Showing posts with label Musik. Show all posts
Showing posts with label Musik. Show all posts

Friday, May 14, 2010

Sepi; Musik Maha Makna

S E P I;
Musik Maha Makna

_____________________________(Zaky Mubarok)


Pernah sekali waktu, aku berbincang-bincang dengan teman. Membicarakan bunyi-bunyian yang bisa menggambarkan perasaan. Tersebutlah musik. Sampai akhirnya mendapat satu kesimpulan bahwa sepi juga musik. Dari sanalah kemudian aku mencari letak bunyi, suara-suara, komposisi yang bisa disebagai musik dalam sepi. Pada awalnya aku tidak mendapatkan apa-apa. Hanya ada hening tanpa suara apapun.

Pernah juga aku membaca cerpen yang di dalamnya menyebutkan, hening itu musik yang paling indah. Owh…di mana letak musiknya? Di mana letaknya indahnya? Tak ada suara, tak ada bunyi-bunyian di sana. Kucari lagi. Kucari lagi. Kucari terus dalam sepi. Musik dalam sepi. Sepi sebagai musik. Sampai akhirnya aku mendapat kesimpulan bahwa terkadang musik yang bisa mewakili perasaan kemarahan adalah hening.

Sepi ternyata bisa menjadi satu komposisi musik yang menggambarkan kemarahan. Tidakkah itu terbalik? Bukannya musik atau bunyi-bunyian yang keras dan bising menggambarkan suatu kemarahan? Aku pikir itu juga benar. Karena memang pada realitas yang biasa kita lihat dan kita dengar, kemarahan banyak ditandai oleh kebisingan, tapi bukankan itu dangkal? Seperti kata pepatah “air beriak tanda tak dalam,”, “tong kosong nyaring bunyinya.” Begitu juga aku merasakan, bahwa musik yang bisa mewakili kemaharahan yang dahsyat adalah sepi. Bahkan, sepi sebagai musik lebih bisa mewakili perasaan perasaan yang lebih dalam, nyaris tak bisa terwakili oleh apapun selain sepi yang kemudian akan mendorong pada tindakan.

Kembali kepada sepi sebagai musik. Seperti halnya WS. Rendra sang penyair membuat “Teater Mini Kata”, kata Goenawan Mohamad. Bukan berarti Rendra sudah tidak percaya pada kata-kata (bagaimana mungkin seorang penyair tidak percaya pada kata-kata), tetapi terkadang kita sering menjumpai peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang tak bisa diungkakan dengan kata-kata, maka sebagai gantinya adalah tindakan. Begitu juga Jerzy Grotowski yang memunculkan “The Poor Theatre” di tahun yang sama dengan Teater Mini Kata, merasa bahwa properti dan set dalam panggung yang ia buat seringkali tidak cukup mewakili pemikirannya dan sudah bosan pada konvensi yang ada. Sampai akhirnya ia memutuskan panggunngya kosong. Selanjutnya para aktornyalah yang dijadikan set serta properti. Dari sinilah aku bertolak dan mencari apa benar sepi bisa menjadi musik, di dalam sepi terdapat musik, dan sepi adalah musik yang paling indah.

Referensi yang aku punya tak begitu banyak. Hanya obrolanku dengan seorang kawan. Hanya sebuah cerpen. Hanya persitiwa yang mirip tetapi sasaranya berbeda. Namun bagiku, dalam sepi ada musik. Sepi adalah musik yang maha makna. Namun sedikit terasa dangkal jika sepi dijadikan sebagai musik yang mewakili kesepian, menggambarkan peristiwa-peristiwa yang sepi, karena aku sering merasa dalam musik paling beriksik yang sering aku dengar, di dalamnya terdapan kesepian yang sangat dalam. Keheningan dan perasaan-perasaan sunyi yang lainnya. Ini hanya pandangan pribadi semata. Setiap kepala punya hati yang berbeda. Jika tak sama boleh tak suka. Jika terdapat kesamaan-kesamaan, itu adalah suatu kawajaran. Karena kita punya rasa dan indra dengan fungsi yang sama. Selamat mencari dan menikmati. Musik dalam sepi adalah musik maha makna.

2010,
Ciputat

Ini Bukan Lagu Cinta


Ini Bukan Lagu Cinta
________________________________(Zaky Mubarok)


Musik, bukan hanya pada saya, tetapi juga pada anda, memberi efek yang sangat kuat terhadap ingatan. Bentuk gubahannya atau liriknya ternyata bisa menyimpan peristiwa yang sangat panjang melalui memori ingatan kita. Musik kemudian menjadi jembatan antara peristiwa yang pernah kita lalui untuk diingat, dan mengingatkan kembali. Pada anda dan saya, mungkin musik ada yang menjadi ungkapan perasaan, gambaran peristiwa, potret sebuah fragmen, penenang kegelisahan, atau menimbulkan perasaan cinta, benci, kerinduan yang amat sangat ketika musik terdengar. Seolah semua yang telah terlewati terulang lagi. Terulang begitu saja. Tidak hanya waktu, ruang, tapi terkadang semua peristiwa seolah terkecap panca indra kembali.
Satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, berapa lagu yang kita dengar ? berapa lagu yang baru kita kenal ? saya kira banyak. Tapi hanya beberapa lagu yang memotret kejadian-kejadian dalam hidup kita dengan sempurna.
Pernah mendengar Corazon de Santiago-nya Marty Friedman? Tahun 2005, lagu ini pernah melatari saya ketika mendekati perempuan. Saat itu sedang musim freetalk dari sebuah provider seluler di negri ini. Sambil melakukan persuasi, lagu ini sering saya putar dan menjadi latar. Sampai akhirnya ketika lagu ini terdengar lagi, nyaris semua kejadian saat itu seperti terulang. Sering membuat saya merasa bodoh, lucu, menyedihkan. Coba bayangkan, pada saat seharusnya kita istirahat…dengan susah payah menahan kantuk, hanya karena ingin ngobrol dengan wanita, aku relakan begadang…ngobrol lewat telepon gratisan yang hanya disediakan tengah malam sampai pagi. Padahal, siang harinya bisa ketemu dan ngobrol dengan si wanita. Karena kelelahan dan ngantuk, hilanglah kesempatan bertemu, melakukan persuasi secara langsung, dan tidak berkegiatan di siang hari. Tolol. Korban iklan, tetapi yang jelas itu kenangan yang terpotret oleh musik melalui memori ingatan.
Lagu itu mengingatkan saya bukan pada perempuannya. Bukan pula pada akhir cerita saya dengan perempuan itu yang diabadikan oleh lagu “Ipang – Ada yang Hilang”, tetapi mengingatkan saya saat itu menjadi korban dari sebuah strategi pemasaran. Menjadi konsumen bodoh, hanya melihat daya maanfaat yang sebetulnya tidak banyak. Hanya karena gratis kepada sesama, merelakan tidak tidur, dan tidak memikirkan kesehatan juga stamina tubuh untuk melanjutkan kehidupan esok harinya. Parah…!!! Saya pikir, mereka sang pemasar juga punya tujuan seperti yang saya duga yaitu menginginkan semua warga Negara ini memakai barang mereka, kemudia semua tertidur di kala siang hari karena kelelahan begadang di malam harinya. Nantinya, semua kebutuhan orang-orang ini (konsumen) akan disediakan oleh suatu perusahaan yang pelayanannya melalui media elektronik. Mereka hendak menjadikan saya manusia konsumtif pasif.
Sedih memang, ketika kesadaran ini terbangun. Ketika tersadar bahwa aku kehilangan si wanita hanya karena aku sadar, bahwa tak baik berlama-lama nelpon di malam hari. Bermalam-malam, sampai lupa kesehatan sendri. Padahal kesempatan bertemu ada, sekalipun tak bisa berbicara sepanjang yang sering dilakukan di malam hari melalui telepon gratis yang kemudian berubah hanya menjadi murah saja. Alasanya klasik, dia bilang kurang perhatian. Aku membatasi menelpon malam hari dengan alasan menjaga kesehatan, dia bilang kurang perhatian. Padahal untuk kebaikan bersama. Parah…!!! Come on…sadar dong…!!! Kita sedang diserang. Kita sedang diarahkan menjadi manusia dengan daya konsumsi yang tinggi dengan tawaran pertama manfaat-manfaat yang tidaklah banyak. Malahan, manfaat itu akan menjadi malapetaka yang besar di depan kita, nanti.
Santiago de Corazon, memotret sebuah kenangan yang lucu. Tiga bulan sebagai pengguna jasa telepon gratis malam hari. Dapat perempuan dan menjadi pacar dua minggu. Masuk klinik. Sakit selama beberapa hari dan nyaris saja kena tifus. Parah. Saya merasa sangat payah saat itu. Cinta, memang tak punya mata. Membutakan apa saja, kapan saja, di mana saja. Apapun demi cinta akan dilakukan. Akh…kalau dikaitkan ke sana rumit. Semuanya akan menjadi salah. Semuanya akan menjadi benar. ada poin penting yang bisa saya ambil, saya sadar sedang diserang sebuah virus. Virus budaya konsumtif, hanya karena melihat manfaat menggiurkan padahal selanjutnya sangat mebahayakan.
2010,
Ciputat