Showing posts with label listrik. Show all posts
Showing posts with label listrik. Show all posts

Tuesday, April 30, 2019

JAMURESI #3


JAMURESI #3
Mencari Identitas



Hakikatnya, setiap tempat memiliki kebudayaan tersendiri. Setiap masyarakat pasti memiliki tatanan hidup bermasyarakat sesuai dengan kebiasaan dan kondisi masing-masing. Begitu juga dengan Jamuresi dan sekitarnya yang memiliki tradisi tersendiri dan menyesuaikan dengan zamannya. Menurut sebagian para pakar sosiologi dan antropologi, kebudayaan sebuah masyarkat yang paling benar adalah yang mampu menyesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Namun juga tidak kehilangan akar kebudayaan yang masih baik dan memiliki nilai kebaikan untuk kemanusiaan.

Jamuresi, yang dapat saya ingat, dua lima tahun yang lalu – sekitar tahun 1991an- masih tercatat sebagai tempat tertinggal atau desa tertinggal -Desa Sukajaya sampai sekarang masih sebagai desa IDT-. Namun, masyarakatnya mampu menjawab tantangan zamannya dengan kemampuannya masing-masing. Misalnya, untuk kebutuhan listrik, warga jamuresi memiliki sumber listrik sendiri yang dihasilkan dari turbin atau pembangkit listrik tenaga air dari sungai Cijolang. Tapi sangat disayangkan, pada tahun 1996, listrik mandiri milik warga Jamuresi diganti oleh listrik PLN milik pemerintah dan tidak difungsikan lagi. Di satu sisi, penggantian ini membawa kebaikan, namun di sisi yang lain, pemerintah merampas kreatifitas masyarakatnya yang mandiri.

Peristiwa pergantian listrik mandiri ke listrik pemerintah, akhirnya mendorong kebutuhan masyarakat Jamuresi dipaksa sama dengan kebutuhan masyarakat di kota yang memiliki pendapatan ekonomi berlipat-lipat dari masyarakat Jamuresi. Jamuresi dipaksa zaman untuk punya televisi, mengkonsumsi makanan instant produk periklanan yang di dapat dari televisi. Situasi ini akhirnya mendorong sisi kebutuhan yang dipaksa meningkat. Sebelumnya, panen padi satu kali satu tahun masih bisa menutupi kebutuhan sehari-hari warga Jamuresi. Sebab kebutuhan rempah-rempah masih bisa dilakukan dengan cara barter antar tetangga. Namun, setelah kebutuhan meningkat akibat harus bayar listrik negara, gaya hidup televisi, membuat masyarakat meningkatkan pendapatan dengan cara mengeksploitasi sumberdaya alam Jamuresi tetapi tidak dibekali dengan pengetahuan dan tehnik yang mumpuni. Sebagian masyarakat akhirnya menerima dengan paksa program-program percepatan pertanian dan lainnya demi memenuhi kebutuhan hidup namun tidak diberikan pandangan dampak yang akan terjadi dua puluh tahun yang akan datang -sekarang.

Demi memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat Jamuresi khususnya, umumnya Desa Sukajaya, meningkatkan percepatan pertanian dengan menggunakan zat-zat kimia yang dapat merusak tanah. Misalnya, dulu panen satu tahun sekali, bisa dipercepat menjadi tiga kali panen dalam setahun. Pengunaan bibit dan pupuk mempercepat dan memaksa tanah untuk memberikan kebaikan dengan instan namun lupa akan dampak kedepannya. Sekarang, sebagian sawah menjadi kering dan tak bisa ditanami padi bahkan dengan cara huma. Begitu pula yang memilki area pertanian di dataran yang lebih tinggi, banyak yang menjual pohon besar dan kemudia ditukar dengan tanaman sejenis kopi. Alhasil, ketika musim hujan turun, air hujan hanya sebatas lewat begitu saja dan tidak memberikan kebaikan yang banyak sebab tak ada lagi tanaman yang bisa menahan resapan hujan serta tanah sudah tak mampu lagi menampung air. 

Saya masih ingat, selokan kecil di depan rumah, dua puluh lima tahun yang lalu airnya banyak, dan selalu hidup. Saya bersama teman-teman bahkan sering membuat semacam bendungan dan membuat miniatur PLTA seperti yang di lakukan orang tua kami di sungai Cijolang. Tapi kini, semua tinggal kenangan dalam ingatan. Selokan kecil hanya parit kering penuh rumput dan berair ketika hujan saja.

Selain kreatifitas yang bernilai baik banyak yang terampas, hubungan sosial antar warga pun banyak terampas oleh kehadiran listrik PLN kala itu. Saat ini, kehidupan Jamuresi tak ubah seperti tatanan sosial masyarakat di perkotaan atau di pinggiran kota yang berlistrik. Semua orang, kita malam tiba, nyaris tak ada lagi yang berada di luar rumah, bukan karena takut gelap -dahulu lebih gelap- tapi karena semua orang kini sibuk dan terbius oleh acara televisi, terhanyut dalam acara televisi yang tidak banyak memberikan manfaat bagi warga Jamuresi secara langsung. Tak lagi seperti dulu, ketika menjelang magrib tiba, semua orang berbondong-bondong menuju masjid, mengajak anak-anaknya pergi ke masjid. Setelah magrib, anak-anak mengaji, para orang tua menunggu isya di beranda masjid sambil berbagi peristiwa dari sawah dan ladang masing-masing. Berbagi kisah dan pengalaman bagaimana menangani hama dan meningkatkan pendapatan. Terkadang, ketika purnama tiba, hampir semua warga di luar rumah menikmati purnama sebagai salah satu rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan melalui alam raya. Lebih jauh dari itu semua, saya bersyukur masih sempat menikmati upacara sukuran alam sebelum panen dan setelah panen. Simbol syukur dan ucapan terimakasih kepada alam raya selain kepada Allah SWT atas berkah alam yang didapat.

Sayangnya, perubahan kebudayaan ini tidak disiapkan dengan matang oleh pemerintah kala itu. Masyarakat Jamuresi, dalam padangan saya, kala itu belum siap untuk menerima dampak kemajuan setelah listrik bekekuatan tinggi masuk Jamuresi. Sebab ketika listrik masuk Jamuresi tahun 1996, sebagian besar pendidikan warga Jamuresi adalah lulusan SD dengan pengetahuan sebatas bagaimana menanam dan bagaimana panen saja. Masyarakat tidak disiapkan secara mental untuk menanggapi kemajuan dan segala kemuningkan atas kemajuan yang bisa dicapai dengan adannya listrik yang lebih besar. Masyarakat tidak dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan akan dampak positif dan negatifnya dari adanya listrik yang lebih besar tenaganya. Ada pun kebudayaan masyarakat men-tabukan menebang pohon besar dan mengkeramatkan hutan larangan dihajar habis-habisan dengan pendekatan ‘agama’ tapi dengan cara yang salah. Masyarakat hanya diberitahu bahwa ‘menuhankan’ pohon besar, hutan adalah perbuatan ‘syirik’ dalam Islam, tetapi tidak diberikan keterangan yang lainnya yang bermaanfaat agar tetap melestarikan hutan sebagai habitat penjaga siklus kehidupan Jamuresi yang notabene berada di lereng pegunungan.

Berubahnya tatanan sosial dan kebudayaan Jamuresi telah menjadikan Jamuresi tidak jauh beda dengan tempat yang lain yang ada di pinggiran kota dan kota. Padahal, banyak potensi yang bisa lebih besar dari yang sekarang sedang berlangsung. Selain dari sisi pertanian dan peternakan, Jamuresi punya nilai historis yang cukup mumpuni sebagai kekayaan kebudayaan bagi Ciamis khususnya. Sayangnya, pemerintah Ciamis saat itu tidak peka. Terbukti dengan terbengkalainya situs multizaman ‘batu tulis citapen’ -menurut hasil penelitian, situs Citapen berusia lebih dari 700.000 tahun silam- yang berada di wilayah Desa Sukajaya tidak terurus dan tidak jadi potensi kekayaan kebudayaan. Jangankan yang belum terangkat dan tidak begitu dikenal, yang sudah di kenal saja, Situs Rancah, Situs Tambak Sari, Kabuyutan Rajadesa, Nagara Pageuh, belum bisa dijadikan kekayaan kebudayaan yang bisa menggebalikan kejayaan Ciamis seperti di masa lalu ketika masih mejadi pusat kerajaan Galuh.

Kekayaan alam dan kebudayaan Jamuresi hilang begitu saja, dilipat waktu demi menjawab tantangan zaman akibat dari kelalaian pemerintah yang tidak peka. Akhirnya, ini pula yang menjawab pertanyaan saya sendiri, kenapa Desa Sukajaya masuk dalam barisan IDT? Bukan karena tertinggalnya saja, tetapi mungkin memang harus lebih diutamakan. Dalam hal ini, bagi saya, Suharto punya pandangan yang lain menerima Sukajaya sebagai Inpentaris Presiden. Karena memiliki kekayaan kebudayaan yang khusus dan bernilai historis yang tinggi.

Sekarang, mampukah kita menjawab sang waktu? Terus menggali potensi untuk kebaikan Jamuresi? Sementara sebagian anak-anak, remaja yang ada di Jamuresi kini memilki cara hidup seperti remaja di Kota-kota besar dan Kota-Kota urban?



2016

Friday, May 28, 2010

NGACAPRUK I JAMURESI #2

Lima belas tahun yang lalu. Ketika sore tiba, semua pintu dan jendela harus sudah terkunci. Kemudian mulailah menyalakan lampu-lampu tempel. Tiap ruangan mendapat satu lampu. Tiap lampu bertahan sampai menyala sampai sampai subuh tiba. Hiburan yang paling menyenangkan di kala malam hari satu-satunya adalah menyalakan radio kemudian mendengarkan dongeng Mang Jaya dari Stasiun Linggarjati. Sambil mengerjakan tugas sekolah atau menjelang tidur. Ini biasannya aku lakukan bersama keluarga.

Tahun 1996, masa-masa itu berakhir, dan nyaris semuanya berahir. Ketika belum masuk listrik, aku masih bisa ingat, di kampungku ada kesenian warga yang bernama ‘Gembyung’. Tetabuhan pengiring marhabaan atau orang membaca al-barjanji. Di Tasik ada yang mirip, mungkin ‘Terbang’. Alat-alatnya terbuat dari batang pohon aren. Jumlah alatnya kurang lebih ada enam buah. Sayang, hal itu tidak bisa dilestarikan. Menghilang ditelan waktu dan peralihan peradaban. Juga beberapa kegiatan yang lainnya sudah punah.

Kampungku saat ini sudah beruba. Bukan hanya tatanan sosialnya saja, tetapi juga pada pola dan cara pandang warga terhadap kemajuan. Aku melihatnya, beberapa warga cenderung berfikir bahwa kemajuan haruslah ditandai dengan benda-benda dan cara hidup yang hampir mirip dengan orang kota. Tiba-tiba terbius ‘tipi’, motor, hanphone, dan cara berpakaiaan ala orang kota yang menurutku kadang-kadang seperti kekurangan bahan. Hehehhe…

Sejauh ini aku bersyukur, bahwa aku pernah mengalami hidup di tempat yang belum menggunakan listrik dari pemerintah. Sebelunya di kampungku sempat punya generator sendiri, cukup untuk menerangi se-kampung, tapi tak bisa dipakai untuk menyalakan ‘tipi’, dan barang elektronik yang lainnya. Dinyalakannya pun hanya ketika menjelang malam tiba. Sekarang sudah terganti dengan listrik dari pemerintah yang bisa dipakai apa saja.

Juga aku merasa sedih. Sebab ketika listrik masuk, permainan anak-anak di masaku hilang. Sekarang aku jarang melihat anak-anak berlarian di jalan atau di halaman madrasah bermain Bentengan, Tekong, Bancakan, Ucing Sumput, Pecle (taplak payung), gatrik, kumpul bareng membuat motor-motoran dari sandal, membuat mobil-mobilan dari kayu atau kaleng…semua kreatifitas itu tergilas dan hilang. Sekarang mereka bermain bersama hanya untuk menonton Doraemon, Power Rangers, Ipin-upin, Naruto…yang semuanya produk luar.

Ke mana Bawang Merah dan Bawang Putih, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Malin Kundang, Sangkuriang, Timun Mas, Danau Toba? Ke mana mereka? Apa tinggal dalam buku saja di sekolah dasar?

Mungkin tidak hanya di kampungku saja hal ini muncul. Juga di tempat anda. Kenapa semuanya menjadi west oriented? Apa karena kita pernah dijajah? Apa karena kita disebut Negara berkembang…sampai-sampai harus berkembang terus lalu lupa tangkai dan pohonnya?... Memang, kepribadian tiadalah yang asli. Semuanya adalah bentukan. Bentukan dari ruang dan waktu. Tapi bangsa ini sudah punya kepribadian sebelum orang barat datang ke sini.

Berkembang sajalah terus. Sampai menemukan yang paling pas menurut pribadi kita. Tapi kalau terus-terusan mencari, kita tidak pernah punya kejelasan dan ketegasan. Pada orang lain, juga pada diri kita sendiri. Kita hanya akan tahu dan akan selalu menjawab masih mencari. Prilaku sederhananya terlihat dalam bercanda sehari-hari, coba perhatikan, dalam candaan kadang-kadang terlontar ungkapan “Siapa lho?” pertannya sederhana. Tetapi untuk menjawabnya sangat lama, malahan kadang-kadang terdiam. So misterius, apa memang tak sanggup menjawab karena tidak tahu siapa diri kita?

Satu contoh sederhana lagi. Saya pernah menguping teman saya menelepon ketika masih remaja. Dia mencoba menelepon wanita idamannya. Kebetulan yang menerima telepon itu adalah kakanya. Sudah selayanknya dari seberang bertanya “Mau bicara dengan siapa? Ini dari siapa?” pertanyaan pertama terjawab dengan mudah karena obyeknya jelas. Tapi pertanyaan kedua, jawabanya menjadi berbelit, “dari temannya.” Jawab temanku. Kemudian orang di seberang bertanya lagi, “Iya, tapi temannya punya nama bukan.” “Grekkk…” jawaban temanku itu adalah dengan menutup gagang telepon sambil menggerutu “galak banget sih.”

Padahal, gampangnya temanku tinggal menyebutkan nama saja. bukankah ia juga punya nama seperti wanita idamannya tadi yang ia jawab dengan mudah. Tapi kenapa ketika ia ditanya nama, ia tak menjawab dengan langsung. Aku kira, ini pertanda bahwa ada yang belum berhasil dari metode pendidikan di negeri ini. (berat kaliii)…. Sampai kepada hal kecil seperti itu menjadi sangat sulit. Menyebut nama sendiri saja sulit. Bagaimana meneyebut nama ayahnya, pak RT di tempat ia tinggal, keadaan sekitar rumahnya… ini seharusnya menjadi pekerjaan dasar para pendidik di Negara kita tercinta ini. Tidak hanya melulu mengejar world classinternational standard, tanpa mengkokohkan pondasi terlebih dahulu.

Bagaimana mau tau modern, klasiknya saja di lompat…apa lagi post-modern

2010,
Ciputat