Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Thursday, March 3, 2022

TERNYATA DIA MAHLUK GAIB

Hai para pembaca yang budiman --- 

tulisan kali ini sedikit berbeda, aku punya sedikit kisah pernah bertemu mahluk gaib. tapi sebelum itu, teman-teman pembaca jangan lupa ngopi, siapkan cemilan dan obat mual...ya siapa tahu, cerita ini bikin mual dan mules.

Selamat Membaca.

TERNYATA DIA MAHLUK GAIB


Aku lupa kejadian tepatnya malam apa. Tapi samar-samar dalam ingatanku, itu kalau bukan malam kamis, ya malam jumat. Karena waktu aku smp, aku di asrama, dan biasanya, sering libur ngaji atau kegiatanya hanya sebentar biasanya di dua malam itu.

Tuesday, April 28, 2020

Kok Ada Bagong di Jakarta?



Ini Sungguh keterlaluan, saya beberapa hari ini tidak menulis, untunglah ada cerpen kiriman dari seorang teman, Harun namanya, penjual buku, pembaca yang baik, mahasiswa, dan menulis novel. Sudah dua Novel ia tulis.

selamat membaca cerpennya --- jangan lupa ngopi dan selalu jaga kesehatan.

Kok Ada Bagong di Jakarta?
Cerpen oleh : Harun Maulana

Dua hari menjelang ujian. Parman dikejutkan dengan keadaan ayahnya yang mulai memburuk. Ayahnya dipulangkan dari rumah sakit karena banyak prediksi yang mengatakan bahwa Ayah Parman tidak akan selamat. Ibunya pun mengusulkan kalau lebih baik dia dirawat di rumah saja.

Monday, January 31, 2011

Buka-Buka file

Lagi buka-buka file di komputer, gua nemu saja lama. sajak yang gua tulis limatahun yang lalu...hmmm...ga terlalu lama sih, biasa aja, but...jadi ter ingat sesuatu...hmmm ah whateverlah...naon wae...


Yap Kadieu

yap kadieu cinta
urang ningali balong
anu pinuh ku bentang

yap, yap kadieu
di dieu aya cikopi jeung bala bala
keur nguseup,
cenahmah hayang katumbiri
jeung layung, susuganan ngait

yap, yap kadieu
urang mapay mapay galeng
nenjoan sawah anu keur tibra
bari ngais kanyeri lemah cai

yap kadieu cinta
di dieu aya keneh sapiring kaheman anu nyesa
urut barudak
basa keur perang poe kamari

yap, yap kadieu
tuh geura
aya mega mawa kembang ros
bangun beuruem
euleuh itu
itu geura

yap, yap kadieu
aya angin keur lulumpatan
bari mawa beja
aya anu keur katresna


cipasung, 2 Januari 2004

Saturday, October 23, 2010

Mendung Tak Perlu Hujan

Mungkin ini adalah cara melawan kepenatan di otak di sela-sela mengerjakan skripsi. Mencoba membebaskan pikiran dengan main game. Kadang-kadang sesekali nongkrong di warung deket pintu keluar kampus sambil menggoda mahasiswi-mahasiswi yang montok dan sedikit berdandan aneh. Bagai mana tidak, mereka pergi ke kampus dengan pakaian shopping, atau pakaian senam-legging mode on. Atau kadang-kadang mereka seperti pulang dari kondangan. Sebetulnya tak perlu merasa aneh memang keadaanya seperti itu. Banyak yang tidak bisa menempatkan diri. Jadi kalau aku menggoda mahasiswi yang sedikit seksi karena pakai legging atau kalau kata dosenku kaus kaki yang sampai kepinggang, aku anggap wajar-wajar saja. Bukan merendehkan perempuan, tapi aku tertarik karenanya. Juga mungkin aku yang tak bisa tinggal diam melihat mereka seperti itu.

Menulis skripsi membuatku suntuk. Di depan komputer berhari-hari. Baca buku lagi. Ngetik lagi. Jadi, hiburan yang paling menarik adalah nongkrong. Kadang-kadang nonton blue film juga kalau lagi malas keluar dari kamar kos. Tak usah mencibir begitu, apa lagi kalau punya kebiasaan yang sama. Santai-santai saja lah.
Di kamar, aku tinggal berdua. Teman sekamarku juga berada di nasib yang sama. Sama-sama sedang mengerjakan skripsi, sama-sama semester kelewat batas. Bedanya, dia punya pacar, aku tidak. Itu saja. Tapi sejauh ini, aku belum pernah melihatnya jalan sama perempuan. Apalagi dibawa kekamar. Jadi, aku menyangsikan dia punya pacar. Belum ada bukti yang nyata. Walau sesekali aku sering sedikit terganggu kalau dia sedang bertelponan di kamar. Itulah dia, tak terlalu care urusan begituan.

Sore. Tak terlalu terang. Sepertinya langit akan menurunkan hujan. Tapi aku sudah jenuh di kamar. Nonton haya membuatku menelan ludah saja dan kencing berkali-kali. Akhirnya aku putuskan nongkrong saja. Si Aziz temanku sedang ke Perpustakaan Nasional. Belum juga pulang. Mungkin dia jalan-jalan dulu sama pacarnya. Lagi pula, pusing-pusing amat nunggu dia. Jadi aku nongkrong sendiri.

Dari jauh, aku melihat seorang perempuan yang agak sedikit berbeda. Tak beda-beda betul, hanya saja aku melihatnya beda dari yang lain. Padahal biasa-biasa saja. Tak memakai legging, juga tak seperti pulang dari kondangan. Dia hanya mengenakan classic blue jeans dengan kaus katun warna ungu yang agak sedikit tipis. -Jangan mikir yang aneh-aneh, kaosnya tak tembus pandang.- Kerudungnya juga biasa saja. Tak didandani seperti mau peragaan busana.

Seperti ada magnetnya. Aku tak memalingkan mata sedikitpun. Tatapanku tajam ke arahnya. Pun dengan si perempuan, dia melihat ke arahku seperti mengenalku. Merasa di tatap balik aku sedikit merasa kikuk. Apa lagi saat dia benar-benar berjalan ke arahku. Sebetulnya aku tak perlu merasa begitu. Sebab aku nongkrong di depan warung makan. Wajar saja kalau dia menatap ke arahku.

“Resti.” Kata perempuan tadi yang kini sudah berdiri di depanku sambil menyodorkan tangannya. Aku sedikit tak percaya. Tapi jelas di dekatku tak ada lagi yang nongkrong. Sadar begitu, aku langsung menyambutnya sambil kuberikan senyum mautku yang kata teman-temanku mirip senyumnya Nicolas Saputra, yang beda nasibnya saja.
“Ardi.” Jawabku sambil menjabat tangannya yang halus. Lalu kutarik untuk mengajaknya duduk.
“Kenapa tadi memandangku seperti itu?” Tanya Resti. Hampir saja aku mati kutu dibuatnya.
“Kamunya aja yang kege-eran. Setiap kali aku duduk di sini pasti begitu, yang lain biasa-biasa aja.” Jawabku sambil nyengir.
“Iya sih. Aku juga sering melihatnya. Mungkin baru kali ini kebetulan bertatapan.”
“Itu jodoh namanya.” Godaku.
“Ah, Kakak bisa aja.” Katanya sambil tersipu. Pipinya, yang indah jadi kemerah-kemerahan. Tapi dari senyumnya dan cara dia menatap, aku sudah tahu, sebetulnya dia senang.
“Lho…kok Kakak, memang kamu tahu aku?” Pancingku.
“Tahulah, aku kan belum pikun Kak. Kak Ardi yang dulu baca puisi waktu ospek bukan? Terus yang marah padaku karena tak membawa aksesoris ospek. Iya kan?” Dia mencoba meyakinkanku.
“Mungkin, Aku agak-agak pelupa.” Jawabku. Padahal waktu tadi aku memandangnya, aku sedang mengingat-ingat, sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi di mana? Sekarang tak perlu lagi aku bertanya dia jurusan apa kampus. Dia sudah memberikan kuncinya. Resti satu Fakultas denganku. Kampus UIN Jakarta ternyata tak terlalu besar.
“Kakak sekarang semester berapa?” Pertanyaan klasik pikirku. Ini pertanyaan paling aku tidak suka sejak setahun yang lalu.
“Sedang skripsi.” Jawabku sedikit ketus.
“Kakak gimana sih, ditanya semester kok jawabnya sedang skripsi sih.”
“Kamu hitung saja sendiri. Waktu kamu diospek, aku semester tujuh. Sekarang kamu semester berapa?”
“Aku sudah semester tujuh Kak. Wah…berarti sekarang Kakak semester…”
“Kakak lagi, Kakak lagi, geli aku dengernya. Udah…Ardi aja. Kesannya aku tua banget dipanggil Kakak.” Potongku, biar tak dia tak menyebutkan angkal sial.
“Yah, kan ga enak, Kak. Kenyataannya begitu. Kamu lebih tua dari aku.” Keluh Resti sambil mencoba menyebut kamu padaku.
“Nah, itu saja lebih enak. Aku…Kamu…atau Lu…Gue…gimana?”
“Canggung.” Katanya sambil tersenyum. Ah, senyumnya…kalau aku bisa melihatnya setiap hari, skripsiku bisa cepat selesai. Ups, jadi lebay begini. Stop. Nanti yang ada aku seperti yang sudah-sudah. Menggantung skripsi karena frustrasi.
Obrolan masih terus berlanjut. Hmm…lumayan, obati kejenuhan hari ini, batinku. Bisa berinteraksi dan sedikit rekreasi batin. Tak sekedar nongkrong dan menonton peragaan busana sore hari di kampus UIN Jakarta.
“Kakak tinggal di mana?”
“Ngekos. Hihihihi…”
“Iiih…maksudku, kosan kakak di mana?”
“Ke sana aja yuk, repot aku ngejelasinnya. Gimana?” Ajakku. Tanggung, sudah kenal, langsung akrab, siapa tahu bisa berlanjut.
“Boleh. Sekalian, aku mau ikut ke kamar mandi.” Jawabnya tanpa banyak hal yang dipikirkan.

Jam lima sore. Mendung. Aku dan Resti. Kamar kos. Aziz belum juga datang, yang datang malah hujan tak berprikemanusiaan. Air seperti tumpah dari langit. Gemuruhnya mengalahkan roda kereta api yang melintas di jalurnya. Kenyamanan mulai mengancam. Ada suasana lain yang hadir dan tercipta begitu saja. Jatuh cinta atau birahi, aku sendiri tak sempat mendeteksinya dengan detil. Sejak Resti melepas kerudungnya, rambutnya yang legam terurai sepinggang menggodaku. Seolah memintaku untuk menyisirnya. Juga bola matanya yang membuat kehangatan dan memancarkan semangat hidup yang luar biasa.

Aku tak bisa membaca diriku sendiri. Jatuh cinta atau berahi semata. Belum jauh aku meresapinya, Resti sudah jatuh di pelukanku. Suara angin dan hujan tak bisa membuatku tenang. Resti seperti seperti petir. Menyambar-nyambar. Aku kalah dan tak bisa lari. Aku bakar diriku untuk mengalahkan hujan. Aku bawa serta Resti dalam api yang semakin besar dan tak bisa dipadamkan.

Menjelang magrib, hujan agak mereda. Aku sudah tak bisa membedakan mana nyata dan mana mimpi. Kesadaranku tak bisa terkontrol sepenuhnya. Aku tak mengunci pintu. Sebab aku tak pernah berfikir akan seperti ini. Jadi wajar Aziz bisa masuk tanpa mengetuk karena biasanya juga tak pernah mengetuk. Kecuali terkunci.

Melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar aku pikir Aziz akan keluar. Sebab dia sudah sering memergokiku berciuman dengan pacarku yang dulu. Tapi tanpa alasan apapun, Aziz menghantamku setelah melihat Resti. Awalnya kuanggap wajar ketika dia menghantamku. Aku dan Resti dalam keadaan tanpa busana. Kupikir dia mencoba menyadarkanku. Tapi dia terus-terusan menghantamku nyaris tanpa ampun kalau tak aku lawan. Aku berbalik menghajarnya. Kami berdua seolah belum pernah kenal dan seperti musuh yang sudah lama menyimpan dendam. Saling pukul. Saling tendang. Untungnya tak ada senjata tajam yang membahayakan nyawa kami berdua. Hujan pun meredam baku hantam di dalam kamar. Resti hanya bisa menangis dari balik selimut di pojok kamar.

Aku dan Aziz berutung, akhirnya bisa mengontrol emosi setelah mulai kelelahan dan terlalu banyak badan yang kesakitan. Setelah berpakaian, aku mengunci kamar lalu mengajak Aziz berbicara. Tapi dia malah meneteskan air mata tanpa suara. Namun jelas, raut wajahnya yang sudah lebam nampak begitu terpukul dan hancur. Aku biarkan saja menangis sampai dia mau berhenti sendiri. Resti juga masih menangis. Akhirnya aku hanya bisa diam sambil merasakan seluruh luka dan lebam di badana ini. Ah, Jangan-jangan, Resti adalah pacarnya Aziz. Kalau itu salah dia sendiri, kenapa tak dia kenalkan padaku. Batinku.

“Resti adik gue Di.” Ungkap Aziz memulai percakan dengan nada yang berat.

Monday, May 31, 2010

MAYA

-->
Sebagai lelaki. Aku kira wajar jika terobsesi dan tergila-gila sama yang namanya perempuan. Mendambakan mendapatkan bidadari yang akan melayani dan menjadi hiasan matanya suatu hari nanti. Aku kira perempuan juga sering melakukan hal yang sama. Membayangkan seorang pangeran datang menjemputnya sebagai pengantin, berkendaraan BMW, berpakaian serba mahal dan berpenghasilan cukup. Cukup buat jalan-jalan keliling dunia saat liburan tiba, cukup buat beli pulau saat tua ingin bertani, cukup untuk membeli perlengkapan dan perbendahaaraan rumah untuk lima belas turunan. Mungkin hanya sedikit lelaki dan perempuan yang tidak berpikiran kesana. Tidak pernah ada masa depan dalam mimpi. Ia mengalir seperti air. Mengikuti alirannya.
Sudah hampir tiga bulan, sejak kenal dengan dunia maya, pekerjaanku hanya mencari wanita. Motifasi awalnya hayalah ingin berkenalan kemudian mengkoleksi foto-foto cantiknya sebagai hiasan monitor, dan menjagaku tidur saat rasa ngantuk tiba. Tapi motifasi ini berkembang kemudian. Sejak mengenal Mirna, gadis pesbuk yang hampir punya kelakuan mirip denganku – online 20 jam dan makan mengandalkan jasa deliveri - dan membuat hidupku semakin berirama.
Awalnya aku ragu, bahwa ia adalah wanita betulan. Sebab di foto profilnya ia memakai foto salah satu ikon seks negri ini. Ow-ow-ow...biasa aja kali - Sampai kemudia akhirnya ia mau mengirimkan foto dirinya sendiri tapi tidak lewat pesbuk, melaikan melalui jaja operator seluler dengan MMSnya. –oh terimakasih teknologi, karena kau duniaku semakin berirama- itu pun dengan susah payah dan persuasi yang berdarah-darah di pesbuk agar dia mau ngasih foto dan beralih komunikasi dengan ku hanya lewat telepon saja. Biarlah pesbuk hanya mencatat apa yang aku pikirkan…-98% aku nulis status ga pernah asli…wkwkwkwkwk …-
Pesbuk, telpon, internet, membuat hidupku berirama… semakin berirama dan akhirnya sampailah pada irama tertinggi. Aku dan Mirna merencanakan pertemuan. Aku sebetulnya tak yakin, sebab bisa saja foto yang dia kirimkan waktu itu juga bukan foto dirinya. Stttt… Jangan tanya seperti siapa…sebab akan membuat kalian menginginkannya…hey tak usah begitu tatapannya…biasa aja dong…oke-oke…aku ceritakan seperti apa dia.
Mirna, gadi sunda keturunan. Ya kira-kira wajahnya mirip dengan salah satu foto model Mystique Magazine Katia Corriveau. Tau? Kalau engga liat aja sendiri. Memang tak begitu cantik, tapi bagi ku menarik. Dengan tingggi 5.4’’ dan measurement 34b, 21, 34 sering membuat mimpiku indah dan mau tidak mau harus mandi selalu ketika bangun. Ngompol enak gw...hehehehe…
Akhirnya, kami pun bertemu. Coba anda tebak, seperti siapa? Apa foto yang dia kirim itu betul-betul betul dirinnya atau bukan? Tebakan anda salah…itu bukan foto dirinya. Tapi foto sepupunya di Canada sana. Dia sengaja dan alasannya bagiku masuk akal. Mirna..... Lebih cantik dari foto yang ia kirim. Tuhan terimakasih kau perkenalkan aku pada dunia maya dan kemahiran teknologi. Tapi juga aku sangat menyesal, tidak menggunakannya dengan bijak dan membuatku terjebak.
Mirna datang ke kamar, saat tulisan ini di buat. Ini kedatangannya yang ke tiga kali. Seperti biasannya. Masuk kamar dan langsung berbaring di kasur tanpa banyak bicara. tapi yang ketiga ini lebihn dahsyat. Mirna tak berbaring lagi, tapi bersandar di bahuku lalu memelukku erat. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan dan apa yang akan dia lakukan jika aku masih tak meresponnya. Bebanku saat ini hanya satu, aku kuliah sudah tujuh tahun dan sudah mendapat surat pangilan dari rektor. Tapi aku tahu betul apa yang akan dikatakan Mirna. Tapi aku belum lulus. Persetan dengan kelulusan. Aku mencintai Mirna.
Dunia maya ini membuat hidupku berirama. Mirna memelukku semakin erat. Aku tahu, dari tadi air matanya sudah membasahi bahuku. dunia maya ini juga yang akhirnya menyadarkannku harus kembali pada dunia nyata.
“Baiklah. Kita menikah bulan depan. Nanti kalau permpuan namanya Maya, kalau lakilaki namanya Lana” Ucapku.

Thursday, May 20, 2010

BINTANG DUA DUNIA

BINTANG DUA DUNIA

Sejak beradu pandang dengan seorang Wanita bercadar, Ridwan seperti terbius olehnya. Hamper setiap malam tatapan Wanita itu seperti menghantui. Datang dalam setiap mimpi. Tatapan penuh harapan dan menggoda. Sesekali Ridwan mencoba menepis tatapan itu. Tapi semakin lama semakin kuat dalam ingatan. Seolah merayu, seolah meminta Ridwan untuk menemuinya.
Aku tak mau tergoda. Lagi pula wajahnya tak kelihatan. Tapi aku yakin betul, sorot matanya jelas berbicara padaku. Coba saja, aku akan cari tahu. Siapa tahu anugrah dari tuhan. Kata orang, wanita seperti itu kalau langsung dilamar suka langsung nyantol. Tapi aku belum tahu wajahnya gimana ya? Piker Ridwan dalam setiap lamunannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk mencari Wanita itu setelah merasa lelah dan terganggu dengan sorot mata Wanita bercadar yang sebulan lalu beradu tatap di tangga kampus.
Pada hari yang sama seperti ketika ia bertemu dengan Wanita itu. Ridwan menunggu Wanita itu keluar dari gedung. Menjelang sore, yang ia tunggu akhirnya muncul. Berjalan menuju jalan raya kemudia menaiki salah satu angkutan di depan kampus. Ridwan menguntitnya dengan sepeda motor. Sampai akhirnya Ridwan mengetahui tempat tinggal si Wanita. Tapi ia tak mau terburu-buru. Salah salah Wanita itu hanya menemui seseorang di sana karena ada keperluan.
Sudah hamper jam sepuluh malam. Ridwan masih menunggu di warung yang bisa melihat pintu keluar susun. Tapi dari rumah susun yang Ridwan pantau tak satupun Wanita bercadar keluar dari sana. Sementara ia merasa lega. Sebab satu persoalan sudah selesai. Ia mengetahui tempat tinggal Wanita yang tatapan matanya selalu mengganggu tidurnya.
Ridwan meninggalkan rumah susun dengan perasaan lega. Hatinya sudah mulai berbunga-bunga. Dalam pikiranya muncul hal yang aneh-aneh. Hiburan dulu ah…sebelum tobat, dan mendampingi Wanita itu. Mari nikmati malam minggu dan penghabisan masa lajang. Gumamnya sambil membelokan motornya menuju sebuah diskotik di tengah Jakarta. Biasanya hamper tiap malam minggu Ridwan ke diskotik dengan teman-teman kampusnya, tepi sejak beradu tatap dengan Wanita bercadar sebulan yang lalu, malam minggu hanya ia habiskan untuk melamun di kamar.
“Ke mana aja tuan yang satu ini?” sapa seseorang pada Ridwan.
“He..he..he…ada kerjaan yang menyita weekend bro.” jawab Ridwan.
“Pekerjaan…apa…? dapet cantolan baru…ya bro?” sela seorang lagi.
“Ah…lu ada-ada aja men. Lu kan tau sendiri, gue baru bisa nyantol kalo ada yang bisa bikin gue ga bisa tidur sebulan…hehehehe.” Potong Ridwan sambil menyembunyikan apa yang sedang ia alami saat ini.
Lampu diskotik terus berkelip. Dj dan para pecandu dance makin menyatu dengan lantai dan alunan musik. Ridwan sejak dan kawan-kawannya masih duduk di pojok dengan minuman masing. Sesekali Ridwan menggeleng-gelengkan kepalanya, manggut-manggut mengikuti hentakan musik dan mengikuti pengaruh alcohol. Matanya berkeliling dari pojok ke pojok. Juga kelantai dansa tak terlewatkan. Sampai akhirnya matanya berhenti di satu titik. Ia melihat seorang Wanita sedang menari sendirian. Nampak sudah sangat mabuk. Dalam kepala Ridwan muncul kondom dan kasur. Ia tersenyum sendiri dan lupa pada tatapan mata Wanita bercadar.
“boy, yang itu siapa? Lo kenal? Gue baru lihat, kayaknya orang baru.” Tanya Ridwan kepada Aboy. Sambil menunjuk Wanita yang sedang asik dibawah pengaruh musik dan minuman keras.
“o…itu. Orang baru. Dia sering ke sini pas lo mulai ga ke sini. Hamper tiap malam.” Jawab aboy.
“begitu toh.” Sahut Ridwan sambil beranjak menuju Wanita yang sedang menari.
“kemana lo?” Tanya Aboy.
“Memangsa.” Jawab Ridwan seenaknya.
Lampu terus berkelip. Musik terus meng hentak. Sesekali Ridwan memeluk Wanita itu. Semakin erat. Semakin dekat.
________________________________***_________________________________
Sudah hamper dua bulan sejak malam itu Ridwan banyak mengurung diri di kamarnya. Jarang ke kampus. Sekalinya ke kampus, ia hanya mencari wanita bercadar. Juga jarang ia temui. Pernah ia susul ke tempat tinggalnya. Namun sudah tak ada. Sesekali ia ingat wanita dari diskotik malam itu. Wanita tercantik yang pernah ia temui. Seumur hidup Ridwan, malam itu begitu indah. Bisa bermalam dengan bidadari. Juga pernah ia cari ke tempat mereka menginap. Hasilnya sama. Sudah tidak ada. Rumah susun yang dikontrak si Wanita diskotik sudah kosong.
Gila. Aku bisa gila. Dua orang berbeda ada di satu tempat yang sama. Hanya kebetulan saja barangkali. Tapi, matanya kok sama ya? Akh…mungkin malam itu karena mabuk dan aku terbayang mata wanita bercadar, jadi mata si Wanita diskotik jadi mirip. Salahnya aku nggak minta nomor tu cewe. Emang biasanya begitu, ngapain langganan. Hehehe…Sudahlah. Itu namanya rejeki. Ngapain dipikirin bikin gila aja. Mending cari kegiatan lain di kampus. Tapi tetap saja Ridwan hampir tiap malam memikirkan hal yang sama.
_________________________________***_________________________________
Pada hari yang sama seperti ketika ia bertemu dengan Wanita bercadar. Ridwan tak sengaja bertemu lagi. Wanita itu keluar dari gedung. Berjalan menuju Ridwan yang sedang asik nongkrong sambil menggoda mahasiswi-mahasiswi yang pulang kuliah.
“Temui aku malam ini.” Kata si Wanita bercadar, sambil memberikan sehelai kertas. Kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Ridwan.
Sepeninggalan Wanita bercadar itu, Ridwan seperti kena hipnotis. Dia mematung. Terbius oleh suara wanita bercadar yang selama ini matanya menggangu tidur Ridwan. Setelah wanita itu hilang dari pandangan, barulah ia membaca kertas yang diberikan si Wanita. Alamat tempat tinggal rupanya. Rumah susun lagi. Dan kenapa mesti malam ya? Ah peduli amat…temui saja, barangkali dengan begini aku bisa tenang dan matanya tak lagi mengganggu tidur. Gumam Ridwan sambil tersenyum sendiri.
Ridwan menyusuri jalan dengan motornya. Sepanjang jalan ia tak berhenti berpikir dan berbicara dengan dirinya sendiri. Sesekali ia merasa ketakutan, jangan-jangan sampai di sana minta di kawin. Jangan-jangan sampai di sana aku disumpah dan di suruh masuk golongongan mereka. Akh…kalau memang sudah waktunya, tak apa. Kawin saja.
Sesampainya di tempat tujuan. Wanita itu sudah menunggu di tengah rumah. Di rumah susun itu ia hanya tinggal sendiri. Cukup bersih dan indah, dihiasi perabotan dan aksesoris ruangan mempercantik rungan tempat mereka bertemu. Ridwan masih asik mengelilingkan matanya keseluruh ruangan. Tiba-tiba mata Ridwan berhenti di satu titik. ada lukisan yang membuat Ridwan bingun, dan mengerutkan dahi, ia merasa seperti pernah melihatnya. Tapi ia lupa, di mana.
“Kenapa? Ada yang aneh?” Tanya si Wanita memulai.
“e…tidak, tapi aku sepertinya pernah meliha yang satu itu, sepertinya belum begitu lama tapi aku lupa di mana.” Jawab Ridwan. Matanya masih menatap lukisan, dan pikirannya mencoba mengingat di mana ia pernah melihatnya.
“ Kalau yang ini pernah lihat juga?”
“Jangan menggodaku, aku sedang mengingatnya di mana. Sebentar saja.” kata Ridwan.
“Lihat dulu ke sini.” Kata si perempuan sambil membuka cadar dan kerudungnya.
Ketika melihatnya. Ridwan tak bicara. Bahkan nyaris mematung. Bagaimana tidak ada perempuan berkerudung dan bercadar rela memperlihatkan wajahnya tanpa diminta. Bagi ridwan, wajahnya mengalahkan Maria Ozawa dan Leah Dizon yang sering ia tonton, apa lagi Pamela Anderson…lewat. Ridwan lebih terkejut lagi, ketika menyadari bahwa yang ia lihat adalah Richa perempuan malam yang ia temui dua bulan yang lalu. Perempuan yang juga mengganggu tidurnya.
“Ya, ini aku. Richa. Itu adalah nama malamku. Namaku Marisa Juliana. Aku jatuh cinta padamu sejak kita beradu tatap tempo lalu di tangga. Senyummu tak bisa lepas dari ingatannku. Tidurku terganggu bayangan wajahmu. Tapi aku tak bisa mencarimu. Kamu jarang kuliah dan aku tak tau siapa kamu. Perkenalan dan pertemuan kita di diskotik adalah kebetulan. Tapi mungkin itu jalannya cinta. Makannya ketika kamu mendekatiku, aku langsung menyambutmu. Aku adalah orang yang tak perduli dengan cinta karena tak mau ribet karenanya. Sebab untuk hidup saja aku memiliki jalan yang tak umum. Aku kupu-kupu malam. Tapi pertemuan denganmu memberikan aku harapan, dan menyadarkan aku bahwa cinta itu ada dan indah. Dan malam itu adalah malam terakhirku sebagai kupu-kupu malam. Aku sudah meninggalkannya, sekalipun di sana apa saja bisa aku dapatkan. Jangan pernah bertanya kenapa menjalani dua dunia yang berbeda. Cuma alasan sederhana yang bisa aku katakan. Aku tidak ingin orang tahu siapa aku. Sebab sejak kecil, aku tidak punya siapa-siapa. Aku begitu karena aku kuliah di tempatmu. Di sana semua perempuan berkerudung. Aku hanya mengitkutinya saja tapi belum bisa meninggalkan dunia malamku. Dan malam itu, aku ingin mengakhirinya, dengan tekad aku akan mencarimu. Lalu dengan mudah kau merapat dan mendekat. Tapi tetap saja, meski malam kita lewati sampai pagi, aku belum tau kamu. Aku terlalu mabuk, ketika bangun kamu sudah tak ada. Setelah malam itu aku pindah, karena sudah tak ingin menerima tamu dan dicari laki-laki hidung belang, aku ingin mencarimu. Ternyata, tuhan memberikan kemudahan lagi bagi yang ingin berubah. Ridwan, malam ini aku ulang tahun. Aku memintamu datang ke sini karena aku ingin kamu menemaniku dan aku ingin kamu tahu, bahwa aku jatuh cinta padamu. Itu saja, sekarang hatiku sudah lega apapun akhirnya.”
Ridwan tak berkata apapun. Dia hanya diam. Sebagai lelaki, di hadapkan pada wanita seperti itu ia merasa menjadi melankolis. Pikiran dalam kepalanya tiba-tiba menjadi rumit. Ketakukan sejak di jalan terjadi juga. Hampir satu jam. Mereka tak berkata-kata. Keduanya bingung dengan pikiran-pikirannya sendiri. Sesekali bertatap-tatapan, sesekali hanya memandang ke arah jendela dan pintu kamar. Ruang tengah terasa hening. Hanya suara-suara taak jelas dari luar dan bawah rumah susun yang terdengar.
“Ridwan, ngomong dong…kamu mikirin apa sih?” Tanya Richa memecah kesunyian.
Ridwan hanya menatap Richa. Tak banyak bicara. Lalu Ridwan menggendong Richa ke kamar. Sambil berbisik, “Minggu depan aku akan melamarmu.”

2010,
Ciputat

Friday, May 14, 2010

Kesempatan Kedua

KESEMPATAN KEDUA
__________________________(Zaky Mubarok)


Pagi sudah hampir tiba lagi. Lagi-lagi terulang. Terulang, dan terulang lagi. Membiarkan mata terbuka, sampai matahari tiba di jendela. Akh…aku benci suasana ini. Gumam Lisna dalam hatinya. Tapi tetap saja, dia tak juga memejamkan matanya, meski tubuhnya dari tadi sudah terbaring di kasur. Pikiran dan perasaannya masih berkeliling entah di mana. Sesekali dia tersenyum, sesekali berang pada dirinya sendiri. Sudah hampir dua minggu. Ia memikirkan hal yang aneh-aneh dan sudah lama tak ia rasakan. Mungkin perasaan-perasaan seperti remaja. Pernah sekali ia rasakan, sudah lama sekali dan berakhir dengan tragis. Lisna hampir saja mengakhiri hidupnya. Dari situlah dia tak mau lagi kedatangan cinta dengan minyibukkan dirinya pada pekerjaan.

Jangan-jangan aku jatuh cinta. Tidak, aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Dia terlalu muda untukku dan aku belum begitu mengenalnya. Dia juga belum tahu, kalau aku lebih tua darinya Sembilan tahun. Akh…apa benar, aku sudah tua? Gumamnya gusar. Kemudian Lisna mengambil cermin kecil dari meja riasnya. Ia perhatikan wajahnya. Sesekali ia kerutkan keningnya. Lalu tersenyum sendiri. Kemudian ia mengambil Hp-nya. Ia buka foto-foto, lalu ia perhatikan foto Angga. Ditatapnya lama sekali. Menggeleng-gelengkan kepala. Sekali ia mengangguk-ngangguk juga, lalu tersenyum sendiri lagi. Sesekali ia baca lagi sms dari Angga.

Selain hujan dan angin, hanya suaramu saja yang bisa membuat kepalaku dingin dan perasaan di dada berhenti bergejolak. Terkadang aku ingin mendengar suara ombak terus-terusan mederu di telingaku. Lalu sesekali aku hempaskan tubuhku pada ombak dan membiarkannya terkulai di pantai. Ombak oh ombak, deburnya mewakili hujan, gemuruhnya menggantikan angin. Selain hujan dan angin, hanya suaramu yang sanggup meredam seluruh gejolak di jiwa ini. Inikah persaan cinta ?

Terus saja begitu sampai ia tertidur dan tak ingat apa-apa lagi.

Sepanjang ia tidur, Hp Lisna berdering berkali-kali. Tetapi ia tetap tertidur. Pulas. Barangkali karena ia sadar ini adalah adalah hari libur. Jadi, ia ingin tidur sepuas mungking, atau memang benar-benar kelelahan setelah kurang tidur selama berhari karena pikirannya sendiri.

Tengah hari. Lisna baru bangun. Lalu ia duduk di depan meja rias. Ia rapihkan rambutnya. Ia perhatikan lagi wajahnya. Seluruh tubuhnya. Lalu tersenyum sendiri. Masih cantik, tak terlalu tua. Aku sudah siap. Gumamnya penuh percaya diri.
Di kepalanya kini penuh dengan wajah Angga. Lisna mengambil Hpnya. Ia berniat mengajak angga bertemu hari ini. Niatnya seperti gayung bersambut. Di layar Hpnya ada enam panggilan tak terjawab dan sms dari Angga. Ia tersenyum-senyum sendiri. Mau teriak tapi takut mengganggu tetangtangga. Akhirnya ia hanya melompat-lompat di atas tempat tidur. Dengan perasan yang campur aduk Lisna membuka pesan dari Angga.

Lis, tadinya aku ingin ketemu kamu, tapi ku telpon tak diangkat terus. Ya sudah, aku ngerti. Mungkin kamu kelelahan oleh pekerjaanmu. Aku cuma mau ngasih tahu, hari ini aku berangkat ke Eropa. Aku ada kontrak kerja selama lima tahun. Tapi ada hal yang lebih penting dari itu, aku jatuh cinta padamu. Maukah kau menunggu untukku?

Lisna terdiam membatu. Ia berusaha teriak sekuatnya. Tapi ia tak mendengar suara apa-apa. Ia hanya merasakan pipinya basah, sambil berulang-ulang mencoba menghubungi Angga, tapi belum juga bisa tersambung. Pikirannya semerawut seperti kendaraan yang ada di jalan di depan rumahnya. Macet. Berantakan. Kusut. Ia hempaskan lagi tubuhnya di atas tempat tidur. Tuhan, apakah aku akan kuat menunggunya sampai umurku emapatpuluh tahun? Gumanya bimbang.

2010,
ciputat

Sepi; Musik Maha Makna

S E P I;
Musik Maha Makna

_____________________________(Zaky Mubarok)


Pernah sekali waktu, aku berbincang-bincang dengan teman. Membicarakan bunyi-bunyian yang bisa menggambarkan perasaan. Tersebutlah musik. Sampai akhirnya mendapat satu kesimpulan bahwa sepi juga musik. Dari sanalah kemudian aku mencari letak bunyi, suara-suara, komposisi yang bisa disebagai musik dalam sepi. Pada awalnya aku tidak mendapatkan apa-apa. Hanya ada hening tanpa suara apapun.

Pernah juga aku membaca cerpen yang di dalamnya menyebutkan, hening itu musik yang paling indah. Owh…di mana letak musiknya? Di mana letaknya indahnya? Tak ada suara, tak ada bunyi-bunyian di sana. Kucari lagi. Kucari lagi. Kucari terus dalam sepi. Musik dalam sepi. Sepi sebagai musik. Sampai akhirnya aku mendapat kesimpulan bahwa terkadang musik yang bisa mewakili perasaan kemarahan adalah hening.

Sepi ternyata bisa menjadi satu komposisi musik yang menggambarkan kemarahan. Tidakkah itu terbalik? Bukannya musik atau bunyi-bunyian yang keras dan bising menggambarkan suatu kemarahan? Aku pikir itu juga benar. Karena memang pada realitas yang biasa kita lihat dan kita dengar, kemarahan banyak ditandai oleh kebisingan, tapi bukankan itu dangkal? Seperti kata pepatah “air beriak tanda tak dalam,”, “tong kosong nyaring bunyinya.” Begitu juga aku merasakan, bahwa musik yang bisa mewakili kemaharahan yang dahsyat adalah sepi. Bahkan, sepi sebagai musik lebih bisa mewakili perasaan perasaan yang lebih dalam, nyaris tak bisa terwakili oleh apapun selain sepi yang kemudian akan mendorong pada tindakan.

Kembali kepada sepi sebagai musik. Seperti halnya WS. Rendra sang penyair membuat “Teater Mini Kata”, kata Goenawan Mohamad. Bukan berarti Rendra sudah tidak percaya pada kata-kata (bagaimana mungkin seorang penyair tidak percaya pada kata-kata), tetapi terkadang kita sering menjumpai peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang tak bisa diungkakan dengan kata-kata, maka sebagai gantinya adalah tindakan. Begitu juga Jerzy Grotowski yang memunculkan “The Poor Theatre” di tahun yang sama dengan Teater Mini Kata, merasa bahwa properti dan set dalam panggung yang ia buat seringkali tidak cukup mewakili pemikirannya dan sudah bosan pada konvensi yang ada. Sampai akhirnya ia memutuskan panggunngya kosong. Selanjutnya para aktornyalah yang dijadikan set serta properti. Dari sinilah aku bertolak dan mencari apa benar sepi bisa menjadi musik, di dalam sepi terdapat musik, dan sepi adalah musik yang paling indah.

Referensi yang aku punya tak begitu banyak. Hanya obrolanku dengan seorang kawan. Hanya sebuah cerpen. Hanya persitiwa yang mirip tetapi sasaranya berbeda. Namun bagiku, dalam sepi ada musik. Sepi adalah musik yang maha makna. Namun sedikit terasa dangkal jika sepi dijadikan sebagai musik yang mewakili kesepian, menggambarkan peristiwa-peristiwa yang sepi, karena aku sering merasa dalam musik paling beriksik yang sering aku dengar, di dalamnya terdapan kesepian yang sangat dalam. Keheningan dan perasaan-perasaan sunyi yang lainnya. Ini hanya pandangan pribadi semata. Setiap kepala punya hati yang berbeda. Jika tak sama boleh tak suka. Jika terdapat kesamaan-kesamaan, itu adalah suatu kawajaran. Karena kita punya rasa dan indra dengan fungsi yang sama. Selamat mencari dan menikmati. Musik dalam sepi adalah musik maha makna.

2010,
Ciputat