Sunday, August 16, 2015

Secangkir Kopi, Aku dan Kamu


1
Memburu kamu di secangkir kopi
Ada buih rindu
Ada ketir yang diciptakan oleh jarak
Tak apa, sebab manisnya rindu lebih dahsyat daripada manisnya mulut politisi
Mereka sering membicarakan hal yang muluk
Tetapi lupa akan kewajaran yang semestinya terjaga
Ada pula yang sering menciptakan mimpi
Tetapi mereka lupa bangun untuk kemudian mewujudkannya
Para politisi itu seperti buah bintaro
Isi buahnya pahit tidak ketulungan

Langit sepi
Kucari kamu di secangkir kopi



2
Kucari kamu di secangkir kopi
Di tumpukan buku, di lembaran pesan elektronik, di bait-bait puisi, di secercah harapan yang kita ciptakan;
Kamu tak ada

Aku malah menemukan lembaran kerja yang tertunda, cita-cita yang kusam tergantung di jendela, foto politisi yang kepingin jadi artis, dan potret suram pendidikan bangsa kita
Ya...kutemui pendidikan bangsa ini menjadi lahan bisnis yang menjanjikan...
Sekolah hanya menjadi status
Tidak menjanjikan pengetahuan dan keterampilan
Buku ajar dipolitisir jadi penghasilan yang menguntungkan
Para guru sibuk memanipulasi nilai, angka kredit, dan perangkat sertifikasi
Sedang siswa terlantar kurang perhatian dan lari ketempat kursusan dan bimbingan
Kenapa lembaga kursus dan bimbingan belajar lebih menjanjikan dari sekolah?
Apakah karena harganya lebih mahal?
Apakah kerena kualitas belajar di sekolah tidak menjanjikan?
Kalau begitu, tutup saja sekolah, mari kita buka lembaga kursus dan bimbingan lebih banyak!
Agar kita kaya, dan yang memerlukan keterampilan tetap terjaga

Ah, kamu tak ada
Aku ingin mengatakan ini lebih banyak
Aku curiga, aku sedang terseret arus bawah
Menjadikan sekolah sebagai lembaga bisnis yang lumrah
Setelah bisnis kesehatan
Aku tulis ini ketika bulan sebelah menjadi gelisah
Dan kamu tak kutemui dalam secangkir kopi

3
Secangkir kopi pagi;
Aku berseru menyebut namamu
Wahai kau yang berkeliaran di dada
Ada tangis di balik senyum yang sumringah
Ada tiran yang pongah berkedok budi yang ramah
Dan kemanusiaan hilang kemerdekaanya
Di jaman cybernetik ini, feodalisme menjadi alasan perlawan pada sikap yang instan
Sikap tunduk dan taat aturan dijadikan perisai atas pembunuhan kemerdekaan
Dan pengabdian adalah alasan kebudayaan alam yang harus diterima tanpa diolah akal sehat
Di manakah kemerdekaan
Di manakah kemanusiaan
Ia telah lama mati di bangku sekolah
Ia tak berdaya di beranda lembaga pendidikan yang feodal dan militeristik
Selama kemanusiaan diartikan tunduk dan patuh pada kebudayaan alam dan meniadakan akal sehat
Kita tak akan bisa membela masa depan

Secangkir kopi pagi;
Kujumpai manis
Kutemui pahit
Berpadu
Seperti aroma senyummu

Secangkir kopi pagi;
Aku teringat kamu
Wahai kau yang berkeliaran di dada
Merdekalah!

4
Secangkir kopi
Semesta duka
Aku teringat Deandles, Rafles, Multatuli, Saijah, Adinda...

Secangkir kopi
Adalah tumpukan sejarah yang tak habis dibaca

5
Secangkir kopi
Lagi
Aku mengecap sepi
Aku mencium rindu
Pada Ibu
Pada kampung halaman
Pada daun, pohon, rumputan
Pada sekian kisah haru
Ada derita yang bersemayam
Aku seperti api dalam abu
Berteriak
Sementara mereka tutup telinga
Korupsi seperti mendarah
Mengalir begitu saja dalam tubuh
Seperti rumput liar
Tumbuh di mana saja
Bahkan subur di lembaga pendidikan

Malam suram
Bulan sesabit menggantung di langit
Secangkir kopi menjadi saksi
Ada suara yang dibisukan
Ada kesaksian yang dibutakan
Bila korupsi bagian dari kerjasama
Aku menolak untuk disamakan

Secangkir kopi
Lagi
Kuteguk segala pahit
Menembus batas tanpa cakrawala


Depok, 14 sept. – 1 okt. 2014

No comments: