Showing posts with label Undang-undang penyiaran. Show all posts
Showing posts with label Undang-undang penyiaran. Show all posts

Thursday, September 8, 2016

WS. Rendra - Rokok dalam konteks Kebudayaan Indonesia

Semua yang kita lihat pasti akan tersimpan dalam memori dan suatu saat akan muncul kembali. Begitu pula iklan rokok. Pernyataan ini dituturkan Lisa Marie, praktisi dan psikolog yang menjadi Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan uji UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), Selasa (21/4), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

WS. Rendra - Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
WS Rendra saat memberikan kesaksian terkait pengujian Pasal 46 huruf c UU Penyiaran/Photo: Andhini SF/Humas MK
memeberikan ceramah Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia
Lisa mengatakan, iklan rokok bisa membekas dalam pikiran pemirsanya jika melibatkan unsur emosi dan irasional. Menurutnya, makin irasional iklan rokok, makin kuat pula diingat orang. Ia mencontohkan, iklan sebuah rokok di pantai, yang digambarkan bungkus rokoknya lebih besar dari orangnya, akan lebih diingat orang karena tingkat irasionalitas tersebut. Paparan Lisa juga menyebutkan bahwa sekitar 40 ribu anak-anak Amerika menonton iklan rokok. “Lalu, untuk usia 10-18 tahun, 3000 anak telah merokok setiap harinya,” papar Lisa dalam sidang perkara No. 6/PUU-VII/2009 ini.


Kesaksian Rendra : Rokok dalam Konteks Kebudayaan Indonesia

Menyambung keterangan Lisa, salah satu Ahli dari Pemohon, Elie Mutiawati, mengungkapkan bahwa iklan rokok memang dilarang menyampaikan informasi bahwa merokok bermanfaat bagi kesehatan. “Perlu upaya perlindungan kesehatan masyarakat terhadap bahaya iklan merokok”, tegasnya. Namun dia melihat sampai sekarang masih banyak iklan rokok yang melanggar aturan dengan tetap mencantumkan sebagian atau seluruh bungkus rokok bersangkutan.

Sementara itu, Mary Assunta, Ahli Pemohon dari South East Asia Tobacco Control Alliance, ikut menguatkan dengan menuturkan beberapa studi penting terkait iklan rokok. “Studi Alexander menunjukkan, remaja yang menyaksikan iklan promosi rokok tertentu dan bisa menyebutkan jenis iklan rokok tersebut, dua kali lipat berpotensi menjadi perokok,” tuturnya melalui penerjemah.

Mary mengungkapkan pula sebuah penelitian di Spanyol, bahwa anak usia 13-14 tahun yang bisa menyebutkan iklan rokok, bisa menjadi perokok mingguan. Karena itulah Mary ingin menegaskan bahwa tembakau tidaklah sama dengan produk lainnya. Ia sangat berharap iklan rokok dilarang untuk mengurangi risiko kematian agar remaja tidak terpengaruh iklan rokok dan regulasi iklan rokok bisa dilakukan.

Uji UU Penyiaran khususnya tentang iklan rokok ini dimohonkan oleh Tim Litigasi untuk Pelarangan Iklan, Promosi, dan Sponsorship Rokok sebagai kuasa hukum dan bertindak atas nama Komisi Perlindungan Anak, juga Lembaga Perlindungan Anak dan perorangan warga negara, yaitu Alfi Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah. Turut menambahkan, Ahli dari Pemohon, Peneliti Lembaga Demografi Indonesia, Abdillah Hasan, menyatakan dalam konsep ekonomi, ada yang namanya opportunity cost (biaya kesempatan).

“Itu terjadi pada rokok. Uang yang telah dibelanjakan untuk rokok, tidak bisa dialihkan untuk kebutuhan lain,” katanya. Selain itu, belanja rokok juga ikut meningkatkan biaya kesehatan karena rokok mengandung aneka penyakit sebagaimana temuan ribuan artikel ilmiah selama ini.

Segenap Pemohon meminta MK membatalkan keberlakuan Pasal 46 ayat (3) huruf c UU Penyiaran sepanjang frase “yang memperagakan wujud rokok,” karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Pasal a quo, menurut Pemohon, sebenarnya juga bertentangan dengan Pasal 46 ayat (3) huruf b UU Penyiaran itu sendiri yang menyatakan zat adiktif dan minuman keras tidak boleh diiklankan, sementara rokok termasuk zat adiktif. Oleh karenanya, Pemohon menganggap dua pasal tersebut inkonsisten. (Yazid)


Sumber: BMK april 2009