Saturday, October 23, 2010

Mendung Tak Perlu Hujan

Mungkin ini adalah cara melawan kepenatan di otak di sela-sela mengerjakan skripsi. Mencoba membebaskan pikiran dengan main game. Kadang-kadang sesekali nongkrong di warung deket pintu keluar kampus sambil menggoda mahasiswi-mahasiswi yang montok dan sedikit berdandan aneh. Bagai mana tidak, mereka pergi ke kampus dengan pakaian shopping, atau pakaian senam-legging mode on. Atau kadang-kadang mereka seperti pulang dari kondangan. Sebetulnya tak perlu merasa aneh memang keadaanya seperti itu. Banyak yang tidak bisa menempatkan diri. Jadi kalau aku menggoda mahasiswi yang sedikit seksi karena pakai legging atau kalau kata dosenku kaus kaki yang sampai kepinggang, aku anggap wajar-wajar saja. Bukan merendehkan perempuan, tapi aku tertarik karenanya. Juga mungkin aku yang tak bisa tinggal diam melihat mereka seperti itu.

Menulis skripsi membuatku suntuk. Di depan komputer berhari-hari. Baca buku lagi. Ngetik lagi. Jadi, hiburan yang paling menarik adalah nongkrong. Kadang-kadang nonton blue film juga kalau lagi malas keluar dari kamar kos. Tak usah mencibir begitu, apa lagi kalau punya kebiasaan yang sama. Santai-santai saja lah.
Di kamar, aku tinggal berdua. Teman sekamarku juga berada di nasib yang sama. Sama-sama sedang mengerjakan skripsi, sama-sama semester kelewat batas. Bedanya, dia punya pacar, aku tidak. Itu saja. Tapi sejauh ini, aku belum pernah melihatnya jalan sama perempuan. Apalagi dibawa kekamar. Jadi, aku menyangsikan dia punya pacar. Belum ada bukti yang nyata. Walau sesekali aku sering sedikit terganggu kalau dia sedang bertelponan di kamar. Itulah dia, tak terlalu care urusan begituan.

Sore. Tak terlalu terang. Sepertinya langit akan menurunkan hujan. Tapi aku sudah jenuh di kamar. Nonton haya membuatku menelan ludah saja dan kencing berkali-kali. Akhirnya aku putuskan nongkrong saja. Si Aziz temanku sedang ke Perpustakaan Nasional. Belum juga pulang. Mungkin dia jalan-jalan dulu sama pacarnya. Lagi pula, pusing-pusing amat nunggu dia. Jadi aku nongkrong sendiri.

Dari jauh, aku melihat seorang perempuan yang agak sedikit berbeda. Tak beda-beda betul, hanya saja aku melihatnya beda dari yang lain. Padahal biasa-biasa saja. Tak memakai legging, juga tak seperti pulang dari kondangan. Dia hanya mengenakan classic blue jeans dengan kaus katun warna ungu yang agak sedikit tipis. -Jangan mikir yang aneh-aneh, kaosnya tak tembus pandang.- Kerudungnya juga biasa saja. Tak didandani seperti mau peragaan busana.

Seperti ada magnetnya. Aku tak memalingkan mata sedikitpun. Tatapanku tajam ke arahnya. Pun dengan si perempuan, dia melihat ke arahku seperti mengenalku. Merasa di tatap balik aku sedikit merasa kikuk. Apa lagi saat dia benar-benar berjalan ke arahku. Sebetulnya aku tak perlu merasa begitu. Sebab aku nongkrong di depan warung makan. Wajar saja kalau dia menatap ke arahku.

“Resti.” Kata perempuan tadi yang kini sudah berdiri di depanku sambil menyodorkan tangannya. Aku sedikit tak percaya. Tapi jelas di dekatku tak ada lagi yang nongkrong. Sadar begitu, aku langsung menyambutnya sambil kuberikan senyum mautku yang kata teman-temanku mirip senyumnya Nicolas Saputra, yang beda nasibnya saja.
“Ardi.” Jawabku sambil menjabat tangannya yang halus. Lalu kutarik untuk mengajaknya duduk.
“Kenapa tadi memandangku seperti itu?” Tanya Resti. Hampir saja aku mati kutu dibuatnya.
“Kamunya aja yang kege-eran. Setiap kali aku duduk di sini pasti begitu, yang lain biasa-biasa aja.” Jawabku sambil nyengir.
“Iya sih. Aku juga sering melihatnya. Mungkin baru kali ini kebetulan bertatapan.”
“Itu jodoh namanya.” Godaku.
“Ah, Kakak bisa aja.” Katanya sambil tersipu. Pipinya, yang indah jadi kemerah-kemerahan. Tapi dari senyumnya dan cara dia menatap, aku sudah tahu, sebetulnya dia senang.
“Lho…kok Kakak, memang kamu tahu aku?” Pancingku.
“Tahulah, aku kan belum pikun Kak. Kak Ardi yang dulu baca puisi waktu ospek bukan? Terus yang marah padaku karena tak membawa aksesoris ospek. Iya kan?” Dia mencoba meyakinkanku.
“Mungkin, Aku agak-agak pelupa.” Jawabku. Padahal waktu tadi aku memandangnya, aku sedang mengingat-ingat, sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi di mana? Sekarang tak perlu lagi aku bertanya dia jurusan apa kampus. Dia sudah memberikan kuncinya. Resti satu Fakultas denganku. Kampus UIN Jakarta ternyata tak terlalu besar.
“Kakak sekarang semester berapa?” Pertanyaan klasik pikirku. Ini pertanyaan paling aku tidak suka sejak setahun yang lalu.
“Sedang skripsi.” Jawabku sedikit ketus.
“Kakak gimana sih, ditanya semester kok jawabnya sedang skripsi sih.”
“Kamu hitung saja sendiri. Waktu kamu diospek, aku semester tujuh. Sekarang kamu semester berapa?”
“Aku sudah semester tujuh Kak. Wah…berarti sekarang Kakak semester…”
“Kakak lagi, Kakak lagi, geli aku dengernya. Udah…Ardi aja. Kesannya aku tua banget dipanggil Kakak.” Potongku, biar tak dia tak menyebutkan angkal sial.
“Yah, kan ga enak, Kak. Kenyataannya begitu. Kamu lebih tua dari aku.” Keluh Resti sambil mencoba menyebut kamu padaku.
“Nah, itu saja lebih enak. Aku…Kamu…atau Lu…Gue…gimana?”
“Canggung.” Katanya sambil tersenyum. Ah, senyumnya…kalau aku bisa melihatnya setiap hari, skripsiku bisa cepat selesai. Ups, jadi lebay begini. Stop. Nanti yang ada aku seperti yang sudah-sudah. Menggantung skripsi karena frustrasi.
Obrolan masih terus berlanjut. Hmm…lumayan, obati kejenuhan hari ini, batinku. Bisa berinteraksi dan sedikit rekreasi batin. Tak sekedar nongkrong dan menonton peragaan busana sore hari di kampus UIN Jakarta.
“Kakak tinggal di mana?”
“Ngekos. Hihihihi…”
“Iiih…maksudku, kosan kakak di mana?”
“Ke sana aja yuk, repot aku ngejelasinnya. Gimana?” Ajakku. Tanggung, sudah kenal, langsung akrab, siapa tahu bisa berlanjut.
“Boleh. Sekalian, aku mau ikut ke kamar mandi.” Jawabnya tanpa banyak hal yang dipikirkan.

Jam lima sore. Mendung. Aku dan Resti. Kamar kos. Aziz belum juga datang, yang datang malah hujan tak berprikemanusiaan. Air seperti tumpah dari langit. Gemuruhnya mengalahkan roda kereta api yang melintas di jalurnya. Kenyamanan mulai mengancam. Ada suasana lain yang hadir dan tercipta begitu saja. Jatuh cinta atau birahi, aku sendiri tak sempat mendeteksinya dengan detil. Sejak Resti melepas kerudungnya, rambutnya yang legam terurai sepinggang menggodaku. Seolah memintaku untuk menyisirnya. Juga bola matanya yang membuat kehangatan dan memancarkan semangat hidup yang luar biasa.

Aku tak bisa membaca diriku sendiri. Jatuh cinta atau berahi semata. Belum jauh aku meresapinya, Resti sudah jatuh di pelukanku. Suara angin dan hujan tak bisa membuatku tenang. Resti seperti seperti petir. Menyambar-nyambar. Aku kalah dan tak bisa lari. Aku bakar diriku untuk mengalahkan hujan. Aku bawa serta Resti dalam api yang semakin besar dan tak bisa dipadamkan.

Menjelang magrib, hujan agak mereda. Aku sudah tak bisa membedakan mana nyata dan mana mimpi. Kesadaranku tak bisa terkontrol sepenuhnya. Aku tak mengunci pintu. Sebab aku tak pernah berfikir akan seperti ini. Jadi wajar Aziz bisa masuk tanpa mengetuk karena biasanya juga tak pernah mengetuk. Kecuali terkunci.

Melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar aku pikir Aziz akan keluar. Sebab dia sudah sering memergokiku berciuman dengan pacarku yang dulu. Tapi tanpa alasan apapun, Aziz menghantamku setelah melihat Resti. Awalnya kuanggap wajar ketika dia menghantamku. Aku dan Resti dalam keadaan tanpa busana. Kupikir dia mencoba menyadarkanku. Tapi dia terus-terusan menghantamku nyaris tanpa ampun kalau tak aku lawan. Aku berbalik menghajarnya. Kami berdua seolah belum pernah kenal dan seperti musuh yang sudah lama menyimpan dendam. Saling pukul. Saling tendang. Untungnya tak ada senjata tajam yang membahayakan nyawa kami berdua. Hujan pun meredam baku hantam di dalam kamar. Resti hanya bisa menangis dari balik selimut di pojok kamar.

Aku dan Aziz berutung, akhirnya bisa mengontrol emosi setelah mulai kelelahan dan terlalu banyak badan yang kesakitan. Setelah berpakaian, aku mengunci kamar lalu mengajak Aziz berbicara. Tapi dia malah meneteskan air mata tanpa suara. Namun jelas, raut wajahnya yang sudah lebam nampak begitu terpukul dan hancur. Aku biarkan saja menangis sampai dia mau berhenti sendiri. Resti juga masih menangis. Akhirnya aku hanya bisa diam sambil merasakan seluruh luka dan lebam di badana ini. Ah, Jangan-jangan, Resti adalah pacarnya Aziz. Kalau itu salah dia sendiri, kenapa tak dia kenalkan padaku. Batinku.

“Resti adik gue Di.” Ungkap Aziz memulai percakan dengan nada yang berat.