, namun nyatanya gw nonton pertunjukan teater di kampus UIN Jakarta lumayan terhirbur. Mungkin juga penonton lain terhibur sebab mereka tertawa, terharu dan tertegun menyimak pertunjukan dengan cara yang tulus. Hal itu bisa berarti dua makna, mereka menonton dengan tulus atau memang sejatinya pertunjukan memang menawan.

Pertunjukan ini dalam rangkaian ujian akhir semester mahasiswa FITK jurusan Pendididikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, atau sudah biasa mereka sebut PESTARAMA. Kegiatan ini sudah berjalan cukup lama, dan selalu membaik dalam segala sesuatunya. Tahun ini, mereka mengusung sepekan bersama Putu Wijaya setelah tahun lalu mereka berpesta bersama Arifin C. Noor.

Jujur, dari semua rangkaian acara dan pertunjuka teater, saya hanya menonton satu saja yakni AUM yang disutradarai oleh Futuha Arifin. Pertunjukannya lumayan bisa dinikmati dan menghibur. Untuk ukuran pekerja teater pemula bahkan sekelas ujian matakuliah, ini sudah lebih dari cukup bahkan juga bisa disebut layak konsumsi. Dengan kata lain, segala kekurangan yang ada, mampu tertutupi oleh kelebihan yang mereka berikan.

Ya, kalau mau dikupas lebih dalam, tentu kekurangan itu akan nampak jelas, atau bagi para penonton teater pro, kesalahan dan kekurangan pasti nampak jelas di hadapan mata. Salah satu yang pa paling jelas adalah kurang jam terbang dan kurang intens dalam latihan.

Tulisan ini bukan tulisan serius, bacanya tak perlu seserius itu. Anggap saja, ini celoteh penonton yang merasa mendapat kepuasan menonton atau penonton yang tak berani langsung untuk memaki pertunjukan yang jelek. Namun sekali lagi saya pertegas, terlepas mereka tak terlalu dalam masuk kedalam absurditas Putu Wijaya, segala kekurang interpretasi dan penyajian, masih berimbang dengan kerja keras usaha mereka untuk menyajikan AUM versi FITK UIN jakarta, versi Futuha Arifin dan tentu saja juga versi Echo Chotib selaku pendamping pertunjukan.

Terakhir, Selamat, Selamat, Selamat.

Aku Cinta Padamu.

Friday, May 28, 2010

NGACAPRUK I JAMURESI #2

Lima belas tahun yang lalu. Ketika sore tiba, semua pintu dan jendela harus sudah terkunci. Kemudian mulailah menyalakan lampu-lampu tempel. Tiap ruangan mendapat satu lampu. Tiap lampu bertahan sampai menyala sampai sampai subuh tiba. Hiburan yang paling menyenangkan di kala malam hari satu-satunya adalah menyalakan radio kemudian mendengarkan dongeng Mang Jaya dari Stasiun Linggarjati. Sambil mengerjakan tugas sekolah atau menjelang tidur. Ini biasannya aku lakukan bersama keluarga.

Tahun 1996, masa-masa itu berakhir, dan nyaris semuanya berahir. Ketika belum masuk listrik, aku masih bisa ingat, di kampungku ada kesenian warga yang bernama ‘Gembyung’. Tetabuhan pengiring marhabaan atau orang membaca al-barjanji. Di Tasik ada yang mirip, mungkin ‘Terbang’. Alat-alatnya terbuat dari batang pohon aren. Jumlah alatnya kurang lebih ada enam buah. Sayang, hal itu tidak bisa dilestarikan. Menghilang ditelan waktu dan peralihan peradaban. Juga beberapa kegiatan yang lainnya sudah punah.

Kampungku saat ini sudah beruba. Bukan hanya tatanan sosialnya saja, tetapi juga pada pola dan cara pandang warga terhadap kemajuan. Aku melihatnya, beberapa warga cenderung berfikir bahwa kemajuan haruslah ditandai dengan benda-benda dan cara hidup yang hampir mirip dengan orang kota. Tiba-tiba terbius ‘tipi’, motor, hanphone, dan cara berpakaiaan ala orang kota yang menurutku kadang-kadang seperti kekurangan bahan. Hehehhe…

Sejauh ini aku bersyukur, bahwa aku pernah mengalami hidup di tempat yang belum menggunakan listrik dari pemerintah. Sebelunya di kampungku sempat punya generator sendiri, cukup untuk menerangi se-kampung, tapi tak bisa dipakai untuk menyalakan ‘tipi’, dan barang elektronik yang lainnya. Dinyalakannya pun hanya ketika menjelang malam tiba. Sekarang sudah terganti dengan listrik dari pemerintah yang bisa dipakai apa saja.

Juga aku merasa sedih. Sebab ketika listrik masuk, permainan anak-anak di masaku hilang. Sekarang aku jarang melihat anak-anak berlarian di jalan atau di halaman madrasah bermain Bentengan, Tekong, Bancakan, Ucing Sumput, Pecle (taplak payung), gatrik, kumpul bareng membuat motor-motoran dari sandal, membuat mobil-mobilan dari kayu atau kaleng…semua kreatifitas itu tergilas dan hilang. Sekarang mereka bermain bersama hanya untuk menonton Doraemon, Power Rangers, Ipin-upin, Naruto…yang semuanya produk luar.

Ke mana Bawang Merah dan Bawang Putih, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Malin Kundang, Sangkuriang, Timun Mas, Danau Toba? Ke mana mereka? Apa tinggal dalam buku saja di sekolah dasar?

Mungkin tidak hanya di kampungku saja hal ini muncul. Juga di tempat anda. Kenapa semuanya menjadi west oriented? Apa karena kita pernah dijajah? Apa karena kita disebut Negara berkembang…sampai-sampai harus berkembang terus lalu lupa tangkai dan pohonnya?... Memang, kepribadian tiadalah yang asli. Semuanya adalah bentukan. Bentukan dari ruang dan waktu. Tapi bangsa ini sudah punya kepribadian sebelum orang barat datang ke sini.

Berkembang sajalah terus. Sampai menemukan yang paling pas menurut pribadi kita. Tapi kalau terus-terusan mencari, kita tidak pernah punya kejelasan dan ketegasan. Pada orang lain, juga pada diri kita sendiri. Kita hanya akan tahu dan akan selalu menjawab masih mencari. Prilaku sederhananya terlihat dalam bercanda sehari-hari, coba perhatikan, dalam candaan kadang-kadang terlontar ungkapan “Siapa lho?” pertannya sederhana. Tetapi untuk menjawabnya sangat lama, malahan kadang-kadang terdiam. So misterius, apa memang tak sanggup menjawab karena tidak tahu siapa diri kita?

Satu contoh sederhana lagi. Saya pernah menguping teman saya menelepon ketika masih remaja. Dia mencoba menelepon wanita idamannya. Kebetulan yang menerima telepon itu adalah kakanya. Sudah selayanknya dari seberang bertanya “Mau bicara dengan siapa? Ini dari siapa?” pertanyaan pertama terjawab dengan mudah karena obyeknya jelas. Tapi pertanyaan kedua, jawabanya menjadi berbelit, “dari temannya.” Jawab temanku. Kemudian orang di seberang bertanya lagi, “Iya, tapi temannya punya nama bukan.” “Grekkk…” jawaban temanku itu adalah dengan menutup gagang telepon sambil menggerutu “galak banget sih.”

Padahal, gampangnya temanku tinggal menyebutkan nama saja. bukankah ia juga punya nama seperti wanita idamannya tadi yang ia jawab dengan mudah. Tapi kenapa ketika ia ditanya nama, ia tak menjawab dengan langsung. Aku kira, ini pertanda bahwa ada yang belum berhasil dari metode pendidikan di negeri ini. (berat kaliii)…. Sampai kepada hal kecil seperti itu menjadi sangat sulit. Menyebut nama sendiri saja sulit. Bagaimana meneyebut nama ayahnya, pak RT di tempat ia tinggal, keadaan sekitar rumahnya… ini seharusnya menjadi pekerjaan dasar para pendidik di Negara kita tercinta ini. Tidak hanya melulu mengejar world classinternational standard, tanpa mengkokohkan pondasi terlebih dahulu.

Bagaimana mau tau modern, klasiknya saja di lompat…apa lagi post-modern

2010,
Ciputat