Showing posts with label Sajak. Show all posts
Showing posts with label Sajak. Show all posts

Tuesday, April 30, 2019

Bukan Puisi



Pendidikan kita tidak menjanjikan manusia menjadi pribadi,
tetapi mempersiapkan manusia menjadi mesin industri 
dan skrup kapitalisme.


Sekolah tidak mengajarkan filsafat agar bisa berbifir, tidak juga diajarkan berpolitik 
agar bisa memahami demokrasi dan perbedaan,
Sekolah hanya mengajarkan hapalan 
bagaimana menjadi abdi industri, dan juga mengajarkan persaingan 
yang akhirnya melahirkan kesenjangan.

Banyak sudah yang tidak percaya pada sekolah dan lembaga pendidikan
Selain karena semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan, 
juga karena sistem yang hanya mendorong manusia menjadi bagian dan budak industri.

Lalu munculah alternatif, sekolah-sekolah yang menawarkan cara baru dalam belajar, 
model baru dalam tata keuangan dan pembiayaan, 
ada yang menawarkan biaya murah dengan alasan memberikan kesempatan 
namun tidak membiarkan orang-orang yang tubuhnya ditato, memakai cadar, berambut gimbal, ikut belajar. 

Ada pula yang menawarkan cara belajar baru
tetapi bukan cara baru 
memandang persoalan hidup. 

Begitukah pendidikan? 
Bigitukan cita-cita pendidikan? 
Semua bergantung kita berdiri di pihak mana.

Langit muram, 
masa depan suram,
Aku memandang jalan lengang, 
sejuta kemungkinan bergelimang 
berjuta-juta ketakutan berloncatan

Kenyataan kewajaran hidup bertabrakan dengan cita-cita
Kesetian pada cita-cita terhimpit kenyataan, 
rasa lapar dan berahi adalah kenyataan yang tak bisa di bantah.

Cita-cita ditawar dengan kewajaran serta kekonyolan etika dan moralitas.
Bukankah menjadi tidak bermoral, 
cita-cita ditukar dengan sepiring nasi atas nama kewajaran?
Bukankah tidak bermoral, 
kesetiaan pada cita-cita ditukar dengan penyerahan diri atas nama etika dan kewajaran?

Jamur di kepala semakin banyak, 
kejernihan berfikir tak lagi dapat diukur, 
sebab perasaan dan rasa lapar semakin menggila.
Atas nama lapar, dan kewajaran, aku gadaikan cita-cita

Atas nama etika dan moral, aku gadaikan iman
Atas nama iman, aku siksa para ibu, aku bunuh para bapak,
dan anak-anaknya aku jerumuskan pada industri dan kapitalisme,
juga
atas nama kewajaran.




2018-2019

Tuesday, June 28, 2016

MARIA 1

Maria,
dimakan usia
matanya memancarkan pilu
keriputnya memendam rindu
;ia dikoyak sepi

Sejak lelakinya pergi lama kembali,
Maria menuntaskan sepi sendiri.
Dua anaknya belum bisa jadi sandaran
Pada siapa rindu dialamatkan

Waktu mengabadikannya dalam sunyi.
Lelakinya pergi takkan kembali.
Anaknya yang perempuan sudah bersuami,
Si anak lelaki sibuk mencari jati diri.

Maria,
meradang dalam sepi
menahan pilu di hati.
Maria asik sendiri
;mati sendiri dalam sepi


27 Mei 2016

Tuesday, September 8, 2015

KESAKSIAN 70 TAHUN INDONESIA MERDEKA







sesampahan di kepala...monggo....




KESAKSIAN 70 TAHUN INDONESIA MERDEKA


1
Aku bersaksi,
tujuh puluh tahun sudah
negara Indonesia menjadi negara yang merdeka
tetapi rakyat Indonesia belum merdeka!

Aku bersaksi,
adalah kenyataan, bahwa rakyat Indonesia sejak zaman kolonial
rezim orla, rezim orba, dinasti reformasi, bahkan dinasti revolusi mental
rakyat Indonesia tidak pernah menjadi warga negara dengan hak yang penuh
berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan, urusan negara dan urusan pemerintah

2
Tengoklah kembali,
di zaman orla, rakyat hanya menjadi massa revolusi dan massa partai
sementara kelaparan dan kematian mengintai
di zaman orba, dinasti mataram berwajah baru
rakyat hanya menjadi massa pembangunan yang daya kreatifnya dibelenggu
penataran-penataran penyeragaman pikiran digalakan
dan kejahatan pemerintah oleh tentara diberikan dukungan
tentara melindungi kejahan pemerintah yang oleh rakyat tak bisa terbantahkan

Tengoklah kembali,
gerakan reformasi diadakan
rakyat dimanipulir membentuk barisan pemberontakan
seolah akan ada gerakan perubahan
kenyataanya,
reformasi hanya memberangus pemerintahan orba
rakyat tetap tidak merdeka
pemerintah hanya getol memperjuangkan posisi kedaulatan golongan mereka sendiri
bukan kedaulatan rakyat negri ini
mereka gede rasa
disangkanya suara mereka adalah suara rakyat
padahal hanya suara partai politik saja
mereka tak ubanya zaman mataram, kolonial, orla, dan orba
wajahnya saja yang baru
rakyat tetap tak merdeka dan terbelenggu

3
Kini,
reformasi berwajah revolusi
kemerdekaan tetap menjadi ilusi
rakyat tetap tanpa hak azasi
pemerinta hanya rajin mengumbar janji tanpa bukti
wajah-wajah baru yang arogan bermunculan
beradu kekuatan dan kecerdasan
sedang rakyat hanya menjadi bantalan dan sasaran

aku bersaksi,
Masih ada para pekerja yang tidak mendapatkan haknya sendiri
seperti sapi perah yang dilupakan majikannya sendiri
banyak orang yang menjadi gelandangan di negrinya sendiri
terlunta-lunta tanpa hak azasi
aparatur negara tidak membela rakyat
mereka tetap menjadi alat pemerintah untuk menindas rakyat
seperti di zaman kolonial, di zaman orla, di zaman orba,
di zaman reformasi, di zaman revolusi mental sama saja

Politikus asik memperkaya diri dan memperkuat kedudukan sendiri
Budayawan asik dengan proyek kebudayaan
sibuk memberi angka dan nilai pada perlombaan kebudayaan
Para penyair sibuk memperjual belikan metafora
berlomba dengan kata menuju langit tertinggi
sampai lupa menginjak bumi
Dan seniman, tetap menjadi buruh pusat kesenian sambil mabuk di emperan
Di sekolah para guru sibuk menata kurikulum dan memperjualbelikan buku pelajaran
Siswa dijelali hafalan dan menjadi terlunta tanpa keterampilan menyambut masa depan
Di rumah ibadah agawaman sibuk membela tuhan
Sambil membakar, membunuh dan menyiksa yang berbeda keyakinan

4
Aku bersaksi,
apalah artinya kemerdekaan tanpa kedaulatan
rakyat tanpa hak azasi dan pembinaan kesadaran
pemusatan kekuasaan pemerintah semakin berlebih-lebihan
sehingga daya hidup masyarakat terlumpuhkan

Rakyat yang tidak berdaya adalah rakyat yang kehilangan kemanusiaannya
kekuasaan pemerintah yang absolut menjadi berhala
mengobrak-abrik tatanan nilai moral dan peradaban
akhirnya terjadi proses erosi kemanusiaan
di dalam kehidupan berbangsa

5
Aku bersaksi,
dengan malu-malu dan ragu
sekelompok orang bertanya tentang nasionalisme dan rasa berbangsa
rasa berbangsa kita telah dirusak oleh cara bernegara yang salah
dan nasionalisme sudah lama menjadi sampah

bunga-bunga berguguran di pekarangan
mata nanar melihat kematian dan penindasan
pikiran dipenuhi jaring laba-laba kekuasaan

apalah artinya kekuasan
apalah artinya kekayaan
jika tak bisa menyelesaikan persoalan kemiskinan
dan hanya memperbanyak gelandangan dan pelacuran!!!
                                                                                              


(Lenteng Agung, Agustus 2015 )

Sunday, August 16, 2015

Secangkir Kopi, Aku dan Kamu


1
Memburu kamu di secangkir kopi
Ada buih rindu
Ada ketir yang diciptakan oleh jarak
Tak apa, sebab manisnya rindu lebih dahsyat daripada manisnya mulut politisi
Mereka sering membicarakan hal yang muluk
Tetapi lupa akan kewajaran yang semestinya terjaga
Ada pula yang sering menciptakan mimpi
Tetapi mereka lupa bangun untuk kemudian mewujudkannya
Para politisi itu seperti buah bintaro
Isi buahnya pahit tidak ketulungan

Langit sepi
Kucari kamu di secangkir kopi



2
Kucari kamu di secangkir kopi
Di tumpukan buku, di lembaran pesan elektronik, di bait-bait puisi, di secercah harapan yang kita ciptakan;
Kamu tak ada

Aku malah menemukan lembaran kerja yang tertunda, cita-cita yang kusam tergantung di jendela, foto politisi yang kepingin jadi artis, dan potret suram pendidikan bangsa kita
Ya...kutemui pendidikan bangsa ini menjadi lahan bisnis yang menjanjikan...
Sekolah hanya menjadi status
Tidak menjanjikan pengetahuan dan keterampilan
Buku ajar dipolitisir jadi penghasilan yang menguntungkan
Para guru sibuk memanipulasi nilai, angka kredit, dan perangkat sertifikasi
Sedang siswa terlantar kurang perhatian dan lari ketempat kursusan dan bimbingan
Kenapa lembaga kursus dan bimbingan belajar lebih menjanjikan dari sekolah?
Apakah karena harganya lebih mahal?
Apakah kerena kualitas belajar di sekolah tidak menjanjikan?
Kalau begitu, tutup saja sekolah, mari kita buka lembaga kursus dan bimbingan lebih banyak!
Agar kita kaya, dan yang memerlukan keterampilan tetap terjaga

Ah, kamu tak ada
Aku ingin mengatakan ini lebih banyak
Aku curiga, aku sedang terseret arus bawah
Menjadikan sekolah sebagai lembaga bisnis yang lumrah
Setelah bisnis kesehatan
Aku tulis ini ketika bulan sebelah menjadi gelisah
Dan kamu tak kutemui dalam secangkir kopi

3
Secangkir kopi pagi;
Aku berseru menyebut namamu
Wahai kau yang berkeliaran di dada
Ada tangis di balik senyum yang sumringah
Ada tiran yang pongah berkedok budi yang ramah
Dan kemanusiaan hilang kemerdekaanya
Di jaman cybernetik ini, feodalisme menjadi alasan perlawan pada sikap yang instan
Sikap tunduk dan taat aturan dijadikan perisai atas pembunuhan kemerdekaan
Dan pengabdian adalah alasan kebudayaan alam yang harus diterima tanpa diolah akal sehat
Di manakah kemerdekaan
Di manakah kemanusiaan
Ia telah lama mati di bangku sekolah
Ia tak berdaya di beranda lembaga pendidikan yang feodal dan militeristik
Selama kemanusiaan diartikan tunduk dan patuh pada kebudayaan alam dan meniadakan akal sehat
Kita tak akan bisa membela masa depan

Secangkir kopi pagi;
Kujumpai manis
Kutemui pahit
Berpadu
Seperti aroma senyummu

Secangkir kopi pagi;
Aku teringat kamu
Wahai kau yang berkeliaran di dada
Merdekalah!

4
Secangkir kopi
Semesta duka
Aku teringat Deandles, Rafles, Multatuli, Saijah, Adinda...

Secangkir kopi
Adalah tumpukan sejarah yang tak habis dibaca

5
Secangkir kopi
Lagi
Aku mengecap sepi
Aku mencium rindu
Pada Ibu
Pada kampung halaman
Pada daun, pohon, rumputan
Pada sekian kisah haru
Ada derita yang bersemayam
Aku seperti api dalam abu
Berteriak
Sementara mereka tutup telinga
Korupsi seperti mendarah
Mengalir begitu saja dalam tubuh
Seperti rumput liar
Tumbuh di mana saja
Bahkan subur di lembaga pendidikan

Malam suram
Bulan sesabit menggantung di langit
Secangkir kopi menjadi saksi
Ada suara yang dibisukan
Ada kesaksian yang dibutakan
Bila korupsi bagian dari kerjasama
Aku menolak untuk disamakan

Secangkir kopi
Lagi
Kuteguk segala pahit
Menembus batas tanpa cakrawala


Depok, 14 sept. – 1 okt. 2014

Monday, October 29, 2012

Sajak deui wae...


PEUTING

1
kalangkang
pasuliwer
pajuriwet
minuhan langit

2
harepan angger ngagantung
pating gulantung
dina dahan dahan sawangan

3
peuting
antare dipigawé

4
peuting, teuing


220310

Monday, January 31, 2011

Buka-Buka file

Lagi buka-buka file di komputer, gua nemu saja lama. sajak yang gua tulis limatahun yang lalu...hmmm...ga terlalu lama sih, biasa aja, but...jadi ter ingat sesuatu...hmmm ah whateverlah...naon wae...


Yap Kadieu

yap kadieu cinta
urang ningali balong
anu pinuh ku bentang

yap, yap kadieu
di dieu aya cikopi jeung bala bala
keur nguseup,
cenahmah hayang katumbiri
jeung layung, susuganan ngait

yap, yap kadieu
urang mapay mapay galeng
nenjoan sawah anu keur tibra
bari ngais kanyeri lemah cai

yap kadieu cinta
di dieu aya keneh sapiring kaheman anu nyesa
urut barudak
basa keur perang poe kamari

yap, yap kadieu
tuh geura
aya mega mawa kembang ros
bangun beuruem
euleuh itu
itu geura

yap, yap kadieu
aya angin keur lulumpatan
bari mawa beja
aya anu keur katresna


cipasung, 2 Januari 2004